Wednesday, November 29, 2006

Pembajak dan yang Dibajak, Siapa Korbannya?

Oleh: Merry Magdalena

Kata “copyright” sudah akrab di telinga saya sejak kecil. Sejak pertamakali melek huruf dan mulai hobi membaca komik, terutama komik karya komikus mancanegara seperti Superman, Batman, Tom and Jerry, Donal Bebek, dan sejenisnya. Uniknya, kata copyright tidak saya temukan pada komik lokal macam Petruk Gareng yang saya temukan di kedai penyewaan buku.

Menjelang dewasa, secara otodidak saya menemukan arti kata copyright sebagai hak cipta. Baru setelah menjadi jurnalis saya coba mencari definisi kata itu. “Copyright adalah hak-hak eksklusif yang mengatur ekspresi suatu ide atau informasi. Secara umum diartikan sebagai hak untuk menggandakan ciptaan orisinal”. Cakupan ciptaan ini sangat luas, mulai dari puisi, lagu, tulisan, gerakan tari, lukisan sampai piranti lunak.

Yang terakhir ini, piranti lunak, termasuk aplikasi komputer yang kita gunakan sehari-hari. Jadi, suatu program komputer paling sederhana sekalipun seperti yang saya pakai untuk mengetik tulisan ini, memiliki copyright. Tidak boleh sembarang digandakan, apalagi dijualbelikan, tanpa izin si pemilik hak ciptanya. Pada kasus ini copyright ada di tangan vendor pemilik aplikasi.

Ada harga yang harus dibayar si pengguna aplikasi, yakni harga lisensi. Jika tidak membayarnya, melainkan mendapatkan melalui penggandaan, berarti si pengguna melakukan pelanggaran hukum. Hak cipta ini memiliki sederetan aturan hukum yang menaungi, baik itu internasional maupun nasional. Pelaku penggandaan piranti lunak ini dijuluki pembajak.

Copyleft


Di sisi lain, ada istilah “copyleft”. Apa pula ini? Kata ini adalah plesetan dari copyright. Kebalikan dari copyright yang melarang orang menggandakan suatu ciptaan, copyleft justru mengizinkan penggandaan seluasnya tapi dengan tetap mencantumkan nama si pencipta. Tidak ada biaya lisensi yang harus ditanggung si pengganda atau si pengguna.
Beberapa penulis yang saya kenal menganut ideologi ini. Mereka tidak marah kalau ada orang lain menggandakan tulisannya selama nama mereka tetap disebut. Kelamaan saya juga tertular oleh ideologi ini. Apa ruginya sebuah tulisan digandakan dimana-mana selama masih menghormati nama penulisnya? Apa iya saya harus mengejar-ngejar pelakunya dan meminta bayaran atas ulahnya? Menuntutnya secara hukum? Atau meneriakinya sebagai pembajak di media massa? Padahal di sisi lain saya sudah mendapatkan honor saat tulisan saya pertama dipublikasikan. Apa iya saya harus mencecar si pengganda demi mendapat honor lain? Alangkah tamaknya saya.

Business Software Alliance (BSA) mengklaim bahwa 87 persen piranti lunak komputer di Indonesia adalah bajakan. Indonesia juga ditetapkan sebagai negara dengan tingkat pembajakan nomor 3 tertinggi di dunia. Saya pribadi sama sekali tidak berbahagia dengan fakta ini. Lalu belum lama ini diumumkan bahwa Indonesia sudah keluar dari Priority Watch List. Artinya, Indonesia sudah tidak termasuk dalam daftar negara yang diprioritaskan untuk diawasi dalam pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Tidak ada angka atau standar yang disebut untuk alasan satu ini. Yang jelas ini semacam angin surga yang sengaja dihembuskan untuk “menyenangkan hati”.

Siapa vendor yang paling gencar mengangkat isu bajak membajak piranti lunak? Jelas satu vendor raksasa yang tak lelah mengklaim sebagai pemilik lisensi beragam aplikasi yang sudah merajai dunia. Termasuk Indonesia. Satu vendor yang identik dengan satu nama seorang genius. Bukan satu kebetulan satu orang ini bertemu dengan pemimpin negara kita pada Juni 2005 silam di markasnya di Redmon, Seattle, Amerika Serikat (AS). Pertemuan itu menghasilkan serangkaian kesepakatan yang sebagian diketahui publik, sebagian lagi tidak. Antara si “pembajak” dan si “korban” pembajakan.

Citra Bangsa


Akhirnya disetujui bahwa untuk menghapus predikat sebagai negara pembajak, Indonesia harus menjalankan sejumlah proyek kerjasama dengan si “korban bajakan”. Satu proyek yang agak mengganjal benak saya pribadi adalah bahwa kita harus membayar sejumlah uang kepada si “korban bajakan” yang dianggap sebagai amnesti. Pengampunan.

Masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Sebab ada langkah amnesti lain yang tidak terlalu transparan. Kerjasama di bidang penyediaan lisensi sistem operasi di sejumlah instansi pemerintah dengan nilai rupiah yang tidak sedikit. Demi memperbaiki citra, menghapus predikat pembajak, kita harus merogeh kocek dalam jumlah besar. Miliaran rupiah. Alangkah mahalnya sebuah citra bangsa.

Lalu saya memposisikan diri sebagai si “korban bajakan”. Jika saya sebagai pemilik hak cipta suatu tulisan yang sudah mendapat bayaran atas karya saya, apakah saya akan mengejar-ngejar orang yang menggandakan karya saya tanpa izin? Lantas saya akan menyebutnya sebagai pembajak. Kemudian dengan tega saya akan menawarkan deal suatu kerjasama yang menguntungkan saya, demi dia tidak dicap sebagai pembajak?

