Monday, December 02, 2002

Pembobolan Kartu Kredit via Internet
Hanya “Carder” Bodoh yang Bisa Tertangkap Polisi

JAKARTA- “I sell laptops p4 Sony Vaio pcg-grx 590, xbox's,ps2s, cellphones nokia 7650,8310,8910,9210 & ericsson T68i /msg me if u want to buy (serious buyers only)!”
Pesan di atas bukanlah iklan baris di koran atau situs, melainkan pada sebuah channel chatting mIRC. Seseorang yang memakai nickname “cam3lon” menjual laptop Sony Vaio dengan harga hanya US$ 300 alias Rp 3 juta saja. Padahal di pasaran harga laptop paling murah mencapai Rp 8 juta. Usut punya usut, “cam3lon” bisa banting harga sedemikian drastis, sebab laptop dagangannya juga didapat dengan gratis.
Lelaki yang mengaku menjadi carder, yakni pembobol kartu kredit di Internet, sejak dua tahun silam ini tidak tanggung-tanggung mencari “tambahan penghasilan”. Dari telepon seluler (ponsel), komputer, hingga televisi dan stereo set diobral murah melalui saluran chat di server dalnet mIRC. Bahkan ia yang mengaku tinggal di Rumania ini berdagang secara overseas alias antar benua demi keamanan bisnisnya.
Lalu ada lagi Nano, mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya. Dengan nickname ‘”Piye”, ia menjadi “Sinterklas” bagi para carder di sebuah channel mIRC dengan membagikan informasi kartu kredit.
Customer Information
First Name Catherine
Last Name Howe
Address 10200 Donald Weese Ct.
City Las Vegas
State NV
Post Code 89129
Country USA
Email howec@lvccld.org
Phone 702-233-3214
Payment Information
Payment Type EPROCESSING
Name on Card Catherine Howe
Card Number 4323835294506911
Expiration Date mm/yy 07/03
Card Billing Address 10200 Donald Weese Ct.
Begitu cara Nano membagikan pesan berharga bagi rekan-rekannya di sebuah saluran chat. Lelaki 20 tahun ini mengaku rajin melakukan “rooting”, yakni pelacakan informasi “cc” (credit card), demikian para carder menyebut kartu kredit dengan cara saling tukar dengan carder lain. Nano tidak sendiri. Ada ratusan, ribuan bahkan bisa dibilang jutaan carder lain di seantero dunia yang perlahan tapi pasti membobol ‘cc’ para nasabah bank.

Embargo
David, seorang carder yang menggunakan nickname “LOVELY_GUY”. Misalnya, mengaku sudah dua tahun mendapat tambahan penghasilan.“Sejak dua tahun itu gue sudah dapat Rp150 juta lebih. Supaya tidak tertangkap, gue pakai alamat kost teman untuk alamat pengiriman barang,” ujar David kepada SH dalam chat di mIRC, Selasa (8/10).
Tidak semua carder sukarela membagikan informasi ‘cc’ kepada sesama temannya. Ada pula yang meminta bayaran atau barter dengan ‘cc’ lain yang bisa dibobol. Tingkah polah para carder Indonesia ini ternyata sudah menjadi sorotan merchant online alias situs belanja di Amerika Serikat (AS). Akibatnya, sejumlah nomor Internet Protocol (IP) serta kartu kredit Indonesia diembargo oleh situs-situs belanja ini.
“Kecanggihan para carder Indonesia ini membuat Indonesia menduduki peringkat nomor dua di dunia dalam hal cybercrime setelah Ukraina,” ujar Heru Nugroho, Sekretaris Jendral Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam sebuah forum diskusi mengenai kejahatan di Internet awal pekan ini di Jakarta.
Kepopuleran carder Indonesia terjadi karena banyak membobol ‘cc’ milik nasabah asing. Ada semacam kode etik di antara carder Indonesia, yakni pantang mebobol ‘cc’ milik nasabah Indonesia juga.
Sesungguhnya bukan nasionalisme yang bicara di sini, tapi karena nasabah asing memang jauh lebih banyak simpanannya di bank. Di samping itu, dengan memakai ‘cc’ orang luar maka si carder lolos dari kecurigaan merchant yang bersangkutan. Bukan apa-apa, justru karena sepak terjang carder inilah para pembelanja online asal Indonesia mengalami kesulitan untuk melakukan transaksi.
Cap buruk yang melekat pada Indonesia di dunia maya inilah yang menjadi persoalan. Repotnya, sampai hari ini belum ada rambu-rambu yang menjadi aturan main di dunia maya. Secara teknis, Heru mengaku APJII bisa saja bertindak tegas terhadap para carder dengan melakukan pelacakan Internet Service Provider (ISP) sampai ke warung Internet (warnet) tempat dimana para carder beraksi. Tapi ia tak bisa bertindak gegabah seorang diri, perlu sebuah aturan nasional yang menjadi kesepakatan antara kepolisian, perangkat hukum serta pebisnis warnet. Namun ia tak memandang bahwa aturan ini harus menunggu realisasi cyberlaw yang tengah digodok dan tak kunjung jadi.

