Tuesday, February 14, 2006

Terus Dicari: “E-book” Berbahasa Indonesia


Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA – Membaca tidak selalu harus membeli buku. Selain perpustakaan, sekarang sudah banyak e-book alias buku elektronik yang bisa diunduh gratis di Internet. Sayang, masih sedikit yang berbahasa Indonesia.

Siapa bilang membaca harus keluar kocek banyak? Tidak selalu. Kehadiran dunia maya membuat kita bisa membaca buku melalui beragam situs yang menawarkan e-book. Bagi pehobi e-book situs serupa www.fictionwise.com atau www.ebooks.com atau www.free-ebooks.net tentu sudah tak asing lagi.

Dari situs-situs itu, kita bias mengakses aneka koleksi buku yang telah di-online-kan. Dengan mudah buku-buku itu bias diunduh ke komputer desktop, jinjing bahkan juga Personal Digital Assistant (PDA).

Tak Mau Rugi
Layanannya pun cukup beragam, ada yang bebas bea atau berbayar. Dari mulai buku tak terkenal sampai buku bestselling macam The Da Vinci Code karya Dan Brown bisa kita dapat di dunia maya. Formatnya pun beragam, mulai dari PDF hingga MS Word.
Tentu saja, fasilitas ini sangat membantu para kutu buku yang selama ini terganjal oleh kian melangitnya harga buku. Cukup berbekal peranti komputer dan akses ke Internet, membaca pun dapat dilakukan cuma-cuma.

Jika mata pegal karena lama menatap monitor komputer, buku bisa dicetak ke kertas ala kadarnya saja, seperti memanfaatkan kertas bekas pakai. Tentu saja langkah ini sangat ekonomis dibanding dengan harus membeli buku impor yang ratusan ribu rupiah itu.

Mungkin dari sisi ekonomis ya. Tapi buat saya yang penting adalah efisiensi ruang. Mengoleksi buku membuat kita butuh ruang luas untuk menyimpannya. Dengan adanya e-book, itu bisa diatasi,” ujar Budi Rahardjo, dosen Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) kepada SH belum lama ini.

Masalahnya, masih sangat sedikit e-book yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Apa pasal? “Baik penulis maupun penerbit Indonesia tidak mau rugi,” cetus Budi yang membuat e-book dengan alamat http://budi.insan.co.id/books/classic-rock/.
Dengan e-book bisa dimungkinkan buku yang diterbitkan secara cetak akan kurang peminat dan itu membuat penulis maupun penerbit kekurangan pendapatan. Ini menjadi salah satu penyebab mengapa e-book Indonesia kurang berjalan. Untuk meng-online-kan sebuah buku dibutuhkan izin dari penulis dan penerbit selaku pemilik hak cipta. Jika tak ada izin keduanya, takkan ada e-book.

Format Terbuka
Hal senada juga dikumandangkan pihak penerbit. Walau tidak selalu benar bahwa penerbit takut merugi, ada hal lain yang menjadi kendala.
“Penulis takut bukunya digandakan secara gratis dan akan berpotensi pada pembajakan,” ungkap Antonis Frans Setiawan, manajer produksi Andi Publisher kepada SH dalam kesempatan berbeda.

Selain itu, Frans juga menekankan bahwa pembaca kita masih sangat tergantung pada kenyamanan saat membaca. Walau bias dicetak, e-book tetap kurang nyaman untuk dibawa kemana-mana dan dibaca dengan nikmat.
Orang tetap akan memilih buku cetak biasa ketimbang e-book walau harganya lebih mahal. Selain itu, tampilan halaman buku juga jauh lebih sedap dipandang mata daripada e-book.

Frans mengambil contoh, proses ganti halaman pada e-book misalnya masih agak ganjil bagi mereka yang tidak terbiasa. “Intinya, e-book baru bisa menggantikan buku konvensional kalau para pembacanya sudah mampu mensimulasikan cara kerja buku,” ujar Frans.

E-books merupakan bagian realisasi dari Project Gutenberg (PG), sebuah proyek sukarela untuk mengiring digitalisasi arsip dan buku. Proyek yang dimulai pada tahun 1971 ini merupakan perpustakaan digital pertama di dunia.

Mayoritas PG terdiri atas buku teks yang merupakan domain publik. Tujuan PG adalah membuat semua koleksi teks di dunia menjadi gratis dan dapat diakses siapa saja dengan menggunakan format terbuka sehingga dapat dibuka di beragam jenis komputer. Pencetusnya adalah Michael Hart, seorang mahasiswa University of Illinois.
Ingin agar buku berbahasa Indonesia juga tersedia di e-book? Mengapa para penulis kita tak mencobanya lebih dulu? Anda barangkali?
Dedengkot Ubuntu Dukung “Open Source” Indonesia

Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

JAKARTA – Pendiri sistem operasi Linux Debian, Ubuntu, siap membantu program Indonesia Goes Open Source (IGOS). Setidaknya itulah yang tebersit dari kunjungannya ke Jakarta pekan silam.

