Wednesday, November 29, 2006

Pembajak dan yang Dibajak, Siapa Korbannya?

Oleh: Merry Magdalena

Kata “copyright” sudah akrab di telinga saya sejak kecil. Sejak pertamakali melek huruf dan mulai hobi membaca komik, terutama komik karya komikus mancanegara seperti Superman, Batman, Tom and Jerry, Donal Bebek, dan sejenisnya. Uniknya, kata copyright tidak saya temukan pada komik lokal macam Petruk Gareng yang saya temukan di kedai penyewaan buku.

Menjelang dewasa, secara otodidak saya menemukan arti kata copyright sebagai hak cipta. Baru setelah menjadi jurnalis saya coba mencari definisi kata itu. “Copyright adalah hak-hak eksklusif yang mengatur ekspresi suatu ide atau informasi. Secara umum diartikan sebagai hak untuk menggandakan ciptaan orisinal”. Cakupan ciptaan ini sangat luas, mulai dari puisi, lagu, tulisan, gerakan tari, lukisan sampai piranti lunak.

Yang terakhir ini, piranti lunak, termasuk aplikasi komputer yang kita gunakan sehari-hari. Jadi, suatu program komputer paling sederhana sekalipun seperti yang saya pakai untuk mengetik tulisan ini, memiliki copyright. Tidak boleh sembarang digandakan, apalagi dijualbelikan, tanpa izin si pemilik hak ciptanya. Pada kasus ini copyright ada di tangan vendor pemilik aplikasi.

Ada harga yang harus dibayar si pengguna aplikasi, yakni harga lisensi. Jika tidak membayarnya, melainkan mendapatkan melalui penggandaan, berarti si pengguna melakukan pelanggaran hukum. Hak cipta ini memiliki sederetan aturan hukum yang menaungi, baik itu internasional maupun nasional. Pelaku penggandaan piranti lunak ini dijuluki pembajak.

Copyleft


Di sisi lain, ada istilah “copyleft”. Apa pula ini? Kata ini adalah plesetan dari copyright. Kebalikan dari copyright yang melarang orang menggandakan suatu ciptaan, copyleft justru mengizinkan penggandaan seluasnya tapi dengan tetap mencantumkan nama si pencipta. Tidak ada biaya lisensi yang harus ditanggung si pengganda atau si pengguna.
Beberapa penulis yang saya kenal menganut ideologi ini. Mereka tidak marah kalau ada orang lain menggandakan tulisannya selama nama mereka tetap disebut. Kelamaan saya juga tertular oleh ideologi ini. Apa ruginya sebuah tulisan digandakan dimana-mana selama masih menghormati nama penulisnya? Apa iya saya harus mengejar-ngejar pelakunya dan meminta bayaran atas ulahnya? Menuntutnya secara hukum? Atau meneriakinya sebagai pembajak di media massa? Padahal di sisi lain saya sudah mendapatkan honor saat tulisan saya pertama dipublikasikan. Apa iya saya harus mencecar si pengganda demi mendapat honor lain? Alangkah tamaknya saya.

Business Software Alliance (BSA) mengklaim bahwa 87 persen piranti lunak komputer di Indonesia adalah bajakan. Indonesia juga ditetapkan sebagai negara dengan tingkat pembajakan nomor 3 tertinggi di dunia. Saya pribadi sama sekali tidak berbahagia dengan fakta ini. Lalu belum lama ini diumumkan bahwa Indonesia sudah keluar dari Priority Watch List. Artinya, Indonesia sudah tidak termasuk dalam daftar negara yang diprioritaskan untuk diawasi dalam pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Tidak ada angka atau standar yang disebut untuk alasan satu ini. Yang jelas ini semacam angin surga yang sengaja dihembuskan untuk “menyenangkan hati”.

Siapa vendor yang paling gencar mengangkat isu bajak membajak piranti lunak? Jelas satu vendor raksasa yang tak lelah mengklaim sebagai pemilik lisensi beragam aplikasi yang sudah merajai dunia. Termasuk Indonesia. Satu vendor yang identik dengan satu nama seorang genius. Bukan satu kebetulan satu orang ini bertemu dengan pemimpin negara kita pada Juni 2005 silam di markasnya di Redmon, Seattle, Amerika Serikat (AS). Pertemuan itu menghasilkan serangkaian kesepakatan yang sebagian diketahui publik, sebagian lagi tidak. Antara si “pembajak” dan si “korban” pembajakan.

Citra Bangsa


Akhirnya disetujui bahwa untuk menghapus predikat sebagai negara pembajak, Indonesia harus menjalankan sejumlah proyek kerjasama dengan si “korban bajakan”. Satu proyek yang agak mengganjal benak saya pribadi adalah bahwa kita harus membayar sejumlah uang kepada si “korban bajakan” yang dianggap sebagai amnesti. Pengampunan.

Masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Sebab ada langkah amnesti lain yang tidak terlalu transparan. Kerjasama di bidang penyediaan lisensi sistem operasi di sejumlah instansi pemerintah dengan nilai rupiah yang tidak sedikit. Demi memperbaiki citra, menghapus predikat pembajak, kita harus merogeh kocek dalam jumlah besar. Miliaran rupiah. Alangkah mahalnya sebuah citra bangsa.

Lalu saya memposisikan diri sebagai si “korban bajakan”. Jika saya sebagai pemilik hak cipta suatu tulisan yang sudah mendapat bayaran atas karya saya, apakah saya akan mengejar-ngejar orang yang menggandakan karya saya tanpa izin? Lantas saya akan menyebutnya sebagai pembajak. Kemudian dengan tega saya akan menawarkan deal suatu kerjasama yang menguntungkan saya, demi dia tidak dicap sebagai pembajak?

Saya bukan William Henry Gates III, miliuner asal Seattle yang bisa pesiar dengan yacht keliling dunia. Otak saya tidak cukup genius untuk dapat menciptakan aneka program piranti lunak hebat yang berjasa banyak pada dunia teknologi informasi. Diri saya juga bukan pebisnis ulung yang dapat mendominasi dunia dengan aplikasi-aplikasi ciptaan saya. Tapi saya masih punya hati untuk membiarkan pembajakan pada karya saya. Terlebih kalau pembajakan itu berhubungan dengan satu negara berkembang yang rakyatnya masih banyak yang gagap teknologi. Masih banyak yang tidak bersekolah. Masih banyak yang busung lapar, kurang gizi, dan beragam derita kemiskinan lainnya akibat kesalahan sistem politik dunia.

Dan saya pun tercenung. Antara yang dibajak dan membajak, siapakah yang sesungguhnya menjadi korban?

Friday, July 28, 2006

Menggapai Cita dengan SMK TI



Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA- Ingin memahami Teknologi Informasi (TI) sejak dini? Sekolah Menengah TI jawabannya, bahkan lulusannya bisa lebih hebat dari mahasiswa perguruan tinggi. Sayang masih hadapi sejumlah kendala.

Mendengar kata Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang terbayang di benak banyak orang adalah sekolah memasak, teknik mesin yang belepotan oli, dan sejenisnya. Sejak 2000 silam pdahal sudah ada yang namanya SMK TI, di mana siswanya digembleng untuk menjadi ahli TI.
“Waktu baru dirilis, SMK TI hanya menyediakan tiga jurusan, yakni Web Design, Technical Support dan Help Desk. Semuanya sudah diajarkan sejak kelas satu,” ujar Bona Simanjuntak, Chief Executive Officer ICT Center, sebuah pengembang pendidikan TI kepada SH di Jakarta, Selasa (4/7).
Terbatas
Sekarang jurusannya sudah berkembang menjadi lebih banyak, yakni Teknik Komputer Jaringan, Rekayasa Perangkat Lunak, Multimedia, Animasi, dan Penyiaran. Saat ini, ada sekitar 200 SMK TI di seluruh Indonesia.
Selayaknya sekolah kejuruan lain, siswa lebih banyak menjalani pelajaran praktik ketimbang teori. Menurut Bona, perbandingan ideal antara teori dan praktik adalah 30 banding 70. Namun karena ada kendala keterbatasan fasilitas, masih banyak sekolah yang masih lebih banyak memberi teori belaka.
Siswa seharus banyak berkutat dengan Personal Computer (PC) beserta aplikasinya bahkan juga Internet. Masalahnya adalah semua perangkat tersebut masih tergolong mahal untuk kocek pengelola sekolah. Akibatnya, kebutuhan untuk praktik itu belum juga tercukupi.
“Ada sekitar 50 persen dari seluruh SMK TI yang menderita kekurangan fasilitas praktik,” kata Bona yang alumni Sekolah Tinggi Manajemen dan Ilmu Komputer (STMIK) Jakarta.
Kendala lain adalah kurangnya tenaga pendidik bagi sekolah tersebut. SMK TI daerah paling banyak mengalami kekurangan guru. Karena memang masih sedikit tenaga pengajar yang murni pakar TI, maka kerap terjadi guru matematika mengajar TI, dan seterusnya. Namun itu bukan masalah besar sejauh ilmu yang diajarkan masih kompatibel.
Semua problema ini sudah disampaikan ke pihak Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Mereka berusaha melakukan pelatihan TI kepada sejumlah guru, agar cukup mafhum bidang TI, sehingga dapat mentransfer ilmunya kepada siswa. Hal serupa juga dilakukan oleh ICT Center yang diimpin Bona.
Antusias
Antusiasme pelajar yang ingin masuk SMK TI padahal cukup besar. Bona mengatakan mayoritas SMK TI terpaksa menolak banyak sekali siswa karena keterbatasan daya tampung. SMK TI selama ini hanya memiliki daya tampung tiga kelas saja di bawah naungan SMK lainnya. Ini disebabkan keterbatasan fasilitas tadi.
Lulusan SMK TI saat ini banyak yang bekerja di pabrik dan perkantoran. Secara praktik dan implementasi TI, mereka layak disejajarkan dengan sarjana TI. Mereka hanya memiliki kekurangan di segi formalitas.
Yang hebat, jika seorang lulusan SMK TI melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi jurusan TI, otomatis mereka akan unggul dibanding lulusan SMU biasa sebab mereka sudah menguasai dasar-dasar aplikasi TI lebih dulu, bahkan hingga ke praktiknya.
“Sayangnya perguruan tinggi di Indonesia masih banyak yang tidak menerima lulusan SMK. Sebuah aturan yang mengganjal dunia pendidikan,” demikian Bona. Copyright © Sinar Harapan 2003
Microsoft ”Menggonggong”, IGOS Tetap Berlalu



Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA - Kunjungan Menristek Kusmayanto Kadiman, Sabtu (15/7) hingga pekan ini, ke negeri Paman Sam dihiasi protes tiga vendor teknologi informasi. Mereka mempertanyakan Open Source yang bisa menggusur penggunaan sistem operasi berlisensi.
Gerakan “pembebasan” memang kerap menuai kecaman. Tak terkecuali Indonesia Goes Open Source (IGOS). Tiga vendor TI, IBM, Microsoft, dan Oracle menyampaikan kritik terhadap kebijakan aplikasi Open Source Indonesia. Protes itu disampaikan langsung kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman pada kunjungan kerjanya ke Amerika Serikat (AS) akhir pekan lalu.

Mereka beranggapan, dengan menggunakan aplikasi Open Source, pengguna komputer Indonesia akan menggunakan sistem operasi tanpa lisensi. Microsoft melihat bahwa Indonesia telah mendiskreditkan produk berlisensi yang dilindungi oleh hak cipta, seperti misalnya produk Microsoft sendiri.

Menurut Microsoft seperti yang dilansir Antara, dukungan pemerintah Indonesia terhadap aplikasi Open Source dapat menjadi ancaman bagi peranti lunak yang diproduksi oleh sejumlah perusahaan TI raksasa dunia seperti Microsoft, IBM, dan Oracle.

Aplikasi Legal
Semua anggapan tersebut dibantah oleh Kusmayanto. Ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sesungguhnya mendukung keduanya, baik aplikasi berlisensi maupun aplikasi Open Source. Pemerintah Indonesia memberikan kebebasan bagi pengguna komputernya untuk memilih satu di antara keduanya. “Yang terpenting adalah mereka menggunakan aplikasi legal, “ ujar Kusmayanto.

Penggunaan aplikasi legal sangat penting bagi Indonesia. Selama ini Indonesia sudah masuk dalam daftar negara “pembajak” dengan begitu banyaknya penggunaan peranti lunak ilegal. Indonesia bahkan pernah menduduki peringkat pertama sebagai negara pembajak.
“Memang ada citra yang tampaknya sengaja dilontarkan terhadap gerakan IGOS. Seolah diciptakan citra IGOS berdampak pada kompetisi tidak adil,” kata Kusmayanto kepada SH melalui Short Messaging Services (SMS) yang langsung dikirim dari AS, Senin (17/7).
Kusmayanto menambahkan pada kesempatan bertemu dengan Microsoft, IBM, dan Oracle, yang paling banyak melakukan kritik adalah pihak Microsoft. Sementara itu, Oracle diam dan IBM sendiri cukup mendukung penggunaan Open Computer.

Mulai 15 Juli, Kementrian Riset dan Teknologi sudah memigrasikan 217 unit Personal Computer (PC)-nya ke Open Source.Mereka juga gencar melakukan kampanye IGOS sejak Juni 2004.

Sebanyak 321 personelnya juga sudah mengoperasikan Open Source untuk aktivitas perkantoran sehari-hari seperti Writer, spreadsheet, presentasi, database, web-browser, email client, gambar grafis, dan chatting.
Bukan hanya di tingkat pemerintahan, untuk skala perguruan tinggi, aplikasi Open Source sudah digunakan di tingkat perguruan tinggi seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gunadarma. Mereka memilih Open Source karena aplikasi tersebut lebih murah sebab tidak dibebani biaya lisensi.n

Thursday, June 22, 2006

Kusmayanto Kadiman:
Menteri yang Tidak Gengsi Menulis di Koran


Oleh: Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA- Lift berdentang “ting” saat seorang lelaki berbaju batik melangkah ke luar. Tidak ada kawalan ajudan, prosedur protokoler dan sejenisnya. Kusmayanto Kadiman langsung menyalami semua yang ada di ruang pertemuan lantai empat, gedung Sinar Harapan di bilangan Cikini.

