Menggapai Cita dengan SMK TI
Merry Magdalena untuk Sinar Harapan
JAKARTA- Ingin memahami Teknologi Informasi (TI) sejak dini? Sekolah Menengah TI jawabannya, bahkan lulusannya bisa lebih hebat dari mahasiswa perguruan tinggi. Sayang masih hadapi sejumlah kendala.
Mendengar kata Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang terbayang di benak banyak orang adalah sekolah memasak, teknik mesin yang belepotan oli, dan sejenisnya. Sejak 2000 silam pdahal sudah ada yang namanya SMK TI, di mana siswanya digembleng untuk menjadi ahli TI.
“Waktu baru dirilis, SMK TI hanya menyediakan tiga jurusan, yakni Web Design, Technical Support dan Help Desk. Semuanya sudah diajarkan sejak kelas satu,” ujar Bona Simanjuntak, Chief Executive Officer ICT Center, sebuah pengembang pendidikan TI kepada SH di Jakarta, Selasa (4/7).
Terbatas
Sekarang jurusannya sudah berkembang menjadi lebih banyak, yakni Teknik Komputer Jaringan, Rekayasa Perangkat Lunak, Multimedia, Animasi, dan Penyiaran. Saat ini, ada sekitar 200 SMK TI di seluruh Indonesia.
Selayaknya sekolah kejuruan lain, siswa lebih banyak menjalani pelajaran praktik ketimbang teori. Menurut Bona, perbandingan ideal antara teori dan praktik adalah 30 banding 70. Namun karena ada kendala keterbatasan fasilitas, masih banyak sekolah yang masih lebih banyak memberi teori belaka.
Siswa seharus banyak berkutat dengan Personal Computer (PC) beserta aplikasinya bahkan juga Internet. Masalahnya adalah semua perangkat tersebut masih tergolong mahal untuk kocek pengelola sekolah. Akibatnya, kebutuhan untuk praktik itu belum juga tercukupi.
“Ada sekitar 50 persen dari seluruh SMK TI yang menderita kekurangan fasilitas praktik,” kata Bona yang alumni Sekolah Tinggi Manajemen dan Ilmu Komputer (STMIK) Jakarta.
Kendala lain adalah kurangnya tenaga pendidik bagi sekolah tersebut. SMK TI daerah paling banyak mengalami kekurangan guru. Karena memang masih sedikit tenaga pengajar yang murni pakar TI, maka kerap terjadi guru matematika mengajar TI, dan seterusnya. Namun itu bukan masalah besar sejauh ilmu yang diajarkan masih kompatibel.
Semua problema ini sudah disampaikan ke pihak Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Mereka berusaha melakukan pelatihan TI kepada sejumlah guru, agar cukup mafhum bidang TI, sehingga dapat mentransfer ilmunya kepada siswa. Hal serupa juga dilakukan oleh ICT Center yang diimpin Bona.
Antusias
Antusiasme pelajar yang ingin masuk SMK TI padahal cukup besar. Bona mengatakan mayoritas SMK TI terpaksa menolak banyak sekali siswa karena keterbatasan daya tampung. SMK TI selama ini hanya memiliki daya tampung tiga kelas saja di bawah naungan SMK lainnya. Ini disebabkan keterbatasan fasilitas tadi.
Lulusan SMK TI saat ini banyak yang bekerja di pabrik dan perkantoran. Secara praktik dan implementasi TI, mereka layak disejajarkan dengan sarjana TI. Mereka hanya memiliki kekurangan di segi formalitas.
Yang hebat, jika seorang lulusan SMK TI melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi jurusan TI, otomatis mereka akan unggul dibanding lulusan SMU biasa sebab mereka sudah menguasai dasar-dasar aplikasi TI lebih dulu, bahkan hingga ke praktiknya.