“Task Force”
Tekanan agar para penyelenggara ISP ikut bekerjasama memberantas tindak pidana teknologi informasi (TI) datang dari Hinca Pandjaitan. Ahli hukum pengamat dunia maya ini berpendapat bahwa baik itu penyelenggara ISP maupun pemilik warnet sama-sama punya saham terhadap kejahatan TI sebab kejahatan ini tak mungkin ada tanpa adanya alat dan fasilitas pendukung.
Maka semua stakeholder, yakni pebisnis TI, pemerhati TI serta aparat hukum dan kepolisian berencana membentuk semacam “task force” untuk memerangi carding. Menurut Heru, “task force” ini akan selesai pada November 2002. Target mereka, dalam setahun ke depan Indonesia keluar dari daftar 10 besar negara pelaku cybercrime.
Namun Heru tampaknya harus mempertimbangkan kepintaran para carder. Pihak Mabes Polri memang sudah berhasil menangkap 15 carder. Namun jumlah carder yang beroperasi terus bertambah. Mereka serupa amuba yang berkembang biak dengan cara membelah diri. Coba saja masuk ke sejumlah channel chat di mIRC. Para carder, mulai kelas pemula hingga profesional saling berlaga memamerkan kepintaran membobol ‘cc’ orang.
“Polisi pintar? Kami jelas lebih pintar, sebab kami sudah beraksi jauh sebelum polisi itu menangkap teman-teman kami. Cuma carder bodoh yang bisa tertangkap,” demikian tulis David dalam private message ke SH dalam suatu chat. Bahkan dalam komunitas carder sudah menjadi rahasia umum jika banyak petugas pabean yang bekerjas ama dengan carder. Saat barang-barang “pesanan” datang, petugas pabean dan polisi setuju membagi keuntungan “fifty-fifty”. Bahkan tak jarang barang-barang yang tertahan di pabean hilang begitu saja tanpa jejak.
“Barang itu memang kami sita untuk menjadi barang bukti. Sebab kalau dibiarkan saja akan hilang dicuri atau dijual orang,” elak Kasubdit Pidana TI Korserse Mabes Polri, AKBP Brata Mandala menjawab pertanyaan pers dalam kesempatan berbeda.
Yang jelas, para carder sama sekali tak menunjukkan rasa takutnya. Ini bisa terlihat dari sepak terjang mereka di channel-channel mIRC, tempat dimana para carder saling berkomunikasi. Memang mereka tak pernah mau mengungkap jati diri yang sebenarnya, tapi memang itulah kehebatan dunia maya. Tak terjamah, tapu bisa memporakporandakan dunia nyata.(SH/merry magdalena)
Penebangan Liar Hutan Indonesia
Terjebak dalam Lingkaran Setan

Jika pohon terakhir telah ditebang. Ikan terakhir telah ditangkap. Air terakhir telah diminum. Barulah manusia menyadari, ternyata uang tak dapat dimakan…

Motto organisasi lingkungan hidup Greenpeace tersebut tampaknya pantas ditujukan bagi para pengusaha yang serakah. Pengusaha yang terus mengeksploitasi isi hutan tanpa ampun. Tanpa peduli bagaimana nasib bumi ini jika hutan sudah gundul total akibat ambisi meraup keuntungan mereka.