Saya bukan William Henry Gates III, miliuner asal Seattle yang bisa pesiar dengan yacht keliling dunia. Otak saya tidak cukup genius untuk dapat menciptakan aneka program piranti lunak hebat yang berjasa banyak pada dunia teknologi informasi. Diri saya juga bukan pebisnis ulung yang dapat mendominasi dunia dengan aplikasi-aplikasi ciptaan saya. Tapi saya masih punya hati untuk membiarkan pembajakan pada karya saya. Terlebih kalau pembajakan itu berhubungan dengan satu negara berkembang yang rakyatnya masih banyak yang gagap teknologi. Masih banyak yang tidak bersekolah. Masih banyak yang busung lapar, kurang gizi, dan beragam derita kemiskinan lainnya akibat kesalahan sistem politik dunia.

Dan saya pun tercenung. Antara yang dibajak dan membajak, siapakah yang sesungguhnya menjadi korban?

Friday, July 28, 2006

Menggapai Cita dengan SMK TI



Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA- Ingin memahami Teknologi Informasi (TI) sejak dini? Sekolah Menengah TI jawabannya, bahkan lulusannya bisa lebih hebat dari mahasiswa perguruan tinggi. Sayang masih hadapi sejumlah kendala.

Mendengar kata Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang terbayang di benak banyak orang adalah sekolah memasak, teknik mesin yang belepotan oli, dan sejenisnya. Sejak 2000 silam pdahal sudah ada yang namanya SMK TI, di mana siswanya digembleng untuk menjadi ahli TI.
“Waktu baru dirilis, SMK TI hanya menyediakan tiga jurusan, yakni Web Design, Technical Support dan Help Desk. Semuanya sudah diajarkan sejak kelas satu,” ujar Bona Simanjuntak, Chief Executive Officer ICT Center, sebuah pengembang pendidikan TI kepada SH di Jakarta, Selasa (4/7).
Terbatas
Sekarang jurusannya sudah berkembang menjadi lebih banyak, yakni Teknik Komputer Jaringan, Rekayasa Perangkat Lunak, Multimedia, Animasi, dan Penyiaran. Saat ini, ada sekitar 200 SMK TI di seluruh Indonesia.
Selayaknya sekolah kejuruan lain, siswa lebih banyak menjalani pelajaran praktik ketimbang teori. Menurut Bona, perbandingan ideal antara teori dan praktik adalah 30 banding 70. Namun karena ada kendala keterbatasan fasilitas, masih banyak sekolah yang masih lebih banyak memberi teori belaka.
Siswa seharus banyak berkutat dengan Personal Computer (PC) beserta aplikasinya bahkan juga Internet. Masalahnya adalah semua perangkat tersebut masih tergolong mahal untuk kocek pengelola sekolah. Akibatnya, kebutuhan untuk praktik itu belum juga tercukupi.
“Ada sekitar 50 persen dari seluruh SMK TI yang menderita kekurangan fasilitas praktik,” kata Bona yang alumni Sekolah Tinggi Manajemen dan Ilmu Komputer (STMIK) Jakarta.
Kendala lain adalah kurangnya tenaga pendidik bagi sekolah tersebut. SMK TI daerah paling banyak mengalami kekurangan guru. Karena memang masih sedikit tenaga pengajar yang murni pakar TI, maka kerap terjadi guru matematika mengajar TI, dan seterusnya. Namun itu bukan masalah besar sejauh ilmu yang diajarkan masih kompatibel.
Semua problema ini sudah disampaikan ke pihak Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Mereka berusaha melakukan pelatihan TI kepada sejumlah guru, agar cukup mafhum bidang TI, sehingga dapat mentransfer ilmunya kepada siswa. Hal serupa juga dilakukan oleh ICT Center yang diimpin Bona.
Antusias
Antusiasme pelajar yang ingin masuk SMK TI padahal cukup besar. Bona mengatakan mayoritas SMK TI terpaksa menolak banyak sekali siswa karena keterbatasan daya tampung. SMK TI selama ini hanya memiliki daya tampung tiga kelas saja di bawah naungan SMK lainnya. Ini disebabkan keterbatasan fasilitas tadi.
Lulusan SMK TI saat ini banyak yang bekerja di pabrik dan perkantoran. Secara praktik dan implementasi TI, mereka layak disejajarkan dengan sarjana TI. Mereka hanya memiliki kekurangan di segi formalitas.
Yang hebat, jika seorang lulusan SMK TI melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi jurusan TI, otomatis mereka akan unggul dibanding lulusan SMU biasa sebab mereka sudah menguasai dasar-dasar aplikasi TI lebih dulu, bahkan hingga ke praktiknya.
“Sayangnya perguruan tinggi di Indonesia masih banyak yang tidak menerima lulusan SMK. Sebuah aturan yang mengganjal dunia pendidikan,” demikian Bona. Copyright © Sinar Harapan 2003
Microsoft ”Menggonggong”, IGOS Tetap Berlalu



Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA - Kunjungan Menristek Kusmayanto Kadiman, Sabtu (15/7) hingga pekan ini, ke negeri Paman Sam dihiasi protes tiga vendor teknologi informasi. Mereka mempertanyakan Open Source yang bisa menggusur penggunaan sistem operasi berlisensi.
Gerakan “pembebasan” memang kerap menuai kecaman. Tak terkecuali Indonesia Goes Open Source (IGOS). Tiga vendor TI, IBM, Microsoft, dan Oracle menyampaikan kritik terhadap kebijakan aplikasi Open Source Indonesia. Protes itu disampaikan langsung kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman pada kunjungan kerjanya ke Amerika Serikat (AS) akhir pekan lalu.