“Sayangnya perguruan tinggi di Indonesia masih banyak yang tidak menerima lulusan SMK. Sebuah aturan yang mengganjal dunia pendidikan,” demikian Bona. Copyright © Sinar Harapan 2003
Friday, July 28, 2006
Microsoft ”Menggonggong”, IGOS Tetap Berlalu
Merry Magdalena untuk Sinar Harapan
JAKARTA - Kunjungan Menristek Kusmayanto Kadiman, Sabtu (15/7) hingga pekan ini, ke negeri Paman Sam dihiasi protes tiga vendor teknologi informasi. Mereka mempertanyakan Open Source yang bisa menggusur penggunaan sistem operasi berlisensi.
Gerakan “pembebasan” memang kerap menuai kecaman. Tak terkecuali Indonesia Goes Open Source (IGOS). Tiga vendor TI, IBM, Microsoft, dan Oracle menyampaikan kritik terhadap kebijakan aplikasi Open Source Indonesia. Protes itu disampaikan langsung kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman pada kunjungan kerjanya ke Amerika Serikat (AS) akhir pekan lalu.
Mereka beranggapan, dengan menggunakan aplikasi Open Source, pengguna komputer Indonesia akan menggunakan sistem operasi tanpa lisensi. Microsoft melihat bahwa Indonesia telah mendiskreditkan produk berlisensi yang dilindungi oleh hak cipta, seperti misalnya produk Microsoft sendiri.
Menurut Microsoft seperti yang dilansir Antara, dukungan pemerintah Indonesia terhadap aplikasi Open Source dapat menjadi ancaman bagi peranti lunak yang diproduksi oleh sejumlah perusahaan TI raksasa dunia seperti Microsoft, IBM, dan Oracle.
Aplikasi Legal
Semua anggapan tersebut dibantah oleh Kusmayanto. Ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sesungguhnya mendukung keduanya, baik aplikasi berlisensi maupun aplikasi Open Source. Pemerintah Indonesia memberikan kebebasan bagi pengguna komputernya untuk memilih satu di antara keduanya. “Yang terpenting adalah mereka menggunakan aplikasi legal, “ ujar Kusmayanto.
Penggunaan aplikasi legal sangat penting bagi Indonesia. Selama ini Indonesia sudah masuk dalam daftar negara “pembajak” dengan begitu banyaknya penggunaan peranti lunak ilegal. Indonesia bahkan pernah menduduki peringkat pertama sebagai negara pembajak.
“Memang ada citra yang tampaknya sengaja dilontarkan terhadap gerakan IGOS. Seolah diciptakan citra IGOS berdampak pada kompetisi tidak adil,” kata Kusmayanto kepada SH melalui Short Messaging Services (SMS) yang langsung dikirim dari AS, Senin (17/7).
Kusmayanto menambahkan pada kesempatan bertemu dengan Microsoft, IBM, dan Oracle, yang paling banyak melakukan kritik adalah pihak Microsoft. Sementara itu, Oracle diam dan IBM sendiri cukup mendukung penggunaan Open Computer.
Mulai 15 Juli, Kementrian Riset dan Teknologi sudah memigrasikan 217 unit Personal Computer (PC)-nya ke Open Source.Mereka juga gencar melakukan kampanye IGOS sejak Juni 2004.
Sebanyak 321 personelnya juga sudah mengoperasikan Open Source untuk aktivitas perkantoran sehari-hari seperti Writer, spreadsheet, presentasi, database, web-browser, email client, gambar grafis, dan chatting.
Bukan hanya di tingkat pemerintahan, untuk skala perguruan tinggi, aplikasi Open Source sudah digunakan di tingkat perguruan tinggi seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gunadarma. Mereka memilih Open Source karena aplikasi tersebut lebih murah sebab tidak dibebani biaya lisensi.n
Merry Magdalena untuk Sinar Harapan
JAKARTA - Kunjungan Menristek Kusmayanto Kadiman, Sabtu (15/7) hingga pekan ini, ke negeri Paman Sam dihiasi protes tiga vendor teknologi informasi. Mereka mempertanyakan Open Source yang bisa menggusur penggunaan sistem operasi berlisensi.