Menteri Negara Riset dan Teknologi itu terlambat sekitar 20 menit. Sangat dimaklumi sebab sebelumnya ia sudah berkirim SMS, “Maaf, saya sampai SH jam 16.00 lewat sebab sekarang baru keluar dari istana.”

Meminta maaf melalui SMS bukan hal tabu bagi pejabat sekelas menteri, terutama kalau ia adalah Kusmayanto. Penulis sendiri kadang merasa tidak sedang ber-SMS dengan pejabat, melainkan teman. Sifat membumi seorang KK, begitu lelaki kelahiran 1 Mei 1954 ini akrab disapa, bukan rahasia umum. Di setiap kesempatan, Ph.D dari Australian National University ini selalu tampil ramah diselingi lelucon segar.

Tidak Gengsi

“Kalau menulis di media, saya tidak mau menyantumkan gelar. Justru malu sama gelar itu kalau ternyata tulisan saya salah,” celetuk ayah tiga putera ini ketika “mengompori”para pakar Teknologi Informasi (TI) yang hadir di acara Diskusi Penulisan Artikel Iptek dan TI di Media Massa di kantor SH belum lama ini.

KK sendiri walau seorang menteri dan mantan rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) tidak merasa gengsi untuk menulis di surat kabar. Beberapa yang tulisannya sudah dimuat di surat kabar tergolong mudah dipahami dengan bahasa yang sangat membumi, kendati yang dibahas masalah seputar Iptek. Ia mendambakan semua ilmuwan dan pakar Indonesia mau mengikuti jejak ini agar ilmu yang dikuasai bisa disosialisasikan ke masyarakat luas.

Di hadapan sejumlah pengamat TI, jurnalis, penulis blog alias blogger dan hacker, Kusmayanto menuturkan bagaimana proses kreatif menulisnya dilakukan. “Tuangkan saja apa yang mau kita sampaikan, tanpa harus ingin menjadi perfeksionis. Kalau tulisan terlalu perfeksionis, akhirnya akan berakhir di tempat sampah,” demikian KK.

Selama ini banyak ilmuwan dan pakar di Indonesia yang beranggapan bahwa menulis di koran dapat menurunkan “kelas”. Mereka memilih untuk menulis di jurnal ilmiah atau blog pribadi yang hanya dibaca oleh komunitasnya. Tulisan ini pun penuh dengan istilah teknis yang sulit dipahami orang awam. Akibatnya, ilmu yang mereka miliki tidak pernah mampu diserap oleh masyarakat luas.

Motivasi

Sepak terjang Kusmayanto sebagai ilmuwan sendiri tidak diragukan lagi. Penggemar golf dan tennis ini sempat sibuk dengan kontribusinya dalam teori sistem dan kontrol digital. Suami dari Sri Sumarni tersebut juga pernah terlibat pada usaha memacu perkembangan teori kontrol dan instrumentasi dan teknologi perangkat lunak di sejumpah perguruan tinggu. Ia pun terkenal sebagai dosen teladan tahun 1991 yang melahirkan sarjana-sarjana yang sekarang bergelar Ph.D dan Master.

Komitmen dan integritas keilmuannya terlihat dalam keterlibatan aktif di Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Asian Control Professor Association (ACPA), IFAC Working Group on Distributed Control System (IFAC WG-DCS), American Society for the Advancement of Science (ASAS).

Namun apakah semua itu membuat seorang Kusmayanto merasa gengsi untuk menulis di koran? Tidak sama sekali. “Kalau ingin menulis harus dipikirkan apa tujuan kita menulis. Mencari nama? Kalau saya pribadi menulis karena memang ingin berbagi. Saya justru akan merasa dihargai kalau menulis tajuk rencana di koran walau tidak harus ada nama yang dicantumkan,” seloroh KK.

Ya, memangn sudah saatnya pejabat sekelas menteri dan ilmuwan menulis untuk rakyat, bukan untuk komunitasnya saja.***

Saturday, June 10, 2006

Kolom Telematika
Open Source dan Proprietary, Ibarat Kopi

Merry Magdalena untuk Detik Com

Jakarta- Ada kesamaan antara komputer dan kopi. Keduanya sama-sama saya butuhkan pada setia hari kerja. Baik kopi maupun komputer awalnya saya pakai karena terpaksa, karena memang pekerjaan dan tubuh saya memerlukanya. Kelamaan saya jadi kecanduan.

Apalagi setelah saya mengenal Internet, berbagai aplikasi, juga beragam jenis kopi yang menarik untuk dicoba. Belakangan kebutuhan terhadap kopi dan komputer kian menignkat frekuensinya. Dari setiap hari kerja saja, menjadi setiap hari dan kini nyaris setiap waktu.

Komputer yang saya kenal pertama dulu bersistem operasi MS DOS yang dikembangkan Bill Gates dan timnya pada 1981. Sistem operasi dengan warna dasar hitam pekat itu memiliki perintah yang harus dihapalkan, lengkap dengan karakter seperti slash, dot, dan sejenisnya. Rumit memang jika dibandingkan dengan Windows yang kita kenal sekarang.

Tapi justru dengan keharusan menghapal rumus-rumus perintah itu, saya jadi merasa sedikit pintar sebab setidaknya jadi tahu bagaimana sebuah program berjalan tidak secara instant, melainkan harus melalui beberapa tahap.


Terbuka


Tak lama kemudian muncul sistem operasi Windows dengan segala kemudahannya. Bukan menyombong, walau gaptek begini saya mampu menjalankan Windows tanpa harus kursus dulu. Langsung pakai dengan modal belajar tanya teman sebelah meja. Menyenangkan sekali memakai sistem operasi yang juga buatan Om Bill dari Microsoft ini. Cukup klak klik sana sini sesuai dengan perintah.

Tidak ada rumus-rumus yang harus dihapal. Tampilannya juga sangat menyenangkan, didukung grafis menarik. Kabarnya sistem yang diciptakan tahun 1985 ini merupakan "jiplakan" tren grafis yang dirintis oleh Apple Macintosh dengan Graphical User Interfaces (GUI)-nya. Berarti Microsoft bukan yang pertama, hanya perusahaan itu memang pintar dalam mengembangkan ide pihak lain. Hari ini, IDC memperkirakan sebanyak 90 persen pengguna komputer dunia memakai Windows.

Tiga-empat tahun belakangan Windows mulai berkampanye tentang pentingnya memakai peranti lunak ilegal. Ditekankan bahwa memakai produk bajakan adalah dosa besar. Banyak publik yang baru sadar ternyata Windows yang mereka pakai adalah bajakan. Cukup dimaklumi mengingat orang awam tidak tahu bahwa Windows adalah sistem operasi proprietary, yakni berlisensi, punya hak properti yang harus dibayar oleh si penguna.

Lalu ada solusi untuk menggunakan sistem operasi Open Source, program yang bebas dikembangkan karena source code-nya bersifat terbuka. Sistem ini tidak membebankan biaya lisensi ke pengguna walau tetap memiliki hak cipta.

Selain Windows, ada sistem operasi proprietary lain, Mac OS X dari Apple. Namun karena tidak terlalu mengglobal seperti Windows, maka masalah lisensi Mac OS X tak terlalu dipermasalahkan. Belakangan saya mafhum bahwa Mac OS X berbasis UNIX yang notabene Open Source juga. Barangkali karena sifatnya yang terbuka maka Mac OS X sulit dibajak.

Karena penasaran, beberapa tahun lalu saya mencoba Linux Mandrake. Ternyata tidak sesulit isunya. Linux sudah didukung GUI yang mirip Windows walau tidak hebat-hebat amat. "Tapi itu khusus buat user biasa, buat programmer atau pengembang Linux ada partisi khusus yang tidak pakai GUI. Ingat DOS? Nah, seperti itulah menjalankannya," ungkap seorang pakar Linux. Tidak pakai klak klik mouse, melainkan 100 persen keyboard.

"Memangnya pernah lihat ada hacker yang pakai mouse?" (Hacker yang saya maksud di sini adalah orang yang hobi ngoprek program komputer, bukan pemahaman salah lain yang beredar di publik.)

Empat tahun lalu, saya juga baru paham bahwa Open Source seperti Linux, Free BSD dan sejenisnya dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Jangan heran kalau di komunitas Open Source ada beragam tawaran aplikasi dengan nama aneh-aneh seperti Ubuntu, BlankOn, dan macam-macam.

Hari ini, sistem operasi Open Source dan Propreitary mulai dipakai secara berdampingan. Iklan di sebuah grosir waralaba: PC Murah Zyrex, 3,3 juta dengan Windows XP, 2,2 juta dengan Linux.

Saya jadi kembali teringat pada kopi. Kopi instant harganya lebih mahal dari kopi tubruk. Keduanya memiliki kekhasan masing-masing. Kopi instant kemasan sachet bisa langsung dituang ke cangkir, diaduk dengan air panas, lalu diteguk. Tak perlu menyaring, mengukur takaran dan menambah gula.

Kopi tubruk lebih rumit sedikit penyajianya, namun di sisi lain justru lebih disuka karena si penikmat dapat membuatnya sesuai selera. Mau disaring atau tidak, ditambah gula sesendok atau sepuluh sendok, bebas saja. Harga kopi instant lebih mahal karena pembeli harus membayar kemudahan yang diciptakan. Sedangkan kopi tubruk, tidak.


Berdampingan


Barangkali ilustrasi kopi dan komputer ini dapat menjelaskan secara harfiah dalam bahasa paling membumi untuk dipahami awam. Sebab jika kita bertemu sembarang orang di jalan lantas bertanya padanya "Apa itu Open Source?", maka dapat dipastikan ia hanya terbengong-bengong tidak tahu.

Ini juga usaha untuk mencegah terjadinya salah paham pada pembeli komputer awam yang tergoda untuk membeli komputer dengan harga lebih murah padahal merk dagangnya sama. PC Zyrex dengan system operasi Linux jelas jauh lebih murah ketimbang Zyrex dengan Windows sebab Linux tidak membebani biaya lisensi. Semoga saja pembeli tidak dibingungkan ketika berhadapan dengan sistem operasi yang berbeda dengan yang dikenalnya di kantor.

Hmm, saya jadi ingat ucapan seorang Kusmayanto Kadiman alias KK. "Kita tidak ingin anak-anak kita kelak hanya memahami satu system operasi saja. Ketika berhadapan dengan sistem operasi lain, mereka hanya terbengong-bengong tidak paham." Ujaran Sang Menteri tersebut dapat saya terjemahkan, "Kita tidak ingin ada orang mules perutnya saat meneguk kopi tubruk karena sudah terbiasa minum kopi instant, begitu juga sebaliknya."

Memang sudah saatnya Open Source dan Proprietary berdampingan serupa kopi tubruk dan kopi instant.

Saturday, February 25, 2006

Mobil Bioethanol
Kapan Melaju Massal di Jalan Raya?


Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA – Siapa bilang Indonesia belum siap di bidang bahan bakar alternatif? Satu lagi solusi menarik, bahan bakar bioethanol untuk kendaraan roda empat, bahkan sudah ada kendaraan yang layak menggunakannya.

Jepang atau negara maju lain silakan saja berbangga sudah memiliki kendaraan ramah ling-kungan produksi sendiri. Seperti mobil Honda Civic Hybrid yang sengaja dirancang dengan sistem hibrid, paduan antara bensin dan listrik. Indonesia sesungguhnya juga sudah mampu mengembangkan teknologi bahan bakar alternatif serupa. Bahan bakar hibrid alias paduan antara premium dengan bioethanol.

“Kita akan menguji coba bahan bakar premium yang dipadu dengan bioethanol juga pada mobil ini. Jika memang layak, maka ada dua hal yang harus dipertimbangkan, yaitu bagaimana peningkatan kinerja bahan bakar dan tingkat emisinya,” ujar Kusmayanto Kadiman, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kepada pers di sela acara Serah Terima Mobil Sistem Hibrid Honda di Karawang, Jawa Barat, Jumat (10/2).

Lebih Ramah
Selama ini Balai Termodinamika, Motir dan Propulsi (BTMP) BPPT sudah me-ngembangkan bahan bakar hibrid jenis lain, yakni paduan premium dengan bioethanol. Perbandingan paduan tersebut sejauh ini baru dilakukan 90:10 atau 70:30. Bahan bakar hybrid ini sudah mampu dioperasikan pada kendaraan roda empat jenis Blazer dan Honda Jazz. “Saya sendiri memakainya, yakni paduan premium dan bioethanol 90:10 atau biasa disebut B10,” ungkap Ir. Nila Damitri MSc, Kepala BTMP kepada SH dalam kesempatan serupa.

Kalau memang terealisasi, maka bahan bakar premium-bioethanol akan lebih ramah lingkungan sebab bioethenol berasal dari alam yang tak mengandung bahan kimia. Berarti pada proses pembakarannya tidak menghasilkan karbon. Semakin besar kandungan bioethanolnya, maka makin ramah lingkungan bahan bakar tersebut., sebab emisinya juga mengecil.

Bioethanol yang digunakan oleh Mila berasal dari Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) di Lampung. Bahan bakunya adalah tanaman singkong. Etanol adalah bahan yang dihasilkan oleh bakteri yang berfermentasi dan melebur dengan zat gula karbohidrat seperti tepung jagung. Proses ini sudah berlangsung lama nyaris seusia dengan alam dan tidak ada imbas negatifnya bagi umat manusia..
“Ada yang sudah memakainya sampai 30 persen, bahkan ada juga yang 100 persen,” ungkap Mila. Sayang penggunanya masih terbatas pada para peneliti yang memang sudah menguji coba bahan bakar tersebut. Dan bioethanol yang mereka dapat pun cuma-cuma alias gratis.

Kendala

Lalu mengapa bahan bakar bioethanol tidak dijual secara komersil saja jika memang cukup bagus kualitasnya? Menurut Mila, sampai sekarang memang belum ada kebijakan pemerintah yang menetapkan bioethanol sebagai bahan bakar komersil. Kalaupun ada tentu akan diperlukan penetapan tariff yang membutuhkan diskusi panjang di kalangan industri. Selain itu harus dipikirkan pula produksi bioethanol secara massal kalau memang bahan tersebut akan dipasarkan.

