Wednesday, November 29, 2006

Pembajak dan yang Dibajak, Siapa Korbannya?

Oleh: Merry Magdalena

Kata “copyright” sudah akrab di telinga saya sejak kecil. Sejak pertamakali melek huruf dan mulai hobi membaca komik, terutama komik karya komikus mancanegara seperti Superman, Batman, Tom and Jerry, Donal Bebek, dan sejenisnya. Uniknya, kata copyright tidak saya temukan pada komik lokal macam Petruk Gareng yang saya temukan di kedai penyewaan buku.

Menjelang dewasa, secara otodidak saya menemukan arti kata copyright sebagai hak cipta. Baru setelah menjadi jurnalis saya coba mencari definisi kata itu. “Copyright adalah hak-hak eksklusif yang mengatur ekspresi suatu ide atau informasi. Secara umum diartikan sebagai hak untuk menggandakan ciptaan orisinal”. Cakupan ciptaan ini sangat luas, mulai dari puisi, lagu, tulisan, gerakan tari, lukisan sampai piranti lunak.

Yang terakhir ini, piranti lunak, termasuk aplikasi komputer yang kita gunakan sehari-hari. Jadi, suatu program komputer paling sederhana sekalipun seperti yang saya pakai untuk mengetik tulisan ini, memiliki copyright. Tidak boleh sembarang digandakan, apalagi dijualbelikan, tanpa izin si pemilik hak ciptanya. Pada kasus ini copyright ada di tangan vendor pemilik aplikasi.

Ada harga yang harus dibayar si pengguna aplikasi, yakni harga lisensi. Jika tidak membayarnya, melainkan mendapatkan melalui penggandaan, berarti si pengguna melakukan pelanggaran hukum. Hak cipta ini memiliki sederetan aturan hukum yang menaungi, baik itu internasional maupun nasional. Pelaku penggandaan piranti lunak ini dijuluki pembajak.

Copyleft


Di sisi lain, ada istilah “copyleft”. Apa pula ini? Kata ini adalah plesetan dari copyright. Kebalikan dari copyright yang melarang orang menggandakan suatu ciptaan, copyleft justru mengizinkan penggandaan seluasnya tapi dengan tetap mencantumkan nama si pencipta. Tidak ada biaya lisensi yang harus ditanggung si pengganda atau si pengguna.
Beberapa penulis yang saya kenal menganut ideologi ini. Mereka tidak marah kalau ada orang lain menggandakan tulisannya selama nama mereka tetap disebut. Kelamaan saya juga tertular oleh ideologi ini. Apa ruginya sebuah tulisan digandakan dimana-mana selama masih menghormati nama penulisnya? Apa iya saya harus mengejar-ngejar pelakunya dan meminta bayaran atas ulahnya? Menuntutnya secara hukum? Atau meneriakinya sebagai pembajak di media massa? Padahal di sisi lain saya sudah mendapatkan honor saat tulisan saya pertama dipublikasikan. Apa iya saya harus mencecar si pengganda demi mendapat honor lain? Alangkah tamaknya saya.

Business Software Alliance (BSA) mengklaim bahwa 87 persen piranti lunak komputer di Indonesia adalah bajakan. Indonesia juga ditetapkan sebagai negara dengan tingkat pembajakan nomor 3 tertinggi di dunia. Saya pribadi sama sekali tidak berbahagia dengan fakta ini. Lalu belum lama ini diumumkan bahwa Indonesia sudah keluar dari Priority Watch List. Artinya, Indonesia sudah tidak termasuk dalam daftar negara yang diprioritaskan untuk diawasi dalam pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Tidak ada angka atau standar yang disebut untuk alasan satu ini. Yang jelas ini semacam angin surga yang sengaja dihembuskan untuk “menyenangkan hati”.

Siapa vendor yang paling gencar mengangkat isu bajak membajak piranti lunak? Jelas satu vendor raksasa yang tak lelah mengklaim sebagai pemilik lisensi beragam aplikasi yang sudah merajai dunia. Termasuk Indonesia. Satu vendor yang identik dengan satu nama seorang genius. Bukan satu kebetulan satu orang ini bertemu dengan pemimpin negara kita pada Juni 2005 silam di markasnya di Redmon, Seattle, Amerika Serikat (AS). Pertemuan itu menghasilkan serangkaian kesepakatan yang sebagian diketahui publik, sebagian lagi tidak. Antara si “pembajak” dan si “korban” pembajakan.

Citra Bangsa


Akhirnya disetujui bahwa untuk menghapus predikat sebagai negara pembajak, Indonesia harus menjalankan sejumlah proyek kerjasama dengan si “korban bajakan”. Satu proyek yang agak mengganjal benak saya pribadi adalah bahwa kita harus membayar sejumlah uang kepada si “korban bajakan” yang dianggap sebagai amnesti. Pengampunan.

Masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Sebab ada langkah amnesti lain yang tidak terlalu transparan. Kerjasama di bidang penyediaan lisensi sistem operasi di sejumlah instansi pemerintah dengan nilai rupiah yang tidak sedikit. Demi memperbaiki citra, menghapus predikat pembajak, kita harus merogeh kocek dalam jumlah besar. Miliaran rupiah. Alangkah mahalnya sebuah citra bangsa.

Lalu saya memposisikan diri sebagai si “korban bajakan”. Jika saya sebagai pemilik hak cipta suatu tulisan yang sudah mendapat bayaran atas karya saya, apakah saya akan mengejar-ngejar orang yang menggandakan karya saya tanpa izin? Lantas saya akan menyebutnya sebagai pembajak. Kemudian dengan tega saya akan menawarkan deal suatu kerjasama yang menguntungkan saya, demi dia tidak dicap sebagai pembajak?

Saya bukan William Henry Gates III, miliuner asal Seattle yang bisa pesiar dengan yacht keliling dunia. Otak saya tidak cukup genius untuk dapat menciptakan aneka program piranti lunak hebat yang berjasa banyak pada dunia teknologi informasi. Diri saya juga bukan pebisnis ulung yang dapat mendominasi dunia dengan aplikasi-aplikasi ciptaan saya. Tapi saya masih punya hati untuk membiarkan pembajakan pada karya saya. Terlebih kalau pembajakan itu berhubungan dengan satu negara berkembang yang rakyatnya masih banyak yang gagap teknologi. Masih banyak yang tidak bersekolah. Masih banyak yang busung lapar, kurang gizi, dan beragam derita kemiskinan lainnya akibat kesalahan sistem politik dunia.

Dan saya pun tercenung. Antara yang dibajak dan membajak, siapakah yang sesungguhnya menjadi korban?

About Me

My photo
Journalist, writer, blogger, dreamer, traveller. Winner of some journalist awards (yuck!), a ghostwriter of some techie books.