Mereka beranggapan, dengan menggunakan aplikasi Open Source, pengguna komputer Indonesia akan menggunakan sistem operasi tanpa lisensi. Microsoft melihat bahwa Indonesia telah mendiskreditkan produk berlisensi yang dilindungi oleh hak cipta, seperti misalnya produk Microsoft sendiri.

Menurut Microsoft seperti yang dilansir Antara, dukungan pemerintah Indonesia terhadap aplikasi Open Source dapat menjadi ancaman bagi peranti lunak yang diproduksi oleh sejumlah perusahaan TI raksasa dunia seperti Microsoft, IBM, dan Oracle.

Aplikasi Legal
Semua anggapan tersebut dibantah oleh Kusmayanto. Ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sesungguhnya mendukung keduanya, baik aplikasi berlisensi maupun aplikasi Open Source. Pemerintah Indonesia memberikan kebebasan bagi pengguna komputernya untuk memilih satu di antara keduanya. “Yang terpenting adalah mereka menggunakan aplikasi legal, “ ujar Kusmayanto.

Penggunaan aplikasi legal sangat penting bagi Indonesia. Selama ini Indonesia sudah masuk dalam daftar negara “pembajak” dengan begitu banyaknya penggunaan peranti lunak ilegal. Indonesia bahkan pernah menduduki peringkat pertama sebagai negara pembajak.
“Memang ada citra yang tampaknya sengaja dilontarkan terhadap gerakan IGOS. Seolah diciptakan citra IGOS berdampak pada kompetisi tidak adil,” kata Kusmayanto kepada SH melalui Short Messaging Services (SMS) yang langsung dikirim dari AS, Senin (17/7).
Kusmayanto menambahkan pada kesempatan bertemu dengan Microsoft, IBM, dan Oracle, yang paling banyak melakukan kritik adalah pihak Microsoft. Sementara itu, Oracle diam dan IBM sendiri cukup mendukung penggunaan Open Computer.

Mulai 15 Juli, Kementrian Riset dan Teknologi sudah memigrasikan 217 unit Personal Computer (PC)-nya ke Open Source.Mereka juga gencar melakukan kampanye IGOS sejak Juni 2004.

Sebanyak 321 personelnya juga sudah mengoperasikan Open Source untuk aktivitas perkantoran sehari-hari seperti Writer, spreadsheet, presentasi, database, web-browser, email client, gambar grafis, dan chatting.
Bukan hanya di tingkat pemerintahan, untuk skala perguruan tinggi, aplikasi Open Source sudah digunakan di tingkat perguruan tinggi seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gunadarma. Mereka memilih Open Source karena aplikasi tersebut lebih murah sebab tidak dibebani biaya lisensi.n

Thursday, June 22, 2006

Kusmayanto Kadiman:
Menteri yang Tidak Gengsi Menulis di Koran


Oleh: Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA- Lift berdentang “ting” saat seorang lelaki berbaju batik melangkah ke luar. Tidak ada kawalan ajudan, prosedur protokoler dan sejenisnya. Kusmayanto Kadiman langsung menyalami semua yang ada di ruang pertemuan lantai empat, gedung Sinar Harapan di bilangan Cikini.

Menteri Negara Riset dan Teknologi itu terlambat sekitar 20 menit. Sangat dimaklumi sebab sebelumnya ia sudah berkirim SMS, “Maaf, saya sampai SH jam 16.00 lewat sebab sekarang baru keluar dari istana.”

Meminta maaf melalui SMS bukan hal tabu bagi pejabat sekelas menteri, terutama kalau ia adalah Kusmayanto. Penulis sendiri kadang merasa tidak sedang ber-SMS dengan pejabat, melainkan teman. Sifat membumi seorang KK, begitu lelaki kelahiran 1 Mei 1954 ini akrab disapa, bukan rahasia umum. Di setiap kesempatan, Ph.D dari Australian National University ini selalu tampil ramah diselingi lelucon segar.

Tidak Gengsi

“Kalau menulis di media, saya tidak mau menyantumkan gelar. Justru malu sama gelar itu kalau ternyata tulisan saya salah,” celetuk ayah tiga putera ini ketika “mengompori”para pakar Teknologi Informasi (TI) yang hadir di acara Diskusi Penulisan Artikel Iptek dan TI di Media Massa di kantor SH belum lama ini.

KK sendiri walau seorang menteri dan mantan rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) tidak merasa gengsi untuk menulis di surat kabar. Beberapa yang tulisannya sudah dimuat di surat kabar tergolong mudah dipahami dengan bahasa yang sangat membumi, kendati yang dibahas masalah seputar Iptek. Ia mendambakan semua ilmuwan dan pakar Indonesia mau mengikuti jejak ini agar ilmu yang dikuasai bisa disosialisasikan ke masyarakat luas.

Di hadapan sejumlah pengamat TI, jurnalis, penulis blog alias blogger dan hacker, Kusmayanto menuturkan bagaimana proses kreatif menulisnya dilakukan. “Tuangkan saja apa yang mau kita sampaikan, tanpa harus ingin menjadi perfeksionis. Kalau tulisan terlalu perfeksionis, akhirnya akan berakhir di tempat sampah,” demikian KK.