Kendala-kendala seperti itulah yang membuat bahan bakar bioethanol masih belum dipakai banyak orang. Agus Cahyono, staf BTMP-BPPT mengakatan bahwa sampai sekarang memang belum ada ketetapan harga jual bioethanol, sebab bahan itu memang belum dipasarkan. “Kalau biaya produksinya saja berkisar antara Rp 3.000-3.500 per liter,” ungkap Agus.

Bioethanol sebagai bahan bakar kendaraan sudah banyak dipakai di negara lain. Salah satu pengguna bioethanol terbesar adalah Brasilia. Di Indonesia sendiri agaknya penggunaan bioethanol masih membutuhkan jalan panjang berliku. Sebab terbetik kabar dibangun pabrik etanol pertama di Indonesia oleh PT Medco Energi International Tbk. Proyek senilai US$ 34,13 juta ini akan didirikan di Kotabumi, Lampung Utara tahun ini juga. Sayangnya hasilnya tidak untuk kepentingan dalam negeri, melainkan untuk diekspor ke Singapura dan Jepang.Copyright © Sinar Harapan 2003

Tuesday, February 14, 2006

Terus Dicari: “E-book” Berbahasa Indonesia


Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA – Membaca tidak selalu harus membeli buku. Selain perpustakaan, sekarang sudah banyak e-book alias buku elektronik yang bisa diunduh gratis di Internet. Sayang, masih sedikit yang berbahasa Indonesia.

Siapa bilang membaca harus keluar kocek banyak? Tidak selalu. Kehadiran dunia maya membuat kita bisa membaca buku melalui beragam situs yang menawarkan e-book. Bagi pehobi e-book situs serupa www.fictionwise.com atau www.ebooks.com atau www.free-ebooks.net tentu sudah tak asing lagi.

Dari situs-situs itu, kita bias mengakses aneka koleksi buku yang telah di-online-kan. Dengan mudah buku-buku itu bias diunduh ke komputer desktop, jinjing bahkan juga Personal Digital Assistant (PDA).

Tak Mau Rugi
Layanannya pun cukup beragam, ada yang bebas bea atau berbayar. Dari mulai buku tak terkenal sampai buku bestselling macam The Da Vinci Code karya Dan Brown bisa kita dapat di dunia maya. Formatnya pun beragam, mulai dari PDF hingga MS Word.
Tentu saja, fasilitas ini sangat membantu para kutu buku yang selama ini terganjal oleh kian melangitnya harga buku. Cukup berbekal peranti komputer dan akses ke Internet, membaca pun dapat dilakukan cuma-cuma.

Jika mata pegal karena lama menatap monitor komputer, buku bisa dicetak ke kertas ala kadarnya saja, seperti memanfaatkan kertas bekas pakai. Tentu saja langkah ini sangat ekonomis dibanding dengan harus membeli buku impor yang ratusan ribu rupiah itu.

Mungkin dari sisi ekonomis ya. Tapi buat saya yang penting adalah efisiensi ruang. Mengoleksi buku membuat kita butuh ruang luas untuk menyimpannya. Dengan adanya e-book, itu bisa diatasi,” ujar Budi Rahardjo, dosen Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) kepada SH belum lama ini.

Masalahnya, masih sangat sedikit e-book yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Apa pasal? “Baik penulis maupun penerbit Indonesia tidak mau rugi,” cetus Budi yang membuat e-book dengan alamat http://budi.insan.co.id/books/classic-rock/.
Dengan e-book bisa dimungkinkan buku yang diterbitkan secara cetak akan kurang peminat dan itu membuat penulis maupun penerbit kekurangan pendapatan. Ini menjadi salah satu penyebab mengapa e-book Indonesia kurang berjalan. Untuk meng-online-kan sebuah buku dibutuhkan izin dari penulis dan penerbit selaku pemilik hak cipta. Jika tak ada izin keduanya, takkan ada e-book.

Format Terbuka
Hal senada juga dikumandangkan pihak penerbit. Walau tidak selalu benar bahwa penerbit takut merugi, ada hal lain yang menjadi kendala.
“Penulis takut bukunya digandakan secara gratis dan akan berpotensi pada pembajakan,” ungkap Antonis Frans Setiawan, manajer produksi Andi Publisher kepada SH dalam kesempatan berbeda.

Selain itu, Frans juga menekankan bahwa pembaca kita masih sangat tergantung pada kenyamanan saat membaca. Walau bias dicetak, e-book tetap kurang nyaman untuk dibawa kemana-mana dan dibaca dengan nikmat.
Orang tetap akan memilih buku cetak biasa ketimbang e-book walau harganya lebih mahal. Selain itu, tampilan halaman buku juga jauh lebih sedap dipandang mata daripada e-book.

Frans mengambil contoh, proses ganti halaman pada e-book misalnya masih agak ganjil bagi mereka yang tidak terbiasa. “Intinya, e-book baru bisa menggantikan buku konvensional kalau para pembacanya sudah mampu mensimulasikan cara kerja buku,” ujar Frans.

E-books merupakan bagian realisasi dari Project Gutenberg (PG), sebuah proyek sukarela untuk mengiring digitalisasi arsip dan buku. Proyek yang dimulai pada tahun 1971 ini merupakan perpustakaan digital pertama di dunia.

Mayoritas PG terdiri atas buku teks yang merupakan domain publik. Tujuan PG adalah membuat semua koleksi teks di dunia menjadi gratis dan dapat diakses siapa saja dengan menggunakan format terbuka sehingga dapat dibuka di beragam jenis komputer. Pencetusnya adalah Michael Hart, seorang mahasiswa University of Illinois.
Ingin agar buku berbahasa Indonesia juga tersedia di e-book? Mengapa para penulis kita tak mencobanya lebih dulu? Anda barangkali?
Dedengkot Ubuntu Dukung “Open Source” Indonesia

Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA – Pendiri sistem operasi Linux Debian, Ubuntu, siap membantu program Indonesia Goes Open Source (IGOS). Setidaknya itulah yang tebersit dari kunjungannya ke Jakarta pekan silam.

Pengembang Open Source Indonesia ke luar negeri, itu sudah biasa. Tapi kalau dedengkot Open Source Linux luar ke Indonesia, itu baru luar biasa. Itulah yang terjadi pekan lalu saat Mark Shuttleworth, founder sekaligus chairman distro sistem operasi Linux Debian, Ubuntu berkunjung selama satu hari di Jakarta, dalam rangka mendukung gerakan Open Source di negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Perkembangan Open Source di Indonesia menurut Mark hampir sama dengan yang ia lakukan di Afrika Selatan. Rata-rata semua negara berkembang memiliki ciri yang sama,” ungkap Frans Thamura, moderator milis resmi Ubuntu untuk Indonesia, ubuntu-id, kepada SH di Jakarta, belum lama ini.

Distro Ubuntu cukup populer dipakai di Warung Internet (Warnet) di seantero Indonesia. Ini disebabkan distro tersebut bisa bebas disebarkan secara gratis. Ubuntu merupakan salah satu distro Linux, sama seperti Suse, Fedora, Redhat atau RPM. Kata “Ubuntu” berasal dari bahasa Afrika yang berarti kemanusiaan untuk semua.
Pengembangannya dilakukan secara komunitas. Namun, Mark Shuttleworth yang membiayai promosi dan distribusi melalui perusahaannya, Canonical Ltd. Nama Versi Ubuntu diperbarui setiap enam bulan sekali. Pengembang ini diberi nama Ubuntu Foundation yang sudah merilis Ubuntu versi 6.04 dengan nama sandi “Dapper Drake”.

Versi ini akan berlaku sampai tiga tahun ke depan untuk penggunaan komputer meja dan lima tahun untuk server. Versi teranyar ini dapat dioperasikan pada Personal Computer (PC) dengan prosesor Intel x86, 64-bit PC (AMD64) dan PowerPC seperti Apple iBook dan Powerbook, G4 serta G5. Ubuntu merupakan distro yang khusus dipakai untuk beragam peranti lunak gratis.

Kunjungan Mark ke Indonesia sekaligus menandai dukungannya terhadap program Indonesia Goes Open Source (IGOS) Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Ia akan membiayai seluruh promosi dan pengembangan IGOS dengan menggunakan distro Ubuntu.
Frans berpendapat bahwa Ubuntu sesuai bagi pengembangan Open Source di Indonesia, sebab dikembangkan secara global oleh komunitas Ubuntu di seantero dunia.
Sejauh ini sudah lumayan banyak distro Linux hasil kembangan anak negeri. Yang menjadi masalah adalah, “Saya tidak percaya kalau orang lokal mampu membuat distro yang komit dan memperbarui versinya terus-menerus, sekaligus memiliki sistem pemasaran yang baik,” ungkap Frans. Itulah yang membuat Open Source kurang bergaung di Indonesia walau sudah lumayan banyak penggunanya.

Selain membantu program IGOS, Mark akan menjajaki kemungkinan berinvestasi di Indonesia sambil berupaya memperkuat jaringan dukungan teknis melalui kemitraan dengan pengembang lokal. Indonesia hanya satu di antara 22 negara berkembang yang dikunjungi Mark.

Bidang Pendidikan
Yang paling cocok dengan kondisi di Indonesia saat ini sesungguhnya adalah Proyek Edubuntu, sebuah program Yayasan Ubuntu yang mengkhususkan diri di bidang edukasi. Proyek ini sangat sesuai dengan usaha pengentasan gagap teknologi alias gaptek di kalangan generasi muda. Tengah dijajaki kemungkinan adanya upaya memasukkan peranti lunak Open Source ke dalam kurikulum sekolah.

Kelebihan Ubuntu dibanding dengan distro Linux lain seperti Redhat dan Fedora, Ubuntu hanya menyediakan satu versi dan bisa diperoleh secara gratis, termasuk patch dan update keamanan.

Mark Shuttleworth adalah pendiri Yayasan Shuttleworth, sebuah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan pendidikan berbasis di Cape Town, Afrika Selatan. Ubuntu hanya satu dari beragam proyek yang didanainya. Mark juga menjadi orang Afrika pertama yang terbang ke luar angkasa. Pada April 2002 silam ia menjadi satu anggota kosmonot misi Soyuz TM34. Proyek Ubuntu dibuatnya pada tahun 2004 dengan tujuan memproduksi sistem operasi Open Source berkualitas tinggi bagi setiap orang di dunia.

Sunday, January 01, 2006

Jangan Telan “Wikipedia” Bulat-bulat



Oleh
Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA – Zaman sekarang, kalau Anda bingung definisi suatu istilah, Anda tak perlu lagi membolak-balik halaman buku. Anda juga tak perlu keluar-masuk perpustakaan. Ada Google dan Wikipedia di Internet yang siap membantu.

Namun, keterbatasan Google sebagai search engine membuat satu istilah tidak langsung terdefinisi secara pasti. Beruntunglah ada Wikipedia yang langsung mendefinisikan satu kata atau istilah. Ensiklopedia di dunia maya ini ternyata tak bisa dipercaya 100 persen.

Wikipedia yang dibuat oleh yayasan Wikimedia, resmi ada 30 Juni 2003. “Tujuan yayasan ini adalah mendukung perkembangan pengetahuan bebas, proyek-proyek berdasarkan WikiWiki dan menyediakan isi proyek ini untuk khalayak ramai secara bebas, gratis, tanpa iklan,” demikian keterangan website Wikipedia mengenai ensiklopedia ini. Oleh karena itu, web ini bebas dari kerlap-kerlip iklan.

Pengembangannya pun dibuat secara open source, artinya terbuka untuk dikembangkan oleh siapa saja. Ini sesuai namanya. Wikipedia berasal dari kata Wiki dan ensiklopedia. Wiki merupakan program kumpulan halaman web yang dapat diubah oleh semua orang setiap saat. Konsep dan peranti lunak Wiki diciptakan oleh Ward Cunningham. Oleh karena itu, Wikipedia tersedia dalam beragam bahasa, mulai dari Finlandia, Swedia, Korea, Tagalog, Melayu, Italia sampai Sunda dan Jawa. Ini karena siapa saja bebas membuat versi bahasa sesuai dengan komunitasnya.

Wikipedia bahasa Indonesia sendiri sudah menyimpan sekitar 14.000 artikel. Kalau anda sendiri merasa ingin menambahkan satu definisi istilah, bisa langsung mendaftar sebagai Wikiwan atau Wikiwati. Apabila Anda ingin mengedit suatu artikel, cukup mengeklik kata “sunting” atau “edit”. Hal ini memungkinkan terjadinya koreksi apabila terjadi kesalahan dalam suatu artikel.

“Pada prinsipnya, Wikipedia itu memakai sistem open review. Jadi, kalau ada orang yang memasukan informasi baru, bisa diedit oleh orang lain,” papar Ahmad Husni Thamrin, pengamat Teknologi Informasi (TI) dari Keio University, Graduate School of Media and Governance kepada SH baru-baru ini. Apabila ada informasi yang salah atau tidak sesuai dengan fakta, Wikiwan atau Wikiwati lain bisa mengeditnya.

Kelemahan
Namun, ada kelemahan pada Wikipedia ini, yakni dari sisi skalabilitasnya. Menurut Husni, bagaimana Wikipedia menghadapi perubahan informasi di dalamnya. “Tidak semua orang yang paham dengan entry-entry tertentu di Wikipedia berpartisipasi dalam edit entry tersebut. Jika partisipasinya tidak banyak, akurasi di Wikipedia tidak bisa dijamin,” komentar Husni. Dengan demikian, kita tidak bisa mempercayai Wikipedia bulat-bulat. Untuk definisi istilah yang mendasar atau umum mungkin bisa. Namun, untuk artikel yang berkaitan dengan tokoh atau sejarah, perlu dicari referensi lainnya.

Kasus paling hangat menimpa Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg yang menemukan biografi dirinya di Wikipedia. Ia merasa sejarah hidupnya dikacaukan dan mengandung pernyataan tak benar. Sebagian besar biografinya dicomot begitu saja dari gosip media massa. Bayangkan, kalau hal ini menimpa diri kita.