Pengembang Open Source Indonesia ke luar negeri, itu sudah biasa. Tapi kalau dedengkot Open Source Linux luar ke Indonesia, itu baru luar biasa. Itulah yang terjadi pekan lalu saat Mark Shuttleworth, founder sekaligus chairman distro sistem operasi Linux Debian, Ubuntu berkunjung selama satu hari di Jakarta, dalam rangka mendukung gerakan Open Source di negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Perkembangan Open Source di Indonesia menurut Mark hampir sama dengan yang ia lakukan di Afrika Selatan. Rata-rata semua negara berkembang memiliki ciri yang sama,” ungkap Frans Thamura, moderator milis resmi Ubuntu untuk Indonesia, ubuntu-id, kepada SH di Jakarta, belum lama ini.

Distro Ubuntu cukup populer dipakai di Warung Internet (Warnet) di seantero Indonesia. Ini disebabkan distro tersebut bisa bebas disebarkan secara gratis. Ubuntu merupakan salah satu distro Linux, sama seperti Suse, Fedora, Redhat atau RPM. Kata “Ubuntu” berasal dari bahasa Afrika yang berarti kemanusiaan untuk semua.
Pengembangannya dilakukan secara komunitas. Namun, Mark Shuttleworth yang membiayai promosi dan distribusi melalui perusahaannya, Canonical Ltd. Nama Versi Ubuntu diperbarui setiap enam bulan sekali. Pengembang ini diberi nama Ubuntu Foundation yang sudah merilis Ubuntu versi 6.04 dengan nama sandi “Dapper Drake”.

Versi ini akan berlaku sampai tiga tahun ke depan untuk penggunaan komputer meja dan lima tahun untuk server. Versi teranyar ini dapat dioperasikan pada Personal Computer (PC) dengan prosesor Intel x86, 64-bit PC (AMD64) dan PowerPC seperti Apple iBook dan Powerbook, G4 serta G5. Ubuntu merupakan distro yang khusus dipakai untuk beragam peranti lunak gratis.

Kunjungan Mark ke Indonesia sekaligus menandai dukungannya terhadap program Indonesia Goes Open Source (IGOS) Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Ia akan membiayai seluruh promosi dan pengembangan IGOS dengan menggunakan distro Ubuntu.
Frans berpendapat bahwa Ubuntu sesuai bagi pengembangan Open Source di Indonesia, sebab dikembangkan secara global oleh komunitas Ubuntu di seantero dunia.
Sejauh ini sudah lumayan banyak distro Linux hasil kembangan anak negeri. Yang menjadi masalah adalah, “Saya tidak percaya kalau orang lokal mampu membuat distro yang komit dan memperbarui versinya terus-menerus, sekaligus memiliki sistem pemasaran yang baik,” ungkap Frans. Itulah yang membuat Open Source kurang bergaung di Indonesia walau sudah lumayan banyak penggunanya.

Selain membantu program IGOS, Mark akan menjajaki kemungkinan berinvestasi di Indonesia sambil berupaya memperkuat jaringan dukungan teknis melalui kemitraan dengan pengembang lokal. Indonesia hanya satu di antara 22 negara berkembang yang dikunjungi Mark.

Bidang Pendidikan
Yang paling cocok dengan kondisi di Indonesia saat ini sesungguhnya adalah Proyek Edubuntu, sebuah program Yayasan Ubuntu yang mengkhususkan diri di bidang edukasi. Proyek ini sangat sesuai dengan usaha pengentasan gagap teknologi alias gaptek di kalangan generasi muda. Tengah dijajaki kemungkinan adanya upaya memasukkan peranti lunak Open Source ke dalam kurikulum sekolah.

Kelebihan Ubuntu dibanding dengan distro Linux lain seperti Redhat dan Fedora, Ubuntu hanya menyediakan satu versi dan bisa diperoleh secara gratis, termasuk patch dan update keamanan.

Mark Shuttleworth adalah pendiri Yayasan Shuttleworth, sebuah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan pendidikan berbasis di Cape Town, Afrika Selatan. Ubuntu hanya satu dari beragam proyek yang didanainya. Mark juga menjadi orang Afrika pertama yang terbang ke luar angkasa. Pada April 2002 silam ia menjadi satu anggota kosmonot misi Soyuz TM34. Proyek Ubuntu dibuatnya pada tahun 2004 dengan tujuan memproduksi sistem operasi Open Source berkualitas tinggi bagi setiap orang di dunia.

About Me

My photo
Journalist, writer, blogger, dreamer, traveller. Winner of some journalist awards (yuck!), a ghostwriter of some techie books.