Selama ini banyak ilmuwan dan pakar di Indonesia yang beranggapan bahwa menulis di koran dapat menurunkan “kelas”. Mereka memilih untuk menulis di jurnal ilmiah atau blog pribadi yang hanya dibaca oleh komunitasnya. Tulisan ini pun penuh dengan istilah teknis yang sulit dipahami orang awam. Akibatnya, ilmu yang mereka miliki tidak pernah mampu diserap oleh masyarakat luas.

Motivasi

Sepak terjang Kusmayanto sebagai ilmuwan sendiri tidak diragukan lagi. Penggemar golf dan tennis ini sempat sibuk dengan kontribusinya dalam teori sistem dan kontrol digital. Suami dari Sri Sumarni tersebut juga pernah terlibat pada usaha memacu perkembangan teori kontrol dan instrumentasi dan teknologi perangkat lunak di sejumpah perguruan tinggu. Ia pun terkenal sebagai dosen teladan tahun 1991 yang melahirkan sarjana-sarjana yang sekarang bergelar Ph.D dan Master.

Komitmen dan integritas keilmuannya terlihat dalam keterlibatan aktif di Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Asian Control Professor Association (ACPA), IFAC Working Group on Distributed Control System (IFAC WG-DCS), American Society for the Advancement of Science (ASAS).

Namun apakah semua itu membuat seorang Kusmayanto merasa gengsi untuk menulis di koran? Tidak sama sekali. “Kalau ingin menulis harus dipikirkan apa tujuan kita menulis. Mencari nama? Kalau saya pribadi menulis karena memang ingin berbagi. Saya justru akan merasa dihargai kalau menulis tajuk rencana di koran walau tidak harus ada nama yang dicantumkan,” seloroh KK.

Ya, memangn sudah saatnya pejabat sekelas menteri dan ilmuwan menulis untuk rakyat, bukan untuk komunitasnya saja.***

Saturday, June 10, 2006

Kolom Telematika
Open Source dan Proprietary, Ibarat Kopi

Merry Magdalena untuk Detik Com

Jakarta- Ada kesamaan antara komputer dan kopi. Keduanya sama-sama saya butuhkan pada setia hari kerja. Baik kopi maupun komputer awalnya saya pakai karena terpaksa, karena memang pekerjaan dan tubuh saya memerlukanya. Kelamaan saya jadi kecanduan.

Apalagi setelah saya mengenal Internet, berbagai aplikasi, juga beragam jenis kopi yang menarik untuk dicoba. Belakangan kebutuhan terhadap kopi dan komputer kian menignkat frekuensinya. Dari setiap hari kerja saja, menjadi setiap hari dan kini nyaris setiap waktu.

Komputer yang saya kenal pertama dulu bersistem operasi MS DOS yang dikembangkan Bill Gates dan timnya pada 1981. Sistem operasi dengan warna dasar hitam pekat itu memiliki perintah yang harus dihapalkan, lengkap dengan karakter seperti slash, dot, dan sejenisnya. Rumit memang jika dibandingkan dengan Windows yang kita kenal sekarang.

Tapi justru dengan keharusan menghapal rumus-rumus perintah itu, saya jadi merasa sedikit pintar sebab setidaknya jadi tahu bagaimana sebuah program berjalan tidak secara instant, melainkan harus melalui beberapa tahap.


Terbuka


Tak lama kemudian muncul sistem operasi Windows dengan segala kemudahannya. Bukan menyombong, walau gaptek begini saya mampu menjalankan Windows tanpa harus kursus dulu. Langsung pakai dengan modal belajar tanya teman sebelah meja. Menyenangkan sekali memakai sistem operasi yang juga buatan Om Bill dari Microsoft ini. Cukup klak klik sana sini sesuai dengan perintah.

Tidak ada rumus-rumus yang harus dihapal. Tampilannya juga sangat menyenangkan, didukung grafis menarik. Kabarnya sistem yang diciptakan tahun 1985 ini merupakan "jiplakan" tren grafis yang dirintis oleh Apple Macintosh dengan Graphical User Interfaces (GUI)-nya. Berarti Microsoft bukan yang pertama, hanya perusahaan itu memang pintar dalam mengembangkan ide pihak lain. Hari ini, IDC memperkirakan sebanyak 90 persen pengguna komputer dunia memakai Windows.

Tiga-empat tahun belakangan Windows mulai berkampanye tentang pentingnya memakai peranti lunak ilegal. Ditekankan bahwa memakai produk bajakan adalah dosa besar. Banyak publik yang baru sadar ternyata Windows yang mereka pakai adalah bajakan. Cukup dimaklumi mengingat orang awam tidak tahu bahwa Windows adalah sistem operasi proprietary, yakni berlisensi, punya hak properti yang harus dibayar oleh si penguna.

Lalu ada solusi untuk menggunakan sistem operasi Open Source, program yang bebas dikembangkan karena source code-nya bersifat terbuka. Sistem ini tidak membebankan biaya lisensi ke pengguna walau tetap memiliki hak cipta.

Selain Windows, ada sistem operasi proprietary lain, Mac OS X dari Apple. Namun karena tidak terlalu mengglobal seperti Windows, maka masalah lisensi Mac OS X tak terlalu dipermasalahkan. Belakangan saya mafhum bahwa Mac OS X berbasis UNIX yang notabene Open Source juga. Barangkali karena sifatnya yang terbuka maka Mac OS X sulit dibajak.