Ihwal tidak akuratnya informasi di Wikipedia ini juga pernah disentil oleh John Seigenthaler dalam artikel di USA Today . Ia bahkan menyebut web ensiklopedia itu sebagai web canda belaka. Ini disebabkan betapa mudahnya mengubah artikel di Wikipedia. Bisa saja ada oknum tak bertanggungjawab mengubah biografi seorang tokoh seenak hati. Memang, kelak akan ada yang mengkoreksinya. Namun, berapa lama waktunya sebelum seseorang menyadari adanya kesalahan itu? Pihak Wikipedia sendiri sadar betul akan risiko ini dan sudah membuat disclaimer bahwa mereka tidak menjamin validitasnya sendiri. Oleh karena itu, jangan menelan bulat-bulat semua informasi yang ada di Wikipedia, atau bahkan ensiklopedia manapun. Copyright © Sinar Harapan 2005

Thursday, December 01, 2005

Bahkan Tuhan pun Punya Friendster

Merry Magdalena untuk Detik

“Hai”

“Hai, ASL please.”

“20 f jkt. Kamu?”

“22 m jkt. Ada FS?”

“Apa itu FS?”

“Friendster. Gini hari ngga punya Friendster?”

Itu sebuah percakapan di bilik chat room. FS alias Friendster sudah jadi semacam kualifikasi bagi peserta chat. Lebih simple dan efisien untuk saling bertukar foto dan jati diri. Kalau masih menjumpai teman chat yang minta dikirimi foto lewat email, maka siap-siap saja untuk “dicaci”, dianggap kuno, ketinggalan zaman. “Gini hari belum punya FS? Kemana aja lu?” Mengapa harus FS?

“Dengan adanya FS, kita bisa lebih yakin dengan teman chat kita. Setidaknya jelas namanya, tempat dia kerja, alumni mana dan yang pasti tampangnya,” komentar seorang chatter. Bisa saja akun FS itu palsu, tapi kelamaan akan ketahuan juga. Seperti kita tahu, FS adalah portal gaul yang bukan sekadar berisi foto dan jati diri, sekaligus juga semacam social networking, jaringan sosial dari satu member ke member lainnya. Ada pula fitur testimoni dimana teman yang bersangkutan bisa memberi kesaksian mengenai polah tingkah di pemilik profil. Yang testimoninya nol, temannya sedikit, tidak ada foto, maka bisa dicurigai sebagai akun FS tak jelas. Jadi bisa kita tolak kapan saja,dimana saja.

Mengapa harus FS? Mengapa tidak portal gaul lain seperti Yahoo 360, Hi5, Multiply, Live Connector, atau Orkut? Seorang teman yang “gaul abis” mempunyai akun di FS, Yahoo 360, Hi5, Live Connector bahkan Nasseb, sebuah portal gaul khusus muslim. Berdasar testimoninya, jumlah temannya yang paling banyak tetap di FS. “Susah buat mengundang teman ke portal lain,” ujarnya kepada saya. Teman lain lagi saat ditanya, “Ikut Orkut?” Justru menjawab,”Apaan tuh Orkut?” Padahal ia punya ratusan teman di akun FS-nya. Saya pribadi mencoba ikut bergabung dengan Yahoo 360. Tetap saja, gaungnya tak seheboh FS. Rata-rata teman yang saya undang bergabung di Yahoo 360 sudah punya akun di FS dan mengaku malas menambah jumlah akun di portal gaul lain. “Capek ngurusinnya,” ungkap Didin, panggilan akrab Solehudin yang bernama maya Pataka.

Fakesters

Padahal FS bukanlah produk lokal seperti halnya www.gree.jp atau www.mixi.jp yang begitu digandrungi penduduk Matahari Terbit . FS adalah buatan Jonathan Abrams asal California pada 2002. Portal yang kelamaan menambahkan fitur blog ini mulai dikenal di Indonesia sejak sejumlah stasiun radio swasta mempopulerkannya. Radio Prambors misalnya secara on air mengumumkan akun FS-nya pada kisaran awal tahun 2004. Ditambah tokoh Dedi Mahendra Desta, penyiarnya yang juga drummer Club 80s, Prambors berhasil mendongkrak popularitas FS. Desta yang dinobatkan sebagai The King of Friendster sampai hari ini telah mempunyai sedikitnya 10 akun asli di FS.

Kepada Wikipedia, FS mengklaim sudah memiliki lebih dari 20 juta anggota dari seantero dunia. Itu antara yang “ada” dan “tiada”, sebab tidak semuanya aktif dan tergolong akun asli. Kalau disaring lagi bisa jadi hanya dua juta saja. Pemilik akun FS tidak selalu individu, bisa perusahaan, kelompok musik, fans club, stasiun radio, komunitas milis dan sejenisnya. Ada pula yang disebut dengan “fakesters” yakni akun palsu.

Untuk yang terakhir ini jangan ditanya lagi. Kalau menemukan akun Brad Pitt, bisa dipastikan itu palsu. Atau ketik saja nama Dian Sastro di panel user search, maka akan muncul puluhan profil pacar anak Yapto Soeryo Soemarmo itu. Bahkan Tuhan pun punya FS. Demikian juga Jesus, Allah, HM. Soeharto, setan, devil, Lucifer sampai si pemangsa mayat, Sumanto, lengkap dengan fotonya. Akibat ulah “fakesters”, seorang pengamat Teknologi Informasi (TI) Indonesia sempat dibuat berang. Sebab dalam profil palsunya di FS itu sang pengamat TI digambarkan sebagai sosok yang sangat jauh dari kenyataan.

Di Indonesia FS sudah punya tempat khusus di hati begitu banyak komunitas maya. Terlebih lagi sejak Juli 2004 kemarin sudah berjalan di aplikasi PHP setelah melalui aplikasi beta dan JSP.

Menyusul sukses FS, portal raksasa Yahoo! tidak mau ketinggalan. Pada 29 Maret 2005 lalu muncul Yahoo!360 yang mirip FS. Bedanya, untuk memiliki akun di sini haruslah di-invite oleh member terdahulu. Agaknnya Yahoo berusaha memanfaatkan iklim gaul di Internet yang melanda dunia. Terlebih lagi portal tersebut jelas-jelas sudah lumayan komplit dengan fitu gaul lain seperti Yahoogroups, Yahoo Messenger (YM), Yahoo Personal, dan banyak lagi. Kelebihan Yahoo!360 dari FS adalah member cukup melakukan sekali log in saja maka bisa mengakses Yahoo!360, email, milis, juga YM. Tidak perlu keluar masuk akun berulang kali. Sama dengan FS, Yahoo!360 juga dilengkapi blog, share photos, testimoni dan sejenisnya. Namun untuk menjaring teman di Yahoo!360 tidaklah semudah FS. Ini saya alami sendiri. Akibatnya, teman saya di Yahoo!360 tidak sebanyak di FS. Apa pasal? Bisa jadi ini disebabkan Yahoo!360 “ketinggalan kereta”. Teman-teman di Indonesia sudah terburu masuk ke “gerbong” FS dan berasyik masyuk di sana. Jadi Yahoo!360 hanya dianggap sebagai pelengkap semata.

Fanatik

Sebelum Yahoo!360, sesungguhnya sudah ada Multiply, portal gaul sejenis yang lebih mengutamakan blogshare. Dibuat oleh Peter Pezaris asal Florida, AS, pada Desember 2003, Multiply memiliki penggemar fanatik yang memang jumlahnya tidak sebanyak FS. Tapi sekali seseorang bergabung dengan Multiply, maka ia akan terus aktif. “Di sini kita bisa sekaligus membuat blog dan foto, berbagi dengan yang lain, mencari teman baru, juga membuat ulasan,” ujar Job, seorang pehobi Multiply. Bisa diibaratkan Multiply adalah sebuah majalah pribadi di dunia maya. Bukan profil member yang diutamakan, melainkan opininya yang bisa dalam bentuk tulisan maupun foto dan gambar. Bedanya dengan fitur blog biasa, Multiply memiliki template standarsehingga member tak perlu pusing-pusing memilih aneka template atau mendesain sendiri.

Lalu ada lagi yang namanya Orkut. Beda dengan FS, Orkut merupakan portal gaul antar komunitas. Diciptakan oleh para karyawan Google asal Turki pada Januari 2004, portal ini justru banyak diminati di Brazil. Berdasar klaim mereka, hingga September tahun lalu mereka sudah memiliki member 2 juta-an. Sebanyak 73 persen member Orkut berasal dari Brasil, 6 persen AS, 5 persen Iran dan 3 persennya dari Pakistan. Di Indonesia, portal gaul ini masih kurang popular.

Selain portal-portal tadi, ada Hi5!, Nasseb, Live Connector dan banyak lagi. Sayang mereka masih sulit untuk merebut hati komunitas gaul di dunia maya akibat sudah terdului oleh FS.

Kendati FS, forum chatting serta aneka forum gaul lain tak bisa dijadikan patokan bahwa orang Indonesia sudah tidak gagap teknologi alias gaptek, saya pribadi termasuk yang berbangga hati kalau banyak orang kita yang berlaga di sana. Awalnya memang hanya bergaul, chit chat, main games atau bahkan cari jodoh. Bukan tak mungkin kelamaan muncul keinginan mempelajari,”Bagaimana sih bikin blog sendiri.” Lalu disusul dengan minat “Mau bikin website sendiri, ah.” Dan dari situlah TI mulai menjadi candu. Maka jangan heran kalau hari ini Anda belum punya FS dan dicemooh, “Gini hari belom punya FS? Tuhan aja punya!”***

Anshar.net Bukan Satu-satunya Web Teroris

JAKARTA- Terbongkarnya “sekelumit” jaringan teroris Azahari dan kawan-kawan membuka fakta bahwa internet bisa jadi media koordinasi kelompok tertentu, baik yang positif maupun negatif.

Sudah nyaris sepekan ini website www.anshar.net sulit diakses. Bagaimana tidak, sejak diketahui bahwa web tersebut menjadi media komunikasi dan koordinasi kawanan teroris Azahari dan kawan-kawan, hampir semua user internet mengaksesnya. Tentu saja ini seperti sebuah “promosi” gratis bagi kelompok tersebut.

Web yang disinyalir hasil carding itu memang lumayan sukses menjadi ajang kampanye gerakan kelompok Azahari dan kawan-kawan. Website memang sudah menjadi media informasi di samping televisi, radio, majalah atau surat kabar. Fasilitas ini bisa diakses siapa saja melalui internet. Cukup mengetahui Uniform Resource Locator (URL)-nya, semua orang bebas menyerap informasi yang ada. Website biasanya dilengkapi fasilitas untuk mengumpulkan peminat atau komunitas, yakni dengan melakukan registrasi sebagai anggota. Ada pula yang dilengkapi forum atau milis agar terjalin komunikasi antaranggotanya.

Media Ampuh
ìWebsite bisa menjadi media membujuk orang-orang, memberikan informasi yang meyakinkan dan lain-lain. Tapi, artinya orang yang terbujuk itu harus memahami informasi yang ada di situs tersebut. Sama halnya dengan opini orang yang terbentuk dengan buku, koran, majalah, dan seterusnya,” ujar Budi Rahardjo, pengamat Teknologi Informasi (TI) saat dihubungi SH, belum lama ini.

Budi yang juga dosen Fakultas Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengaku lebih banyak mengamati masalah bisnis di dunia maya ketimbang terorisme. Sesungguhnya internet merupakan media komunikasi yang murah dan andal. Setidaknya internet bisa dipakai untuk berkoordinasi. Skalanya yang besar, plus keberadaan teknologi pengamanan akan dapat menyusahkan banyak pihak untuk menelusuri pemiliknya.
Inilah yang terjadi pada www.anshar.net yang ternyata terdaftar atas nama warga San Jose, Amerika Serikat (AS). Berarti ada carder alias pencuri rekening kartu kredit yang membeli domain tersebut. Fakta ini adalah bukti bahwa internet memang memungkinkan suatu kelompok melakukan propaganda secara bebas tanpa harus mempublikasikan identitasnya.

Rahasia
“Tidak mungkin jika teroris misalnya mendaftarkan domain tertentu dan menggunakan situs tersebut untuk berkomunikasi kalau semua profil asli diungkap ke publik, misalnya pendaftar siapa, alamat di mana,” komentar Heru Sutadi, pengamat TI dari Universitas Indonesia (UI) kepada SH dalam kesempatan berbeda. Inilah salah satu faktor yang membuat banyak kelompok atau organisasi memanfaatkan internet sebagai ajang propaganda.
Heru mengamati website seperti Jihadwatch. com, Haganah.com, memonitor perkembangan gerakan perjuangan. Ada juga website Qudsway.net yang digunakan Palestinian Islamic Jihad.

Jadi sesungguhnya anshar.net bukanlah satu-satunya website yang dipakai sebagai propaganda. Di luar ini, masih segudang ideologi yang menggunakan internet sebagai media ampuh berpropaganda atau memupuk kekuatan. Sebut saja gerakan Neo Nazi yang bisa dengan sangat mudah ditemukan propagandanya di dunia maya.
Namun, tidak selamanya website hanya melulu dijadikan media kelompok yang berkonotasi negatif. Budi menyebutkan ada banyak website yang digunakan untuk memerangi kekerasan seperti Ready.gov milik pemerintah Amerika Serikat yang merupakan program Department of Homeland Security yang ditujukan kepada warga AS. Sayangnya, di Indonesia, internet belum digunakan secara maksimal sebagai media komunikasi seperti di AS atau negara maju lainnya

Friday, September 23, 2005

Hati-hati, SMS Palsu Rawan Tindak Kriminal

Jakarta – Siapa saja bisa mengirim Short Message Services (SMS) atas nama nomor ponsel siapa saja. SMS palsu alias fake SMS sudah menjadi hal biasa di kalangan komunitas teknologi informasi (TI). Bagaimana aspek hukumnya?