Gerakan “pembebasan” memang kerap menuai kecaman. Tak terkecuali Indonesia Goes Open Source (IGOS). Tiga vendor TI, IBM, Microsoft, dan Oracle menyampaikan kritik terhadap kebijakan aplikasi Open Source Indonesia. Protes itu disampaikan langsung kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman pada kunjungan kerjanya ke Amerika Serikat (AS) akhir pekan lalu.
Mereka beranggapan, dengan menggunakan aplikasi Open Source, pengguna komputer Indonesia akan menggunakan sistem operasi tanpa lisensi. Microsoft melihat bahwa Indonesia telah mendiskreditkan produk berlisensi yang dilindungi oleh hak cipta, seperti misalnya produk Microsoft sendiri.
Menurut Microsoft seperti yang dilansir Antara, dukungan pemerintah Indonesia terhadap aplikasi Open Source dapat menjadi ancaman bagi peranti lunak yang diproduksi oleh sejumlah perusahaan TI raksasa dunia seperti Microsoft, IBM, dan Oracle.
Aplikasi Legal
Semua anggapan tersebut dibantah oleh Kusmayanto. Ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sesungguhnya mendukung keduanya, baik aplikasi berlisensi maupun aplikasi Open Source. Pemerintah Indonesia memberikan kebebasan bagi pengguna komputernya untuk memilih satu di antara keduanya. “Yang terpenting adalah mereka menggunakan aplikasi legal, “ ujar Kusmayanto.
Penggunaan aplikasi legal sangat penting bagi Indonesia. Selama ini Indonesia sudah masuk dalam daftar negara “pembajak” dengan begitu banyaknya penggunaan peranti lunak ilegal. Indonesia bahkan pernah menduduki peringkat pertama sebagai negara pembajak.
“Memang ada citra yang tampaknya sengaja dilontarkan terhadap gerakan IGOS. Seolah diciptakan citra IGOS berdampak pada kompetisi tidak adil,” kata Kusmayanto kepada SH melalui Short Messaging Services (SMS) yang langsung dikirim dari AS, Senin (17/7).
Kusmayanto menambahkan pada kesempatan bertemu dengan Microsoft, IBM, dan Oracle, yang paling banyak melakukan kritik adalah pihak Microsoft. Sementara itu, Oracle diam dan IBM sendiri cukup mendukung penggunaan Open Computer.
Mulai 15 Juli, Kementrian Riset dan Teknologi sudah memigrasikan 217 unit Personal Computer (PC)-nya ke Open Source.Mereka juga gencar melakukan kampanye IGOS sejak Juni 2004.
Sebanyak 321 personelnya juga sudah mengoperasikan Open Source untuk aktivitas perkantoran sehari-hari seperti Writer, spreadsheet, presentasi, database, web-browser, email client, gambar grafis, dan chatting.
Bukan hanya di tingkat pemerintahan, untuk skala perguruan tinggi, aplikasi Open Source sudah digunakan di tingkat perguruan tinggi seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gunadarma. Mereka memilih Open Source karena aplikasi tersebut lebih murah sebab tidak dibebani biaya lisensi.n
Subscribe to:
Posts (Atom)
Blog Archive
-
▼
2006
(9)
- ► 11/26 - 12/03 (1)
- ▼ 07/23 - 07/30 (2)
- ► 06/18 - 06/25 (1)
- ► 06/04 - 06/11 (1)
- ► 02/19 - 02/26 (1)
- ► 02/12 - 02/19 (2)
- ► 01/01 - 01/08 (1)
-
►
2005
(6)
- ► 11/27 - 12/04 (2)
- ► 09/18 - 09/25 (4)
-
►
2004
(7)
- ► 05/23 - 05/30 (1)
- ► 04/25 - 05/02 (2)
- ► 03/28 - 04/04 (2)
- ► 03/07 - 03/14 (1)
- ► 01/04 - 01/11 (1)
-
►
2002
(3)
- ► 12/01 - 12/08 (2)
- ► 11/24 - 12/01 (1)
About Me
- Merry Magdalena
- Journalist, writer, blogger, dreamer, traveller. Winner of some journalist awards (yuck!), a ghostwriter of some techie books.