Karena penasaran, beberapa tahun lalu saya mencoba Linux Mandrake. Ternyata tidak sesulit isunya. Linux sudah didukung GUI yang mirip Windows walau tidak hebat-hebat amat. "Tapi itu khusus buat user biasa, buat programmer atau pengembang Linux ada partisi khusus yang tidak pakai GUI. Ingat DOS? Nah, seperti itulah menjalankannya," ungkap seorang pakar Linux. Tidak pakai klak klik mouse, melainkan 100 persen keyboard.

"Memangnya pernah lihat ada hacker yang pakai mouse?" (Hacker yang saya maksud di sini adalah orang yang hobi ngoprek program komputer, bukan pemahaman salah lain yang beredar di publik.)

Empat tahun lalu, saya juga baru paham bahwa Open Source seperti Linux, Free BSD dan sejenisnya dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Jangan heran kalau di komunitas Open Source ada beragam tawaran aplikasi dengan nama aneh-aneh seperti Ubuntu, BlankOn, dan macam-macam.

Hari ini, sistem operasi Open Source dan Propreitary mulai dipakai secara berdampingan. Iklan di sebuah grosir waralaba: PC Murah Zyrex, 3,3 juta dengan Windows XP, 2,2 juta dengan Linux.

Saya jadi kembali teringat pada kopi. Kopi instant harganya lebih mahal dari kopi tubruk. Keduanya memiliki kekhasan masing-masing. Kopi instant kemasan sachet bisa langsung dituang ke cangkir, diaduk dengan air panas, lalu diteguk. Tak perlu menyaring, mengukur takaran dan menambah gula.

Kopi tubruk lebih rumit sedikit penyajianya, namun di sisi lain justru lebih disuka karena si penikmat dapat membuatnya sesuai selera. Mau disaring atau tidak, ditambah gula sesendok atau sepuluh sendok, bebas saja. Harga kopi instant lebih mahal karena pembeli harus membayar kemudahan yang diciptakan. Sedangkan kopi tubruk, tidak.


Berdampingan


Barangkali ilustrasi kopi dan komputer ini dapat menjelaskan secara harfiah dalam bahasa paling membumi untuk dipahami awam. Sebab jika kita bertemu sembarang orang di jalan lantas bertanya padanya "Apa itu Open Source?", maka dapat dipastikan ia hanya terbengong-bengong tidak tahu.

Ini juga usaha untuk mencegah terjadinya salah paham pada pembeli komputer awam yang tergoda untuk membeli komputer dengan harga lebih murah padahal merk dagangnya sama. PC Zyrex dengan system operasi Linux jelas jauh lebih murah ketimbang Zyrex dengan Windows sebab Linux tidak membebani biaya lisensi. Semoga saja pembeli tidak dibingungkan ketika berhadapan dengan sistem operasi yang berbeda dengan yang dikenalnya di kantor.

Hmm, saya jadi ingat ucapan seorang Kusmayanto Kadiman alias KK. "Kita tidak ingin anak-anak kita kelak hanya memahami satu system operasi saja. Ketika berhadapan dengan sistem operasi lain, mereka hanya terbengong-bengong tidak paham." Ujaran Sang Menteri tersebut dapat saya terjemahkan, "Kita tidak ingin ada orang mules perutnya saat meneguk kopi tubruk karena sudah terbiasa minum kopi instant, begitu juga sebaliknya."

Memang sudah saatnya Open Source dan Proprietary berdampingan serupa kopi tubruk dan kopi instant.

Saturday, February 25, 2006

Mobil Bioethanol
Kapan Melaju Massal di Jalan Raya?


Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA – Siapa bilang Indonesia belum siap di bidang bahan bakar alternatif? Satu lagi solusi menarik, bahan bakar bioethanol untuk kendaraan roda empat, bahkan sudah ada kendaraan yang layak menggunakannya.

Jepang atau negara maju lain silakan saja berbangga sudah memiliki kendaraan ramah ling-kungan produksi sendiri. Seperti mobil Honda Civic Hybrid yang sengaja dirancang dengan sistem hibrid, paduan antara bensin dan listrik. Indonesia sesungguhnya juga sudah mampu mengembangkan teknologi bahan bakar alternatif serupa. Bahan bakar hibrid alias paduan antara premium dengan bioethanol.

“Kita akan menguji coba bahan bakar premium yang dipadu dengan bioethanol juga pada mobil ini. Jika memang layak, maka ada dua hal yang harus dipertimbangkan, yaitu bagaimana peningkatan kinerja bahan bakar dan tingkat emisinya,” ujar Kusmayanto Kadiman, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kepada pers di sela acara Serah Terima Mobil Sistem Hibrid Honda di Karawang, Jawa Barat, Jumat (10/2).

Lebih Ramah
Selama ini Balai Termodinamika, Motir dan Propulsi (BTMP) BPPT sudah me-ngembangkan bahan bakar hibrid jenis lain, yakni paduan premium dengan bioethanol. Perbandingan paduan tersebut sejauh ini baru dilakukan 90:10 atau 70:30. Bahan bakar hybrid ini sudah mampu dioperasikan pada kendaraan roda empat jenis Blazer dan Honda Jazz. “Saya sendiri memakainya, yakni paduan premium dan bioethanol 90:10 atau biasa disebut B10,” ungkap Ir. Nila Damitri MSc, Kepala BTMP kepada SH dalam kesempatan serupa.

Kalau memang terealisasi, maka bahan bakar premium-bioethanol akan lebih ramah lingkungan sebab bioethenol berasal dari alam yang tak mengandung bahan kimia. Berarti pada proses pembakarannya tidak menghasilkan karbon. Semakin besar kandungan bioethanolnya, maka makin ramah lingkungan bahan bakar tersebut., sebab emisinya juga mengecil.