Seorang pemilik telepon seluler (ponsel) terkejut menerima pesan SMS yang sungguh tak biasa. Pesan tersebut berasal dari praktisi TI Roy Suryo. Padahal ia yakin betul Roy tak akan pernah mengiriminya SMS semacam itu. Namun pesan tertanggal 27 Januari 2005 itu jelas mencantumkan nomor ponsel Roy sebagai pengirimnya. Tak pelak lagi, Anthony Fajri, Administrator Jaringan Departemen Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) si penerima SMS telah mendapat SMS palsu.
”Saya sama sekali tidak yakin bahwa yang mengirim itu adalah pemilik nomer tersebut. Selidik punya selidik, ternyata yang mengirim adalah salah seorang teman yang memang berniat mengerjai,” papar Fajri, demikian panggilan akrab lelaki bersahaja ini. Menurut Fajri, si teman yang tak mau disebut namanya ini menggunakan sebuah provider. Dengan provider tersebut, ia bisa mengirim SMS kepada siapa saja atas nomor ponsel siapa pun yang ia inginkan.

Berlangganan
Si pengirim SMS palsu tersebut kepada SH mengaku cukup mudah mengerjai siapa saja. Cukup dengan berlangganan sebuah provider SMS maka siapa pun bisa membuat SMS palsu. ”Ini provider berlangganan, tidak gratis seperti yang dilansir seorang praktisi TI,” jelas pengirim SMS palsu kepada SH dari Jepang melalui Yahoo Messenger, awal pekan ini. Pengirim yang enggan disebut namanya tersebut menantang SH untuk dikirimi SMS palsu. SH diminta menyebut nomor ponsel siapa saja yang ingin dipakai sebagai nomor pengirim. Betul saja, tak lama SMS palsu itu datang juga.
Tak terlalu sulit mengirim SMS palsu ini. Cukup dengan membuka satu website yang menyediakan sarana pengiriman SMS melalui internet. Dari sini dilakukan registrasi berlangganan, pembayaran dengan kartu kredit, maka siapa saja bisa mengirim SMS semau hati. Tindakan ini cukup riskan disalahgunakan opleh oknum tertentu. Bisa mengatasnamakan seseorang atau perusahaan ke nomor ponsel tertentu untuk mengirimkan uang ke rekening tertentu. Ini sudah masuk aksi kriminal atau cybercrime. Aksi lain yang tak kalah negatif adalah fitnah, pencemaran nama baik dan pembunuhan karakter.
Lantas, bagaimana dengan kepastian hukumnya? Apakah pelaku penyalahgunaan SMS palsu bisa dilacak?

Aspek Hukum
Donny Budi Utoyo, Koordinator Information, Comunication and Technology Watch (ICT Watch) menyatakan bahwa untuk mengangkat masalah ini menjadi kasus hukum agak sulit, kecuali jika kasus itu tergolong besar. Yang bisa digolongkan kasus besar adalah apabila SMS palsu itu meresahkan publik, pencemaran nama baik seorang tokoh penting, atau penipuan besar-besaran yang merugikan banyak orang.
Secara teknis, pelaku bisa dilacak melalui operator SMS yang bersangkutan, yakni dengan mengetahui login user. Namun itu pun akan sulit bila providernya di luar negeri seperti Clickatel atau FreeSMS.
”Karena log adalah sebuah bukti digital, dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengadopsi adanya bukti digital tersebut. Trik yang biasa dilakukan adalah dengan mendatangkan saksi ahli untuk membuktikan bahwa bukti digital tersebut adalah memang sah dan valid. Soal akhirnya dipakai atau tidaknya bukti tersebut oleh pengadilan, itu
soal lain lagi,” papar Donny dalam diskusi mengenai fake SMS.
Sementara pihak penyedia priovider tidak bisa dikenakan sanksi apa pun. Provider tersebut hanya memberikan sarana dan fasilitas. Tapi biasanya porvider yang bersangkutan bisa ikut terseret seperti misalnya menjadi saksi atau perangkatnya disita sementara sebagai barang bukti.
Tapi jika diteliti, sebuah SMS palsu memiliki beberapa kelemahan sehingga bisa dibedakan dengan SMS asli. Contoh SMS palsu yang diterima SH memiliki perbdedaan waktu yang mencurigakan. SMS palsu disertai keterangan waktu berbeda dengan waktu aktual saat kita menerimanya. Misalnya kita menerima SMS tersebut pukul 15.00, tapi pada SMS tersebut tertera pukul 7.00. Ini disebabkan perbedaan waktu antara lokasi provider dengan lokasi pemilik ponsel.
Perbedaan lain adalah terkadang nomor telepon pengirim di SMS palsu tak sesuai dengan nomor yang tersimpan pada ponsel penerima. Ambil contoh SMS palsu yang diterima SH mencantumkan nomor ponsel 62818467xxx, padahal yang tersimpan pada ponsel SH hanya 818467xxx. Ini disebabkan si pelaku pengirim SMS palsu tidak tahu format nomor ponsel yang kita simpan di handset ponsel si penerima.
Disarankan agar siapa pun yang menerima SMS mencurigakan jangan langsung percaya dengan isi pesan SMS tersebut. Teliti dengan benar jam serta nomor ponsel pengirim yang tertera, apakah cukup valid dan sesuai dengan data yang tersimpan dalam phone book kita.
Munculnya teknologi yang memungkinkan siapa saja bisa mengirim SMS palsu memang cukup mengkhawatirkan. Ini sama saja dengan begitu banyak fasilitas internet yang bisa dipakai untuk aksi carding, cracking dan banyak lagi. Dari sini bisa dibuktikan bahwa teknologi menyerupai pisau, akan berfungsi dengan baik jika memang digunakan sesuai kebutuhan. Sebaliknya, bisa merugikan kalau disalahgunakan dan ada di oknum yang jahat.
(SH/merry magdalena)









Copyright © Sinar Harapan 2003
Lindungi Privasi Anda di Dunia Maya


Jakarta - Sejauh mana privasi seseorang bisa terlindungi di dunia maya? Situs pencari sejenis Google bisa saja menyibak rahasia hidup Anda.

“Dari mana Saudara tahu nomor telepon saya? Saya tidak pernah memublikasikannya,” seorang narasumber terhenyak ketika dihubungi wartawan. Dengan santai, wartawan tadi menjawab,”Dari Google, Pak.”
Peristiwa seperti ini kerap terjadi dalam kinerja dunia jurnalistik. Mencari tahu data pribadi seorang tokoh ternama bukan hal sulit di era Teknologi Informasi (TI) seperti saat ini. Klik saja situs pencari seperti Google, Alta Vista, atau Yahoo. Ketik nama tokoh yang bersangkutan, akan keluarlah semua data yang berhubungan dengan tokoh tadi. Mencari foto juga bukan perkara sukar. Kian popular nama seseorang, kian banyak data dan informasi yang bisa kita dapat di dunia maya.
Bagi wartawan atau profesi lain yang mengandalkan pencarian data, situs pencari alias search engine merupakan temuan paling membantu abad ini. Google, misalnya, bisa menelusuri seantero jagat maya hingga 8.058.044.651 halaman website. Weblog, jurnal harian pribadi, atau milis sekalipun tidak luput dari pencarian ini.
Singkatnya, situs pencari serupa Google tak ubahnya sebuah bank data yang bisa diakses siapa saja. Chris Hoofnagle, penasihat senior dari Electronic Privacy Information Center menyebut Google sebagai salah satu pembocor privasi terbesar di Internet.

Interaksi
Sejauh manakah privasi kita bisa terjaga di dunia maya? “Semua tergantung pada bagaimana seseorang berinteraksi dengan Internet. Seperti misalnya database dalam halaman milis yang mencantumkan tanggal lahir, alamat, dan sebagainya. Itu semua informasi yang sifatnya pribadi,”ujar Ahmad Husni Thamrin, pemerhati TI yang tengah mengambil program doktoral di Keio University, Jepang kepada SH, Rabu (27/7) saat dihubungi melalui Yahoo Messenger.
Makin sering seseorang berinteraksi dengan Internet, makin banyak pula data dirinya yang tersimpan di dunia maya tersebut. Sebagai contoh, orang yang memiliki weblog bisa saja secara sengaja mencantumkan alamat dan nomor telepon seluler (ponsel), bahkan alamat dan foto. Begitu pula peserta milis yang dengan senang hati menaruh semua data pribadinya di database milis yang bersangkutan.
Namun, tak jarang terjadi justru orang lain yang meng-online-kan semua data pribadi kita tanpa kita ketahui atau beri izin. Inilah yang bisa terlacak oleh situs pencari sehingga siapa saja yang memang sengaja mencari data kita bisa dengan mudah mendapatkannya. Lalu, akankah data pribadi ini disalahgunakan oleh orang lain? Jawabannya selalu saja mungkin.
Internet merupakan suatu belantara yang bebas merdeka diakses oleh siapapun. Jika kebetulan orang berpikiran negatif dengan maksud buruk memanfaatkan data tersebut, tak ada yang bisa mencegah. Inilah yang memungkinkan terjadinya segala jenis kejahatan di Internet alias cybercrime.
“Selama Uniform Resouce Locator (URL)-nya bisa di-link oleh URL lain serta tidak disertai password, situs pencari semacan Google akan selalu bisa melacaknya,” jelas Ahmad yang alumni Fakultas Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Jaga Privasi
Namun riskannya situs pencari Google terhadap penyalahgunaan data ditangkis oleh Nicole Wong, penasihat umum Google. “Secara umum sebagai sebuah perusahaan, kami selalu memandang privasi dari sisi manapun kami bekerja,” ungkapnya seperti yang dikutip AP baru-baru ini.
Maksudnya, dari mulai manajer produk, pakar teknis hingga eksekutif selalu mempertimbangkan segala sesuatu yang berpengaruh terhadap privasi pengguna. Wong menyebut pihaknya selalu menanggapi komentar dari sejumlah kalangan pemonitor kinerja mereka seperti Center for Democracy and Technology dan Electronic Frontier Foundation.
Keduanya selalu memonitor sejauh mana hasil pencarian data Google masih dalam batas yang dikehendaki. Google memiliki ketentuan bahwa hanya sebagian saja dari karyawannya yang memiliki akses ke data personal. Tapi, kita punya batasan sendiri-sendiri mengenai apa itu yang layak disebut sebagai privasi.
Menurut Wong, Secara otomatis Google merekam semua informasi ke nomor Internet Protocol (IP) pengguna serta nomor ID yang tersimpan dalam web browser. Makin sering data tersebut diakses orang, makin besar pula kemungkinannya muncul dalam hasil pencarian.
Tidak ingin sembarang orang menghubungi Anda melalui ponsel atau email pribadi? Kalau memang demikian, janganlah sembarang meng-online-kan data itu. Tapi kalau memang ingin popular dan dikenal seantero dunia maya, silakan saja memperintim hubungan Anda dengan Internet. Semua tergantung pada keputusan Anda. Copyright © Sinar Harapan 2003
TI Bisa Bikin Indonesia Jadi Adidaya


JAKARTA - Kesenjangan digital (digital divide) di Indonesia ternyata tidak terlalu parah. Dengan infrastruktur yang baik, Internet bisa membuat Indonesia jadi negara adidaya (superpower).

Dua “pejuang” Teknologi Informasi (TI) Indonesia, Onno W. Purbo dan Basuki Suhardiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB) baru saja menghadiri Asia Pacific Advanced Network (APAN) di Taipei, Taiwan, 22-27 Agustus kemarin. Itu merupakan pertemuan dua tahunan bagi para peneliti Asia Pacific khususnya di bidang teknologi jaringan kecepatan tinggi 1-5Gbps.
Baik Onno maupun Basuki datang atas undangan Michael Lin seorang deputy director dari Department of Information Management dalam pemerintahan Taiwan. Departmen of Information Management bertanggung jawab atas e-government dan digital divide di Taiwan. Kira-kira setara dengan Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) kalau di Indonesia.
Onno melihat bahwa kondisi kesenjangan digital di Indonesia ternyata tidak terlalu buruk dibanding dengan negara Asia Pasifik lain. Sebut saja Taiwan yang telah mengembangkan 141 buah telecenter di area pedesaan tahun 2001. Dan program itu gagal total. “Mereka mengakui terus terang kesalahan paling fatal yang mereka lakukan karena pendekatan yang digunakan sangat top down didrop oleh pemerintah dan tidak melibatkan komunitas daerah. Itu adalah kesalahan fatal mereka.
Di samping tidak adanya orang teknis yang mendukung operasional telecenter mereka,” ungkap Onno dalam emailnya kepada SH belum lama ini.

Adidaya
Hal senada diungkap Basuki Suhardiman. Ia berpendapat bahwa untuk menilai posisi Indonesia dalam kesenjangan digital, dibutuhkan definisi tepat ihwal kesenjangan digital itu sendiri. “Digital divide sering dibayangkan negara Afrika. Indonesia jelas tidak seperti itu. Tapi kalau dibilang penyebaran, memang kita masih kurang . Bayangkan saja untuk menempuh perjalanan Sabang sampai Merauke , sama dengan perjalanan dari Dublin, Irlandia ke Moskow,” jelas Basuki kepada SH melalui Yahoo Messenger.
Tentu saja Indonesia jauh lebih maju dibanding negara selevel negara di benua Afrika. Ini bisa kita lihat dari keseharian orang Indonesia yang nyaris tak bisa terlepas dari telepon seluler (ponsel), komputer, juga Internet, kendati itu masih didominasi penduduk kota besar. Jadi masalah sebenarnya terletak pada penyebaran akses TI itu sendiri. Hal ini tentu harus didukung dengan infrastruktur memadai. Basuki menekankan, andai infrastruktur TI Indonesia memadai, bukan tak mungkin Indonesia menjadi negara adidaya.
Internet yang terjangkau bagi rakyat pun bisa direalisasi asal didukung oleh edukasi yang baik bagi masyarakat, juga keinginan membangun infrastruktur dari pemerintah.
Warnet
Sedangkan Onno menekankan perjuangan memerangi kesenjangan digital bisa tumbuh dengan sendirinya di kalangan rakyat, dalam hal ini pihak swasta. Onno melihat selama ini pembangunan TI di Indonesia lebih banyak berasal dari dan untuk rakyat. Sebut saja Usaha Kecil Menengah (UKM) berupa Warung Internet (Warnet) di seantero Indonesia. Warnet ini tak bisa dilupakan perannya dalam memberangus kesenjangan digital.
“Dan yang penting kita tahu bahwa perjuangan rakyat ini telah berhasil menciptakan berbagai solusi dan alternatif yang memungkinkan Internet menjadi murah dan gilanya sebagian besar swadaya masyarakat tidak ada utangan Bank Dunia apalagi IMF,” ujar Onno. Ia juga mengaku dalam hati sangat bersyukur bahwa ternyata apa yang dilakukan rakyat Indonesia di bawah sweeping, pemalakan aparat, yang tidak di dukung pemerintah tidak disokong Bank Dunia, tidak dihutangi IMF ternyata membuahkan hasil yang luar biasa , yakni ribuah Warnet, ribuan nodeWireless Internet dan terus berkembang hingga hari ini. Copyright © Sinar Harapan 2003
Gerakan Itu Bernama Free Software

JAKARTA – Demam open source yang mulai mewabah di Indonesia hanya selangkah sebelum menuju ke gerakan free software. Gerakan macam apa pula itu?

Para hacker, aktivis open source, sebaiknya mampir sejenak ke Negeri Pagoda, Kamboja, akhir pekan silam. Sebanyak 20 negara berkumpul selama tiga hari di Siem Reap, Kamboja. Ajang bertajuk Free and Open Source Software (FOSS) ini menelurkan sikap optimis bahwa peranti lunak bebas lisensi memang dibutuhkan oleh negara berkembang dan miskin. Sikap ini merupakan hasil perdebatan panjang para pengkampanye dan aktifis teknologi informasi (TI) setingkat Asia ihwal pro dan kontra FOSS versus peranti lunak berlisensi. Yang disoroti adalah pengembangan paradigma FOSS, konten yang terbuka, e-governance, lokalisasi dab banyak lagi. Pesertanya sendiri hadir dari pelbagai kalangan seperti praktisi TI, perwakilan pemerintah, pengajar, profesional dan pendukung FOSS.

Bebas Digandakan
Free software adalah perangkat lunak yang bebas dipakai, digandakan, dipelajari, dimodifikasi dan disebarluaskan secara bebas. Program ini dikembangkan oleh para hakcer yang berkolaborasi satu sama lain melalui dunia maya. Ini sudah dimulai sejak tahun 1980-an dan hari ini mulai dirasakan manfaatnya oleh negara-negara Asia Pasifik mengingat harga software dunia terus membengkak.
Di Indonesia, tidak kurang MenteriRiset dan Teknolgi (Menristek) Kusmayanto Kadiman mendukung penuh implementasi open source dengan program IGOS-nya. Langkah pertama, tidak terlalu muluk, adalah memsosialisasikan Desktop IGOS, sebuah program open source buatan dalam negeri, ke seantero perkantoran pemerintah. Selain mengurangi anggaran dalam membeli peranti lunak berlisensi yang mahal, langka ini juga dianggap sebagai “Satu langkah menekan angka penggunaan peranti lunak ilegal,” demikian ungkap Kusmayanto beberapa waktu silam.
Di Kamboja, deputi perdana menteri Sok An juga berargumen bahwa FOSS mampu membantu negaranya menghemat sekian banyak biaya lisensi, juga mengurangi angka pembajakan. Lebih dari itu free software dianggap mampu membuat para pelajar lebih dekat dengan studi ihwal sandi-sandi peranti lunak serta memahaminya lebih baik.
“Banyak negaraberkembang yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan pembajakan. Mereka terlalu miskin untuk membeli peranti lunak berlisensi, akhirnya terjadilah pembajakan hingga level 90 persen bahkan lebih di beberapa negara kawasan Asia Pasifik,” ujar Shahid Akthar, koordinator Asia-Pacific Development Information Programme (APDIP ). Tapi bukan berarti pembajakan dibenarkan dengan dalih kemiskinan. Maka itu hadirnya FOSS mampu memutuskan lingkaran setan tersebut.
Bahkan seorang Richard Stallmen, pencetus ide copyleft dan pendiri Free Software Foundation sekaligus juga hadir dalam even tersebut. Lelaki berambut panjang ini memberi kata penutup pada hari terakhirkonferensi. “Orang-orang di sini mewakili keyakinan dan tjuan mereka. Mereka datang dari gerakan free software sekaligus juga open source. Kita bisa bekerjasama dan membuat sejumlah program yang memastikan user bisa mengontrol peranti lunak yang dipakainya,” papar Stallman.

WinBI
Untuk menuju implementasi free software dan open source tentu dibutuhkan pembangunan kapasitas peranti lunak yang memadai. Tentu saja peranti lunak tersebut harus bisa digandakan, dipelajari, dimodifikasi secara bebas tanpa harus merogoh kocek untuk lisensi. Untuk negara berkembang dimana bahasa Inggris masih belum banyak dikuasai publiknya, tentu saja diperlukan lokalisasi bahasa. Masalah ini juga dibahas dalam forum FOSS ini. Awal dari implementasinya adalah bagaimana melokalisasi peranti lunak ke dalam bahasa Khmer.
Indonesia sendiri sesungguhnya sudah lama memulai program sejenis ini. Tahun 2002 peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolgi (BPPT) bekerjasama dengan Universitas Gajah mada (UGM) mengembangkan WinBi, kependekan dari Window Bahasa Indonesia. Peranti lunak ini bersifat open source namun tetap memakai lisensi yang tentu saja bebas biaya.
”Winbi mencoba mengadopsi model pengembangan program open source yaitu rilis sesegera mungkin, dan sediakan source code, dokumentasi, sehingga orang lain dapat mencoba, memanfaatkannya, melakukan perbaikan, mengembangkan dan sama-sama menerima manfaatnya. Dengan cara disediakan secara terbuka, pihak lain dapat dengan cepat melihat kekurangan. Ataupuin pihak lain dapat menggunakannya untuk beragam aplikasi,” papar I Made Wiryana, salah seorang pengembang WinBI yang mewakili komunitas open source Indonesia dalam website-nya.
Bagaimana “nasib” WinBI di masa kini? Memang masih belum terasa meluas implementasinya. Namun setidaknya program ini sudah meninggalkan source code yang kelak bisa dikembangkan apabila memang dibutuhkan. Setidaknya, membuktikan bahwa sejak dulu kala gema open source memang sudah terdengar, walau lirih.Copyright © Sinar Harapan 2003

Tuesday, May 25, 2004

Windows XP Bahasa Indonesia
Kali ini, Bill Gates Kalah Start dengan Linux

Jakarta, Sinar Harapan

Setelah sekian lama digodok, akhirnya sistem operasi Windows XP Bahasa Indonesia rampung dikerjakan. Ternyata penerjemahannya belum sepenuhnya dilakukan. Ini bukan pertamakalinya ada sistem operasi berbahasa Indonesia. Linux sudah lebih dulu mencuri start.

Kalau tak ada aral melintang, 10 Juni mendatang Windows XP Bahasa Indonesia resmi dirilis di Indonesia. Jangan kecewa, penerjemahan menu-menunya belum mencakup keseluruhan alias full localized. “Ini masih tahap enablement, hanya proofing tools saja. Masih sampai pada level sistem operasi saja. Sedangkan program seperti Microsoft (MS) Words, Excel atau Power Point belum,” jelas Wesly Sumenap, Desktop Product manager Microsoft Indonesia kepada pers di Jakarta belum lama ini.

Belum Keseluruhan
Itu berarti, pengindonesaan belum mencakup user assistance (help menu), Visual basic Administrator, Online Service, tambahan add-ins seperti Smart Tag, Macros dan sebagainya. Menu Windows update, Security Faxes juga masih dihadirkan dalam bahasa Inggris. Wesly menandaskan bahwa tahap ini merupakan permulaan dari penerjemahan. Tahap selanjutnya adalah partial localization, dimana pelokalan bahasa dilakukan lebih banyak persentasinya. Saat ini versi tersebut baru ada di negara Bulgaria.
Versi full localized Windows sendiri, dimana Windows diterjemahkan 100 persen ke bahasa setempat baru terdapat di 24 bahasa di seantero dunia. Menurut Wesly, dengan diterjemahkan ke bahasa Indonesia diharap penggunaan dan penerapan software Windows XP lebih menarik minat penduduk Indonesia. Bahkan pihak Microsoft yang biasanya mengharamkan download gratis berani menawarkan download sistem operasi ini secara cuma-cuma di situsnya.
Seperti apa itu Windows XP Bahasa Indonesia? Dari penilaian SH, cukup banyak penggunaan istilah baru dalam bahasa kita yang agak membingungkan pengguna. Contoh saja kata “drive” yang diterjemahkan menjadi “kandar.” Orang awam akan terkesima membacanya. Tapi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “kandar” adalah kata dasar dari kendara. Lalu ada lagi kata “tetikus” yang memancing tawa. Jangan terkejut, ini merupakan padanan kata “mouse”. Kemudian ada lagi “wisaya” yang dipadankan dengan “wizard”. Belum lagi “daring” sebagai persamaan atas kata “online”. Penerjemahan setiap kata memang tidak sama persis dengan arti sesungguhnya, melainkan sedikit “miring.” Misal saja kata “introduction” tidak diterjemahkan sebagai “pengenalan”, melainkan “pendahuluan.” Isinya bukan dalam format latar belakang, tujuan, metoda, melainkan sekadar pengenalan isi.
Berdasar paparan Wesly, terjemahan tersebut diverifikasi oleh badan linguistik dari instansi pemerintah yang tak ia sebutkan namanya. Pendekatan linguistik dalam pengembangan kosa katanya dilakukan sejak Agustus 2003 silam. Ini berarti mereka memakan waktu sekitar tujuh bulan demi menggodok sistem operasi berbahasa lokal tersebut.
Bicara soal sistem operasi berbahasa Indonesia, sebenarnya Microsoft bukan pihak yang pertamakali melakukan. Tahun 2002, sistem operasi Linux yang open source sudah memulai lebih dulu. Lokalisasi bahasa itu dikenal dengan program WinBI, dikerjakan 100 persen oleh putra-putri Indonesia. Beda dengan Windows, sistem ini 100 persen pula dibahasa Indonesia-kan.

Bukan yang Pertama
“Dalam kurun waktu tiga bulan kami komunitas Linux bekerjasama dengan Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berhasil merampungkannya. Hasilnya sebuah sistem operasi berbahasa Indonesia yang gratis dibagikan bagi rakyat,” ujar I Made Wiryana, pengajar Universitas Gunadarma yang waktu itu tergabung dalam tim pembuat WinBI kepada SH dalam kesempatan berbeda.
Sayang beribu sayang proyek ini bisa dikatakan gagal akibat kurang komersil. Menurut Made, WinBI identik dengan proyek pemerintah, dengan dana pemerintah pula. Bahkan semua database penerjemahan disediakan secara gratis dan bisa diakses oleh orang yang berkepentingan. Namun kembali karena kurang bernilai komersil, maka kurang pula mendapat sambutan. Bahkan WinBI teramat identik dengan milik pemerintah sehingga orang berpikiran program tersebut hanya boleh dipakai oleh pemerintah saja.
Padahal spesifikasi komputer yang dibutuhkan untuk memakai WinBI sangatlah simple. Cukup komputer dengan prosesor 486 ke atas atau yang kompatibel dengan RAM 32 MB ke atas. Harddisk minimal 1.5 GB bila termasuk semua aplikasi perkantoran, internet, multimedia dan sebagainya.
Penerjemahannya sudah full localized, dalam artian mencakup keseluruhan menu. Mulai dari komponen user interface. Hal ini meliputi, menu, tombol, pilihan pada menu, judul Window dan beberapa komponen user interface lainnya. Juga pada warning message (peringatan, dan pesan kesalahan). Kalimat terjemahan yang berupa peringatan atau pesan ini jelas harus diterjemahkan dengan konteks yang tepat. Tidak ketinggalan hingga ke menu Online Help, dimana piranti lunak lunak biasanya memiliki keterangan bantu yang bersifat on-line. Penerjemahan keterangan bantu ini harus mempermudah pengguna, dan jangan hanya memperhatikan faktor benar atau tidaknya dari sisi tata bahasa saja. Di samping itu, faktor format berkas yang digunakan harus juga diperhatikan.

Full Localized

Yang lebih membanggakan, WinBI ini dirilis lengkap dengan buku petunjuk penggunaan. Satu hal yang tidak terdapat pada Windows XP bahasa Indonesia. Buku ini memudahkan pengguna memakai sistem. Pada pekerjaan penerjemahan dokumentasi ini, istilah yang digunakan di buku petunjuk penggunaan harus sama dengan istilah yang ditampilkan oleh program. Bahkan Made dan kawan-kawan juga menyediakan situs web yang berisikan artikel online seluk beluk WinBI.
“Penerjemahan yang baik bukan saja menjaga kaidah bahasa tapi juga perlu dijaga agar istilah tersebut tidak menjadi terlalu ajaib atau jauh dari istilah yang biasa digunakan di awam,” tutur Made yang kini bermukim di Jerman.
Banyak penerjemah yang memahami bahasa Indonesia tapi kurang memahami komputer sehingga bila melakukan penerjemahan maka hasilnya mejadi sulit dipahami. Begitu juga sebaliknya banyak yang pengetahuan komputernya baik, tetapi kemampuan menulis bahasa Indonesianya kurang memadai. Mencari orang yang memiliki pengetahuan komputer, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang baik adalah tergolong langka.
Selain itu perlu juga menjaga konsistensi penerjemahan pada satu program. Pada satu program beberapa "terminologi" terjemahan digunakan beberapa kali. Dalam satu program ada beberapa frase yang mengacu ke kata “ file” atau “find”. Misal pada kata “temukan” yang merupakan terjemahan dari “find” muncul pada berbagai komponen menu, yaitu pada nama window, check-box, dan pada label. Kata “temukan” tersebut adalah terjemahan dari “find” yang digunakan haruslah sama, jangan berbeda-beda, agar tidak membingungkan. Hal lain yang perlu dijaga konsistensinya adalah penerjemahan antara program dan online help, serta penerjemahan antara program, online help dan buku manual.(SH/merry magdalena)

Tuesday, April 27, 2004

Buntut Aksi Deface Web KPU
Cracker Potensial itu Kini di Balik Jeruji Besi


JAKARTA- Dua cracker yang mengacak website www.tnp.go.id pekan lalu berhasil diringkus dalam waktu relatif singkat. Faktanya mereka hanya dua dari begitu banyak yang mencoba menerobos ke sistem keamanan jaringan KPU. Bagaimana sepak terjang keduanya?