Bioethanol yang digunakan oleh Mila berasal dari Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) di Lampung. Bahan bakunya adalah tanaman singkong. Etanol adalah bahan yang dihasilkan oleh bakteri yang berfermentasi dan melebur dengan zat gula karbohidrat seperti tepung jagung. Proses ini sudah berlangsung lama nyaris seusia dengan alam dan tidak ada imbas negatifnya bagi umat manusia..
“Ada yang sudah memakainya sampai 30 persen, bahkan ada juga yang 100 persen,” ungkap Mila. Sayang penggunanya masih terbatas pada para peneliti yang memang sudah menguji coba bahan bakar tersebut. Dan bioethanol yang mereka dapat pun cuma-cuma alias gratis.

Kendala

Lalu mengapa bahan bakar bioethanol tidak dijual secara komersil saja jika memang cukup bagus kualitasnya? Menurut Mila, sampai sekarang memang belum ada kebijakan pemerintah yang menetapkan bioethanol sebagai bahan bakar komersil. Kalaupun ada tentu akan diperlukan penetapan tariff yang membutuhkan diskusi panjang di kalangan industri. Selain itu harus dipikirkan pula produksi bioethanol secara massal kalau memang bahan tersebut akan dipasarkan.

Kendala-kendala seperti itulah yang membuat bahan bakar bioethanol masih belum dipakai banyak orang. Agus Cahyono, staf BTMP-BPPT mengakatan bahwa sampai sekarang memang belum ada ketetapan harga jual bioethanol, sebab bahan itu memang belum dipasarkan. “Kalau biaya produksinya saja berkisar antara Rp 3.000-3.500 per liter,” ungkap Agus.

Bioethanol sebagai bahan bakar kendaraan sudah banyak dipakai di negara lain. Salah satu pengguna bioethanol terbesar adalah Brasilia. Di Indonesia sendiri agaknya penggunaan bioethanol masih membutuhkan jalan panjang berliku. Sebab terbetik kabar dibangun pabrik etanol pertama di Indonesia oleh PT Medco Energi International Tbk. Proyek senilai US$ 34,13 juta ini akan didirikan di Kotabumi, Lampung Utara tahun ini juga. Sayangnya hasilnya tidak untuk kepentingan dalam negeri, melainkan untuk diekspor ke Singapura dan Jepang.Copyright © Sinar Harapan 2003

Tuesday, February 14, 2006

Terus Dicari: “E-book” Berbahasa Indonesia


Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA – Membaca tidak selalu harus membeli buku. Selain perpustakaan, sekarang sudah banyak e-book alias buku elektronik yang bisa diunduh gratis di Internet. Sayang, masih sedikit yang berbahasa Indonesia.

Siapa bilang membaca harus keluar kocek banyak? Tidak selalu. Kehadiran dunia maya membuat kita bisa membaca buku melalui beragam situs yang menawarkan e-book. Bagi pehobi e-book situs serupa www.fictionwise.com atau www.ebooks.com atau www.free-ebooks.net tentu sudah tak asing lagi.

Dari situs-situs itu, kita bias mengakses aneka koleksi buku yang telah di-online-kan. Dengan mudah buku-buku itu bias diunduh ke komputer desktop, jinjing bahkan juga Personal Digital Assistant (PDA).

Tak Mau Rugi
Layanannya pun cukup beragam, ada yang bebas bea atau berbayar. Dari mulai buku tak terkenal sampai buku bestselling macam The Da Vinci Code karya Dan Brown bisa kita dapat di dunia maya. Formatnya pun beragam, mulai dari PDF hingga MS Word.
Tentu saja, fasilitas ini sangat membantu para kutu buku yang selama ini terganjal oleh kian melangitnya harga buku. Cukup berbekal peranti komputer dan akses ke Internet, membaca pun dapat dilakukan cuma-cuma.

Jika mata pegal karena lama menatap monitor komputer, buku bisa dicetak ke kertas ala kadarnya saja, seperti memanfaatkan kertas bekas pakai. Tentu saja langkah ini sangat ekonomis dibanding dengan harus membeli buku impor yang ratusan ribu rupiah itu.

Mungkin dari sisi ekonomis ya. Tapi buat saya yang penting adalah efisiensi ruang. Mengoleksi buku membuat kita butuh ruang luas untuk menyimpannya. Dengan adanya e-book, itu bisa diatasi,” ujar Budi Rahardjo, dosen Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) kepada SH belum lama ini.

Masalahnya, masih sangat sedikit e-book yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Apa pasal? “Baik penulis maupun penerbit Indonesia tidak mau rugi,” cetus Budi yang membuat e-book dengan alamat http://budi.insan.co.id/books/classic-rock/.
Dengan e-book bisa dimungkinkan buku yang diterbitkan secara cetak akan kurang peminat dan itu membuat penulis maupun penerbit kekurangan pendapatan. Ini menjadi salah satu penyebab mengapa e-book Indonesia kurang berjalan. Untuk meng-online-kan sebuah buku dibutuhkan izin dari penulis dan penerbit selaku pemilik hak cipta. Jika tak ada izin keduanya, takkan ada e-book.

Format Terbuka
Hal senada juga dikumandangkan pihak penerbit. Walau tidak selalu benar bahwa penerbit takut merugi, ada hal lain yang menjadi kendala.
“Penulis takut bukunya digandakan secara gratis dan akan berpotensi pada pembajakan,” ungkap Antonis Frans Setiawan, manajer produksi Andi Publisher kepada SH dalam kesempatan berbeda.