Sepuluh jam setelah aksi deface dilakukan, pihak kepoliasian dibantu Telkom dan sejumlah ahli teknis Asosiasi Pengusaha Jaringan Internet Indonesia (APJII) berhasil mengidentifikasi cracker web KPU. Saat itu ada belasa nama yang masih harus terus diseleksi. Tidak sampai sepekan kemudian ada isu di kalangan komunitas underground bahwa di antara mereka sudah ada yang “dijemput” pihak berwajib. Dan esoknya benar saja, dua nama diumumkan sebagai orang yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan mengganti nama-nama partai di website resmi KPU.
Dani Firmansyah, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang tengah magang di PT. Danareksa tertuding sebagai cracker itu. Satu lagi adalah Fuad Nahdi, seorang Admin di Warna Warnet., Yogyakarta. Rencana awal kepolisian untuk menjerat mereka dengan UU Subfersif atau Perpu Terorisme ternyata urung dilakukan. Dani dan Fuad cukup dikenai UU Telekomunikasi No.36 Tahun 1999 Pasal 38.
Siapa sesungguhnya Dani dan Fuad? Di komunitas underground ternyata nama Dani memang sudah tak asing lagi. Dari sumber yang tak ingin disebut namanya, Dani di dunia maya popular dengan nick name “Xnuxer”. Ia tak lain adalah salah satu moderator milis Jasakom, sebuah milis komunitas underground dimana sejumlah hacker dan cracker tergabung. Pemuda usia 26 tahun ini terkenal tak terlalu banyak bicara di milis namun sekali mengirim posting selalu “berbobot”. Ini terbukti dengan kerapnya Dani memposting hal-hal bersifat teknis dan terlibat diskusi dengan sejumlah praktisi teknologi informasi (TI) ternama di Indonesia.

SQL Injection
“Saya cukup terkejut ketika tahu Dani ditangkap dengan tuduhan pelaku deface situs KPU. Mengapa terkejut, karena Dani yang saya tahu bukan orang semacam itu,” ujar seorang teman dekat Dani kepada SH di Jakarta, Senin (20/4). Sepengetahuan saya Dani tidak tertarik pada situs-situs pemerintah. Kalaupun ya biasanya ia mencoba membobol situs asing atau server luar.”
Lebih jauh teman Dani yang bagusnya kita sebut saja sebagai Bebek ini menduga teknik yang dipakai Dani dalam men-deface web KPU adalah SQL injection. Pada web yang bersifat dinamis atau selalu berubah tampilannya, selalu terkait dengan database yang terhubung dengan interface. Situs KPU tergolong yang seperti ini. Dalam database terdapat semua data log in. Kalau kita membuat script pemrograman yang salah maka bisa dimanfatkan oleh hacker atau cracker. Inilah prinsip dasar dari SQL Injection. Orang yang sudah terbiasa membuat program akan dengan mudah bisa menebak cara atau celahnya. Web KPU yang memakai sistem operasi Windows 2003 bisa diterobos dengan cara browser.
Teknik SQL injection ini bukan barang baru. Sudah beredar di dunia maya sejak tahun 1999-2000 lalu. Maka kalau memang web KPU bisa ditembus dengan teknik ini maka sangat disangsikan kesiapan sistem keamanannya. Dana 200 miliar rupiah yang dikucurkan pemerintah bagi TI KPU nampak sia-siap akibat suksesnya aksi deface tersebut.
Para hacker dan cracker sering mencari-cari bugs dalam suatu program baru. Celah atau bugs sistem keamanan bisa terdapat pada sistem operasi, aplikasi atau pemrograman. Dari aplikasi bisa dibobol melalui Outlook Express-nya. Sedangkan dari pemrograman seperti PHP akan dengan mudah dimanfaatkan hacker atau cracker kalau ada program yang salah.
Pada dasarnya hacker dan cracker merupakan orang yang serba ingin tahu. Definisi antara hacker dengan cracker sendiri sesungguhnya sangat berbeda. “Konsep hacker adalah selalu ingin tahu terhadap sistem dan mekanisme sistem operasi komputer yang baru keluar. Biasanya ini dilakukan karena ngin mengetahui kekurangan dan kelebihan sistem tersebut. Hacker sangat berbeda dengan cracker,”ujar Sony Arianto Kurniawan, Senior Database Administrator Ciputra Cyber Institute.

Hacker dan Cracker
Seorang hacker lebih banyak mencoba sistem yang dibuatnya sendiri, sistem lokal. Sedangkan cracker banyak mencoba sistem yang not authorized alias bukan wewenangnya. Antar komunitas hacker dengan cracker ada juga yang bermusuhan, demikian antar cracker sendiri. Di Indonesia ada sekitar 30 orang white hacker, sebuah sebutan bagi para pakar keamanan jaringan yang hanya menerobos ke wilayah yang diizinkan. Ada lagi istilah black hacker, yakni ketika hacker tersebut sudah menerobos wilayah yang bukan wewenangnya. Dan terakhir yang terburuk dari itu semua adalah cracker.
Onno W. Purbo, praktisi TI membeberkan sesungguhnya ilmu hacker dan cracker tidak terlalu beda jauh. “Yang beda hanya cara mereka menggunakan ilmunya. Yang satu baik dan yang lainnya jelek. Istilah hacker hitam dan hacker putih buat saya sama saja, semua akan mempertanggungjawabkan perbuatannya pada Allah,” ujar Onno kepada SH dalam kesempatan berbeda.
Lalu apa sesungguhnya motivasi seorang Dani Firmansyah melakukan deface terhadap deface web KPU? Barangkali petikan pstingannya di sebuah milis komunitas underground yang terakhir, tertanggal 22 April 2003 ini bisa dijadikan sebagai penjelas.
“Melihat perkembangan pasca kejadian jebolnya sistem sekuriti IT KPU, menurut saya seharusnya KPU secepatnya segera membenahi dan memperbaiki sistem sekuritinya, bila perlu dengan membuat tim audit yang terdiri dari pakar-pakar security independen yang sudah biasa menangani masalah sekuriti jaringan.”
Terlihat juga bagaimana caranya membela diri dalam satu alinea postingannya tersebut. “Terus terang saya tidak menyalahkan si pelaku pembobol sistem KPU karena saya yakin dia hanya mencoba menunjukan dan hanya melakukan penetrasi sekuriti di sistem KPU. Sebetulnya ucapan terima kasihlah yang seharusnya KPU berikan kepada si pelaku karena telah menunjukan secara nyata bahwa sistem KPU itu memang bisa dijebol. Saya juga melihat selama persiapan pemilu nampaknya KPU memang terkesan cuek dan sama sekali tidak memperhatikan masalah sekuriti jaringan secara serius.” Terlihat jelas bahwa motivasi Dani memang untuk memperingatkan pihak KPU. Tapi sayang, Xnuxer kini hanya bisa meringkuk di balik jeruji besi. Itu pun akibat kecerobohannya sendiri yang kurang banyak melakukan spoofing. (SH/merry magdalena)



Di Balik Aksi Hacker dan Cracker
Dunia Maya Butuh Dipahami, Bukan Diperangi


JAKARTA – Pihak berwajib mengklaim sudah mengidentifikasi cracker pelaku deface situs KPU akhir pekan lalu. Mampukah mereka mengejarnya? Jangan salah, komunitas dunia maya sungguh suatu komunitas berbeda dari dunia nyata.

”Saya adalah hacker dan ini adalah manifesto saya. Kamu bisa menghentikan ini secara individual tapi tak bisa menghentikan kami semua. Pada akhirnya, kami semua sama.”
Itu tadi kutipan Manifesto Hacker yang disebarluaskan oleh seseorang bernama online The Mentor pada 8 Januari 1986.
Beberapa bulan silam, sejumlah warung Internet (warnet) di Depok, Jawa Barat, sempat menampilkan cookies manifesto ini yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Padahal melihat waktunya, jelas sudah hacker telah sangat lama eksis, jauh sebelum Indonesia mengenal dunia maya.
Hari ini, Indonesia dengan jumlah pengguna Internet sekitar delapan juta jiwa (sumber AC Nielsen Net ratings), kemungkinan besar dunia maya telah membentuk suatu komunitas tersendiri pula. Sebuah komunitas yang tak mengenal jabatan, suku, agama, status sosial dan ekonomi. Suatu komunitas civil society impian siapa saja yang sudah muak dengan dunia nyata.

Cyberlaw
Komunitas dalam Internet bisa dikatakan cukup kuat. Ini terlihat dari betapa kompaknya mereka. Walau tak saling mengenal langsung dan bertatap muka, komunitas dalam dunia maya punya semacam kode etik, demikian pula hacker. Kode etik inilah yang mereka pegang teguh, bukan aturan bahkan hukum di dunia nyata sekalipun. Maka untuk menindak kasus-kasus kriminal di dunia nyata, dibutuhkan pula pendekatan antar komunitas, bukan gebrakan dan ancaman dari dunia nyata.
”Saya termasuk orang yang tak sepakat dengan perspektif ‘normal’ terhadap aktivis underground. Saya tidak setuju mereka bisa dikenakan tuduhan-tuduhan atau pasal-pasal yang kita yakini. Mereka tidka mengenal itu, karena mereka tidak mempercayai itu,” ujar Salahuddien, praktisi Teknologi Informasi (TI) yang lumayan lekat dengan komunitas dunia maya kepada SH.
Lelaki yang kerap menggunakan nickname Patakaid di Internet ini menadang bahwa ada perbedaan mendasar antara dunia nyata dan dunia maya. Dalam komunitas underground (Internet-red) , semua orang adalah anonim. Semua resource adalah terbuka. Kalau suatu resource itu dimasuki oleh orang lain, maka itu sama sekali bukan kejahatan, sebab pemilik resource membiarkan pintunya terbuka lebar.
Pemilik resource boleh tidak setuju atau merasa dirugikan, namun dia pun mempunyai kesempatan sama luasnya untuk mempertahankan pintunya atau melakukan sesuatu pada pelakunya secara langsung.
Negara manapun boleh saja mematok cyberlaw , hukum yang mengatur dunia maya, namun komunitas tersebut belum tentu bisa ditundukan. Terbukti sampai sekarang Amerika Serikat (AS) sendiri masih ”kedodoran” dalam menghadapi hacker-hacker asal Cina. Para hacker asal Negeri Tirai bambu itu kerap melakukan aksi deface, menyelundupkan virus dan sejenisnya ke sejumlah website milik AS. Kalau sudah begitu, pihak AS hanya bisa menuding pelakunya sebagai teroris.
Indonesia sampai sekarang masih belum mempunyai rambu-rambu jelas untuk aksi kriminal dunia maya. Namun sejumlah praktisi hukum menyatakan bahwa aksi kejahatan di Internet tetap bisa dikenakan sangsi hukum yang sudah ada seperti KUHAP dan sebagainya.

Iseng Belaka
Ihwal kasus deface terhadap situs KPU www.tnp.kpu.go.id pekan lalu, bisa dikatakan itu sebuah aksi iseng yang ditujukan demi meninggikan prestise pelaku. Bukan menghancurkan sistem keamanan sama sekali seperti yang banyak disangka orang. Sesungguhnya, sebelum terjadi deface penggantian nama-nama partai, sebelumnya sudah sempat ada aksi lain, yakni deface situs www.kpu.go.id. Halaman depan situs ini sempat disisipi gambar porno. Namun pihak KPU sama sekali tak menggubrisnya dan tetap membiarkan ‘pintu’ mereka di web lai terbuka lebar.
”Padahal aksi deface gambar porno itu semacam suatu peringatan bahwa KPU harus memperbaiki sistem keamanannya, namun tak diindahkan. Maka tak heran kalau dilanjutkan dengan aksi selanjutnya,” tambah Pataka.
Sebuah sumber yang tak ingin disebutkan namanya, mengaku sudah berhasil mendapatkan informasi lebih jauh mengenai cracker pelaku deface situs KPU. Bahkan ia langsung terlibat dengan obrolan di Internet alias chatting. Konon cracker tersebut sudah melarikan diri ke daerah karena ulahnya telah menjadi berita besar. Sang cracker menceritakan mengenai proses secara teknis yang digunakan untuk menghapus data member KPU dan membuat user ID versi nya untuk bisa mendownload data KPU. Inis emua dilakukan pada malam tanggal 17 April 2004. Cracker ini bukanlah ahli komputer canggih. Hanya seorang amatiran yang iseng.
ìAku coba gunakan fasilitas search atau pencarian data di situs mereka membayangkan logika program php-nya. Teknik ini di sebut sebagai tehnik sql-injection, memanfaatkan kecerobohon code program pada php,” demikian pengakuan Sang Cracker web KPU kepada sumber yang tak mau disebut namanya. Lebih jauh ia meaparkan bahwa teknik yang dilakukan hanya coba-coba, tak berharap akan berhasil. Namun yang terjadi adalah kekacauan sistem php yang langsung dimanfaatkan untuk melakukan download validasi user dan password.
Si Cracker mengaku dirinya tak sadar menjadi berita utama di sejumlah media. Ia kini tengah dalam masa melarikan diri ke kota lain yang cukup jauh dari domisilinya. Yang jelas, motivasi si Cracker melakukan deface hanya sekadar iseng saja, tanpa ada modus operandi ingin mengacak-acak sistem keamanan dan sejenisnya.
Menyikapi perilaku para underground semaca itu sesungguhnya tak terlalu sulit. Pada dasarnya kaum underground adalah kaum yang bosan dengan kondisi di dunia nyata, maka mereka menciptakan dunia sendiri. Maka pendekatan yang dibutuhkan adalah komunikasi, bukan dengan melancarkan ancaman atau arogansi hukum.
(SH/merry magdalena)Copyright © Sinar Harapan 2003

Monday, March 29, 2004

Waspadai Sepak Terjang ”Cracker” Menjelang Pemilu


JAKARTA – Pemilu dikhawatirkan memancing kerusuhan. Bukan hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. Para pemilik situs di Internet diharapkan mewaspadai munculnya cracker alias black hacker yang mengacau.

Belum lama berselang, www.cybersastra.net, sebuah situs komunitas sastra sempat kecolongan. Isi halaman depannya berubah total. Isinya tak lain kalimat-kalimat makian tak sopan. Itulah ulah cracker, para pengacau dunia maya yang salah satu hobinya adalah melakukan deface alias ubah wajah tampilan depan situs di Internet. Konon beberapa situs nasional lain sempat mengalami pengalaman buruk serupa.
Kasus yang menyerang www.cybersastra.net belum apa-apa sebab skalanya masih lokal. Yang mencengangkan adalah ketika hubungan Indonesia-Australia memanas tahun 2002 silam. Sebuah situs Australia mengalami ubah wajah di mana tampilan depannya berubah menjadi gambar bendera merah putih dengan tulisan besar di bawahnya, ___ off Australia, bravo Indonesia.
Kasus yang sama juga marak terjadi ketika peringatan kemerdekaan Indonesia ke-56 pada 17 Agustus 2001 lalu. Hari itu sejumlah situs milik Amerika, Inggris, Swiss, Jerman dan Italia menjadi korban ”kreativitas” cracker Indonesia. Situs-situs tersebut berubah tampilannya menjadi bendera merah putih dengan ucapan Dirgahayu RI ke-56. Ditambah lagi pesan jahil yang antara lain berbunyi ”Hello world, sorry I am interupting this site. My name is Novy, 20 years old. I am looking for handsome, dilligent man.”
Semua ulah iseng itu bukanlah tanpa tujuan, sebab selalu ada identitas yang ditinggalkan oleh pelakunya, seperti alamat email atau nama server biasa mereka chatting. Biasanya seperti di sudut kanan bawah halaman yg dirusak tadi akan ada nama seperti SCHIZOPRENIC & #cracker dalnet yang berarti pelakunya biasa chat di saluran cracker pada server dalnet. Atau identitas jelas berupa alamat email.

”Update” dan Scan
Kasus ubah wajah semacam itu bukan tak mungkin akan kembali marak dalam momen politik seperti Pemilu 2004 kini. Donny BU, Koordinator Information Communication Technology (ICT) Watch mengingatkan agar pemilik situs Internet di Indonesia, khususnya web server atau hosting meningkatkan keamanan sistem operasinya.
”Mereka harus melakukan pemeriksaan alias scanning yang menyeluruh terhadap isi server mereka, jangan sampai ada program-program yang tidak dikenal dan cukup berbahaya yang tanpa mereka sadari telah tertanam di dalam,” ujar Donny menjawab SH melalui pesan email yang dikirim Selasa (16/3).
Selain itu, para pengelola situs juga harus melakukan updating dan patching atas sistem operasi dan segala macam software yang mereka gunakan untuk membangun web server mereka. Berdasarkan pengamatan Donny yang rajin memonitor kegiatan hacker dan cracker di Internet, kini mulai ada indikasi bahwa kelompok cracker Indonesia mulai aktif melakukan deface.
Kelompok cracker tersebut pada dasarnya adalah sebuah ”sel tidur”, yang sewaktu-waktu dapat bangkit dan melakukan aksinya, setelah mereka tertidur cukup lama. Keadaan ”sel tidur” mereka sangat dimungkinkan, mengingat bahwa komunitas mereka pada umumnya bersifat maya, tepatnya berbentuk suatu virtual community di sebuah chatroom.
Dengan sifatnya yang virtual tersebut, maka dengan mudah sebuah komunitas dapat ”ditidurkan” atau ”diaktifkan” kapan saja dengan mudah. Salah satu hal yang dapat mengaktifkan atau membangunkan sel tidur tersebut antara lain adanya 4M, yaitu ”motivasi”, ”mekanisme”, ”momen” dan ”media massa”.
Yang dimaksud dengan M1 alias motivasi, yakni rangsangan yang berupa faktor pengaruh peer group, baik yang internal ataupun eksternal. Yang internal adalah, adanya motivasi-motivasi dari dalam kelompok, seperti ajakan, hasutan, pujian antarsesama rekan kepada rekan lainnya untuk melakukan aktivitas deface. Sedangkan yang eksternal, adalah motivasi-motivasi yang berupa semangat bersaing antarkelompok dalam melakukan aksi deface dan motivasi untuk menjadi terkenal antarkelompok ataupun di masyarakat luas, baik secara personal maupun kelompok.
Ada motivasi model lain yang bisa saja terjadi, yaitu adanya semangat hacktivisme. Yang tergolong jenis ini adalah aksi-aksi semisal deface yang dilatarbelakangi oleh semangat para hacker atau cracker untuk melakukan protes terhadap suatu kondisi politik atau sosial (www.thehacktivist.com/hacktivism.php). Tetapi motivasi ala hacktivisme ini sedikit sekali terjadi di Indonesia. Aktivitas deface yang sekedar memanfaatkan momentum dengan waktu aktif yang pendek, tidak bisa secara otomatis dikatakan sebagai hacktivism.
Kemudian yang dimaksud dengan M2 alias mekanisme adalah adanya server-server yang kebetulan lemah mekanisme pertahanannya atau jarang dilakukan update maupun patch, sehingga para cracker tersebut memiliki kesempatan untuk melakukan aksi deface mereka. Selain itu, tersedianya mekanisme untuk melakukan penerobosan ke server yang tersedia di Internet dan dapat mudah digunakan oleh para cracker.

Momentum
Faktor M yang ke-3 adalah momen, adanya suatu prakondisi atau isu yang tengah menjadi sorotan masyarakat luas, sehingga cracker akan menumpang pada isu tersebut dengan tujuan agar informasi atas aktivitas mereka ikut terangkat ke atas. Aktivitas macam inilah yang kadang dilakukan cracker Indonesia.
Kemudian faktor M lain yaitu media massa, di mana ada kesempatan bagi para cracker untuk menjadi terkenal atau memperkenalkan diri maupun kelompoknya melalui pemberitaan media massa, berkaitan dengan hasil dari aktivitas deface mereka. Hal ini tentu berkaitan dengan M yang pertama, yaitu ”motivasi” untuk menjadi terkenal di kalangan masyarakat luas.
”Melihat kondisi di atas, saya ingin tekankan bahwa sudah selazimnya para pemilik situs Internet di Indonesia, khususnya pengelola (admin) web server atau hosting, lebih meningkatkan kewaspadaan selama masa Pemilu 2004 ini. Ada kemungkinan, aktivitas deface akhir-akhir ini akan mengalami eskalasi cukup signifikan dengan adanya 4M tersebut di atas,” demikian Donny.
Yang perlu dipahami juga adalah, aktivitas deface tersebut walaupun menggunakan momen Pemilu 2004, target-target korbannya tidaklah harus situs-situs yang berkaitan dengan Pemilu seperti situs pemilu, situs partai, dan sebagainya. Korbannya bisa saja situs-situs umum yang bahkan tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan Pemilu ataupun politik.
Selain itu, para cracker tersebut juga belum tentu meninggalkan pesan-pesan yang bersifat politis pada situs yang mereka deface. Ada kalanya pesan yang mereka sampaikan sifatnya personal, tantangan terhadap kelompok lain, pesan yang tidak bermakna atau tanpa pesan sama sekali.
(SH/merry magdalena)




Dipertanyakan, Kesiapan TI dalam Pemilu

JAKARTA- Sekitar 8.000 unit komputer sudah disebar ke seantero kecamatan di Indonesia demi membantu penghitungan suara di Pemilu mendatang. Sedangkan Pemilu tinggal satu bulan lagi. Mampukah semua komputer itu berfungsi sebagaimana mestinya?

Jangan dulu bermimpi soal Pemilu online seperti di Amerika Serikat (AS).Untuk mengadakan penghitungan suara dengan memanfaatkan Teknologi Informasi (TI) saja, kesiapan Indonesia masih diragukan. Nyaris satu bulan lagi pesta demokrasi itu akan digelar. Kurang lebih 8.000 unit komputer telah disebar ke seantero kecamatan Indonesia. Tapi pelatihan penggunaan komputer belum jua diadakan.
Donny BU, Koordinator Information Communication Technology (ICT) Watch dalam emailnya kepada SH menyatakan, “Kami dari ICT Watch khawatir bahwa sistem TI yang dibangun oleh Komite Pemilihan Umum tersebut, akhirnya kurang dapat difungsikan secara optimal untuk kepentingan penghitungan suara pada Pemilu 2004 nanti.”
Kekuatiran Donny dan kawan-kawan tersebut bersumber pada tiga hal pokok, yakni belum adanya informasi yang detail dari KPU tentang kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) data entry alias operator yang akan ditempatkan di sekitar 7.000 kecamatan dan 500 kabupaten atau kota se-Indonesia. Angka tersebut bisa berarti minimal ada sekitar 7.500 titik (node) yang harus dilayani oleh KPU.

Terburu-buru
Kalau diasumsikan bahwa setiap titik membutuhkan operator secara bergiliran minimal dua orang, maka diperlukan setidaknya 15.000 operator. Waktu pelaksanaan pemilu anggaplah tinggal 30 hari lagi, maka KPU harus ngebut menyelesaikan persiapan pengadaan operator sebanyak 500 operator per hari. sehingga. “Dengan waktu yang mepet tersebut, maka nyaris tidak mungkin para operator di daerah-daerah dapat memiliki kesempatan untuk melakukan familiarisasi terhadap software yang digunakan,” lanjut Donny yang mantan reporter sebuah media online tersebut. Pengadaan 500 operator per hari tersebut dianggap terlalu terburu-buru sehingga dapat berpengaruh pada
kualitas operator yang akan diterjunkan nanti.
ICT Watch juga mempertanyakan kepada KPU tentang reliabilitas dan validitas aplikasi (software) penghitungan suara yang telah terpasang di setiap komputer di kecamatan dan kabupaten. KPU dianggap perlu menjelaskan secara transparan kepada publik, siapa pihak yang membuat software (perangkat lunak) tersebut dan bagaimana isi program tersebut. Alasannya adalah, secara umum nyaris tidak mungkin ada sebuah perangkat lunak yang bisa murni 100 persen bebas gangguan bug maupun virus.
Selain itu, dengan transparansi maka masyarakat juga memiliki kontrol yang penuh atas ketepatan validitas dan reliabilitas perangkat lunak penghitungan suara tersebut, untuk menghindari adanya kesalahan program yang tidak disengaja ataupun yang disengaja. Akibat dari kurangnya kesiapan SDM dan minimnya waktu, KPU dianggap tidak akan sanggup mengadakan simulasi atau uji coba secara komprehensif, dari titik kecamatan dan kabupaten atau kota hingga ke pusat.
Suara sumbang lain datang dari seorang pengamat TI yang tak mau disebutkan namanya. Ia menyangsikan KPU bisa menjamin sistem keamanan database penghitungan suara. “Siapa yang bisa menjamin kalau database itu tidak akan ditembus oleh hacker atau cracker. Siapa pula yang bisa menjamin operatornya tidak melakukan rekayasa data,” ujarnya.

Sudah Siap
Menanggapi semua komentar miring tersebut, Basuki Suhardiman, Ketua Tim Teknis TI KPU tidak mau kalah. Saat dihubungi SH, Selasa (2/3), Basuki menegaskan bahwa dari sisi angka saja Donny dari ICT Watch sudah salah kaprah. Disebutkan Basuki bahwa komputer-komputer untuk penghitungan suara pemilu didistrubusikan ke sekitar 5.000 kecamatan, bukan 7.000 seperti yang dikatakan Donny.
Pelatihan para operator sendiri sudah mulai dilaksanakan minggu-minggu ini. “Sampai sekarang sudah terdaftar 10.000 operator di seluruh Indonesia. Yang mentraining mereka adalah para petugas training for trainer (TOT) yang terus berkembang jumlahnya di tiap tingkat daerah,” jelas Basuki. TOT ini akan melatih para anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), selanjutnya para pelatih yang baru mengikuti TOT ini minggu depan segera mulai menjalankan tugasnya memberikan pelatihan kepada para anggota PPK.
Berdasar informasi dari website www.kpu.go.id, disebut para peserta TOT ini berjumlah 47 orang. Mereka berasal dari Badan Diklat Provinsi, dari Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), dan dari Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Pelatihan ini diselenggarakan oleh Komisi Pemlihan Umum (KPU) bekerja sama dengan Australian Election Commission (AEC) dan International Foundation for Election Systems (IFES).
Mereka ini langsung melaksanakan tugasnya ke sejumlah daerah untuk memberikan pelatihan kepada PPK. Kegiatan ini dijadwalkan selesai dalam minggu pertama bulan Maret. Selanjutnya, pada minggu kedua dilanjutkan dengan pelatihan untuk PPS. Pada pertengahan Maret diharapkan pelatihan untuk PPS juga sudah selesai. Ihwal SDM sendiri, Basuki menegaskan bahwa jangan sesekali menyangsikan SDM Indonesia.
Sementara itu dari sisi keamanan jaringan, Tim Teknis TI KPU sudah meningkatkan sistem keamanan dari lima lapis hingga ke tujuh lapis. Apabila ada oknum operator atau pihak tertentu yang melakukan rekayasa data maka tetap bisa dilacak melalui historic record yang ada pada tiap komputer.
“Jadi semuanya kembali kepada kejujuran setiap orang. Yang jelas pemanfaatan sistem TI dalam penghitungan suara ini bisa membantu supaya orang bisa jujur,” tambah Basuki. (SH/merry magdalena)

About Me

My photo
Journalist, writer, blogger, dreamer, traveller. Winner of some journalist awards (yuck!), a ghostwriter of some techie books.