Selain itu, Frans juga menekankan bahwa pembaca kita masih sangat tergantung pada kenyamanan saat membaca. Walau bias dicetak, e-book tetap kurang nyaman untuk dibawa kemana-mana dan dibaca dengan nikmat.
Orang tetap akan memilih buku cetak biasa ketimbang e-book walau harganya lebih mahal. Selain itu, tampilan halaman buku juga jauh lebih sedap dipandang mata daripada e-book.

Frans mengambil contoh, proses ganti halaman pada e-book misalnya masih agak ganjil bagi mereka yang tidak terbiasa. “Intinya, e-book baru bisa menggantikan buku konvensional kalau para pembacanya sudah mampu mensimulasikan cara kerja buku,” ujar Frans.

E-books merupakan bagian realisasi dari Project Gutenberg (PG), sebuah proyek sukarela untuk mengiring digitalisasi arsip dan buku. Proyek yang dimulai pada tahun 1971 ini merupakan perpustakaan digital pertama di dunia.

Mayoritas PG terdiri atas buku teks yang merupakan domain publik. Tujuan PG adalah membuat semua koleksi teks di dunia menjadi gratis dan dapat diakses siapa saja dengan menggunakan format terbuka sehingga dapat dibuka di beragam jenis komputer. Pencetusnya adalah Michael Hart, seorang mahasiswa University of Illinois.
Ingin agar buku berbahasa Indonesia juga tersedia di e-book? Mengapa para penulis kita tak mencobanya lebih dulu? Anda barangkali?
Dedengkot Ubuntu Dukung “Open Source” Indonesia

Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA – Pendiri sistem operasi Linux Debian, Ubuntu, siap membantu program Indonesia Goes Open Source (IGOS). Setidaknya itulah yang tebersit dari kunjungannya ke Jakarta pekan silam.

Pengembang Open Source Indonesia ke luar negeri, itu sudah biasa. Tapi kalau dedengkot Open Source Linux luar ke Indonesia, itu baru luar biasa. Itulah yang terjadi pekan lalu saat Mark Shuttleworth, founder sekaligus chairman distro sistem operasi Linux Debian, Ubuntu berkunjung selama satu hari di Jakarta, dalam rangka mendukung gerakan Open Source di negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Perkembangan Open Source di Indonesia menurut Mark hampir sama dengan yang ia lakukan di Afrika Selatan. Rata-rata semua negara berkembang memiliki ciri yang sama,” ungkap Frans Thamura, moderator milis resmi Ubuntu untuk Indonesia, ubuntu-id, kepada SH di Jakarta, belum lama ini.

Distro Ubuntu cukup populer dipakai di Warung Internet (Warnet) di seantero Indonesia. Ini disebabkan distro tersebut bisa bebas disebarkan secara gratis. Ubuntu merupakan salah satu distro Linux, sama seperti Suse, Fedora, Redhat atau RPM. Kata “Ubuntu” berasal dari bahasa Afrika yang berarti kemanusiaan untuk semua.
Pengembangannya dilakukan secara komunitas. Namun, Mark Shuttleworth yang membiayai promosi dan distribusi melalui perusahaannya, Canonical Ltd. Nama Versi Ubuntu diperbarui setiap enam bulan sekali. Pengembang ini diberi nama Ubuntu Foundation yang sudah merilis Ubuntu versi 6.04 dengan nama sandi “Dapper Drake”.

Versi ini akan berlaku sampai tiga tahun ke depan untuk penggunaan komputer meja dan lima tahun untuk server. Versi teranyar ini dapat dioperasikan pada Personal Computer (PC) dengan prosesor Intel x86, 64-bit PC (AMD64) dan PowerPC seperti Apple iBook dan Powerbook, G4 serta G5. Ubuntu merupakan distro yang khusus dipakai untuk beragam peranti lunak gratis.

Kunjungan Mark ke Indonesia sekaligus menandai dukungannya terhadap program Indonesia Goes Open Source (IGOS) Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Ia akan membiayai seluruh promosi dan pengembangan IGOS dengan menggunakan distro Ubuntu.
Frans berpendapat bahwa Ubuntu sesuai bagi pengembangan Open Source di Indonesia, sebab dikembangkan secara global oleh komunitas Ubuntu di seantero dunia.
Sejauh ini sudah lumayan banyak distro Linux hasil kembangan anak negeri. Yang menjadi masalah adalah, “Saya tidak percaya kalau orang lokal mampu membuat distro yang komit dan memperbarui versinya terus-menerus, sekaligus memiliki sistem pemasaran yang baik,” ungkap Frans. Itulah yang membuat Open Source kurang bergaung di Indonesia walau sudah lumayan banyak penggunanya.

Selain membantu program IGOS, Mark akan menjajaki kemungkinan berinvestasi di Indonesia sambil berupaya memperkuat jaringan dukungan teknis melalui kemitraan dengan pengembang lokal. Indonesia hanya satu di antara 22 negara berkembang yang dikunjungi Mark.

Bidang Pendidikan
Yang paling cocok dengan kondisi di Indonesia saat ini sesungguhnya adalah Proyek Edubuntu, sebuah program Yayasan Ubuntu yang mengkhususkan diri di bidang edukasi. Proyek ini sangat sesuai dengan usaha pengentasan gagap teknologi alias gaptek di kalangan generasi muda. Tengah dijajaki kemungkinan adanya upaya memasukkan peranti lunak Open Source ke dalam kurikulum sekolah.

Kelebihan Ubuntu dibanding dengan distro Linux lain seperti Redhat dan Fedora, Ubuntu hanya menyediakan satu versi dan bisa diperoleh secara gratis, termasuk patch dan update keamanan.

Mark Shuttleworth adalah pendiri Yayasan Shuttleworth, sebuah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan pendidikan berbasis di Cape Town, Afrika Selatan. Ubuntu hanya satu dari beragam proyek yang didanainya. Mark juga menjadi orang Afrika pertama yang terbang ke luar angkasa. Pada April 2002 silam ia menjadi satu anggota kosmonot misi Soyuz TM34. Proyek Ubuntu dibuatnya pada tahun 2004 dengan tujuan memproduksi sistem operasi Open Source berkualitas tinggi bagi setiap orang di dunia.

Sunday, January 01, 2006

Jangan Telan “Wikipedia” Bulat-bulat



Oleh
Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA – Zaman sekarang, kalau Anda bingung definisi suatu istilah, Anda tak perlu lagi membolak-balik halaman buku. Anda juga tak perlu keluar-masuk perpustakaan. Ada Google dan Wikipedia di Internet yang siap membantu.

Namun, keterbatasan Google sebagai search engine membuat satu istilah tidak langsung terdefinisi secara pasti. Beruntunglah ada Wikipedia yang langsung mendefinisikan satu kata atau istilah. Ensiklopedia di dunia maya ini ternyata tak bisa dipercaya 100 persen.

Wikipedia yang dibuat oleh yayasan Wikimedia, resmi ada 30 Juni 2003. “Tujuan yayasan ini adalah mendukung perkembangan pengetahuan bebas, proyek-proyek berdasarkan WikiWiki dan menyediakan isi proyek ini untuk khalayak ramai secara bebas, gratis, tanpa iklan,” demikian keterangan website Wikipedia mengenai ensiklopedia ini. Oleh karena itu, web ini bebas dari kerlap-kerlip iklan.

Pengembangannya pun dibuat secara open source, artinya terbuka untuk dikembangkan oleh siapa saja. Ini sesuai namanya. Wikipedia berasal dari kata Wiki dan ensiklopedia. Wiki merupakan program kumpulan halaman web yang dapat diubah oleh semua orang setiap saat. Konsep dan peranti lunak Wiki diciptakan oleh Ward Cunningham. Oleh karena itu, Wikipedia tersedia dalam beragam bahasa, mulai dari Finlandia, Swedia, Korea, Tagalog, Melayu, Italia sampai Sunda dan Jawa. Ini karena siapa saja bebas membuat versi bahasa sesuai dengan komunitasnya.

Wikipedia bahasa Indonesia sendiri sudah menyimpan sekitar 14.000 artikel. Kalau anda sendiri merasa ingin menambahkan satu definisi istilah, bisa langsung mendaftar sebagai Wikiwan atau Wikiwati. Apabila Anda ingin mengedit suatu artikel, cukup mengeklik kata “sunting” atau “edit”. Hal ini memungkinkan terjadinya koreksi apabila terjadi kesalahan dalam suatu artikel.

“Pada prinsipnya, Wikipedia itu memakai sistem open review. Jadi, kalau ada orang yang memasukan informasi baru, bisa diedit oleh orang lain,” papar Ahmad Husni Thamrin, pengamat Teknologi Informasi (TI) dari Keio University, Graduate School of Media and Governance kepada SH baru-baru ini. Apabila ada informasi yang salah atau tidak sesuai dengan fakta, Wikiwan atau Wikiwati lain bisa mengeditnya.

Kelemahan
Namun, ada kelemahan pada Wikipedia ini, yakni dari sisi skalabilitasnya. Menurut Husni, bagaimana Wikipedia menghadapi perubahan informasi di dalamnya. “Tidak semua orang yang paham dengan entry-entry tertentu di Wikipedia berpartisipasi dalam edit entry tersebut. Jika partisipasinya tidak banyak, akurasi di Wikipedia tidak bisa dijamin,” komentar Husni. Dengan demikian, kita tidak bisa mempercayai Wikipedia bulat-bulat. Untuk definisi istilah yang mendasar atau umum mungkin bisa. Namun, untuk artikel yang berkaitan dengan tokoh atau sejarah, perlu dicari referensi lainnya.

Kasus paling hangat menimpa Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg yang menemukan biografi dirinya di Wikipedia. Ia merasa sejarah hidupnya dikacaukan dan mengandung pernyataan tak benar. Sebagian besar biografinya dicomot begitu saja dari gosip media massa. Bayangkan, kalau hal ini menimpa diri kita.

Ihwal tidak akuratnya informasi di Wikipedia ini juga pernah disentil oleh John Seigenthaler dalam artikel di USA Today . Ia bahkan menyebut web ensiklopedia itu sebagai web canda belaka. Ini disebabkan betapa mudahnya mengubah artikel di Wikipedia. Bisa saja ada oknum tak bertanggungjawab mengubah biografi seorang tokoh seenak hati. Memang, kelak akan ada yang mengkoreksinya. Namun, berapa lama waktunya sebelum seseorang menyadari adanya kesalahan itu? Pihak Wikipedia sendiri sadar betul akan risiko ini dan sudah membuat disclaimer bahwa mereka tidak menjamin validitasnya sendiri. Oleh karena itu, jangan menelan bulat-bulat semua informasi yang ada di Wikipedia, atau bahkan ensiklopedia manapun. Copyright © Sinar Harapan 2005

About Me

My photo
Journalist, writer, blogger, dreamer, traveller. Winner of some journalist awards (yuck!), a ghostwriter of some techie books.