Perserikata Bangsa-Bangsa (PBB) menggolongkan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia dimana 80 persen hutannya membutuhkan perlindungan khusus. Kerusakan hutan Indonesia disebabkan ulah manusia sendiri. Menurut data yang dihimpun Departemen Kehutanan (Dephut), setiap tahun Indonesia kehilangan 2-2,4 juta hektar hutan tiap tahun. Jika dihitung dengan standar ekonomi, kerugian Indonesia adalah US$ 8,4 milyar per tahun. Itu jika dihitung dengan harga kayu per meter kubik sebesar US$ 150.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut angka lebih besar lagi. Menurut mereka, data yang disebut Dephut adalah data tahun 1997. Tahun 2000 diperkirakan paling sedikit tiga juta hektar hutan lenyap. Banyak hutan Indonesia dalam kondisi kritis. Bahkan di Kalimantan Barat, izin Hak Penggunaan Hutan (HPH) sudah tak bisa dikeluarkan lagi karena hutan di sana memang sudah tidak mempunyai sumber daya lagi. Semua terkeruk habis untuk bahan industri. Sumatera, Sulawesi, Kalimantan sudah masuk dalam keadaan kronis. Kawasan Papua dikhawatirkan akan menjadi target selanjutnya setelah hampir seluruh hutan di wilayah Indonesia habis digunduli.

“Bukan hanya kerusakan hutan semata, tapi juga kerugian jiwa dan harta benda,” demikian Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim menggolongkan hancurnya lingkungan hidup akibat penggundulan hutan. “Pelaku dari penebangan liar dan penyelundupan kayu sudah dapat digolongkan sebagai penjahat.”

Penebangan kayu tanpa kenal batas telah mengakibatkan rusaknya ekosistem dan kondisi alam. Tanah longsor, banjir, kekeringan, hilangnya plasma nuftah, hilangnya habitat satwa dan tanaman langka, serta sedimentasi besar-besaran yaang memakan korban jiwa. Pada akhirnya itu semua mengurangi devisa negara.

Ekspor Kayu Ilegal
Bahkan Nabiel mengemukakan kenyataan tentang kayu hasil jarahan hutan yang diekspor ke luar negeri. Para penebang liar ini juga menyimpan kayu dalam jumlah besar untuk kemudian dijual jika harga kayu sudah melambung.

“Kalau ditanya, berapa besar permintaan ekspor industri kayu Indonesia di luar negeri? Jawabannya adalah tanpa batas! Kebutuhan kayu dunia tak akan ada habisnya. Yang mengerikan adalah mereka dengan seenaknya mengeruk kayu kita untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Padahal industri kayu lokal sendiri tak pernah bisa terpenuhi,” ungkap Nabiel.

Bahkan hutan di Pulau Jawa yang masuk kategori hutan lindung sendiri tak luput dari penebangan liar. Para penjarah itu sudah tidak membedakan antara hutan lindung, taman nasional, atau hutan bebas. Setiap kali mereka melihat peluang untuk mengeruk hasil, mereka melakukan dengan membabi buta. Padahal hutan lindung diadakan agar kelestarian hutan tersebut bisa dilanjutkan kendati terjadi eksploitasi terhadapnya.

Menurut Nabiel, penebang yang mengambil hasil dari hutan lindung dikenakan biaya untuk re-planting (penanaman kembali). Itupun jumlahnya dibatasi tergantung dengan kondisi hutan yang bersangkutan.

Melibatkan Banyak Sektor
Sudah banyak kasus penebangan liar dan penyelundupan kayu ilegal yang tertangkap. Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) sudah pernah membawa beberapa kasus perusakan lingkungan ke pengadilan. Tidak semua berjalan mulus dan ditindak sesuai hukum yang berlaku. PT AD Plantation, contohnya, hanya dikenakan denda dan sudah bebas.

Menurut keterangan Nelly Masnelianti, Deputi IV Bidang Pengendali Hukum Lingkungan, Badan Pengendali Alam dan Lingkungan (BAPPEDAL), ada sejumlah kasus yang kita bawa ke pengadilan. PT.Jaya Perkasa kini tengah dalam proses. Begitu juga beberapa perusahaan di Sumatera Utara, kalimantan Timur, Riau dan dua lagi di Pulau Jawa. Semuanya sedang dalam proses penyidikan dan diharap bisa dituntaskan secara hukum.

Bahkan akhir November lalu di Pelabuhan Tanjung Priuk telah ditahan tiga kapal yang memuat kayu ilegal. Masing-masing berasal dari Singapura, Hongkong dan Cina. KLH dan Depkeh berniat menuntaskan kasus ini sampai ke meja hijau.

Namun kasus ini sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak. Bukan hanya KLH atau Dephut, namun juga kepolisian, Direktorat Jendral Perhubungan Laut, dan banyak lagi. Seperti yang dikemukakan Longgena Ginting dari WALHI, kejaksaan dan polisi harus ikut berptindak tegas. “Mereka adalah ujung tombak hukum, dan seperti yang kita tahu bahwa ujung tombak ini sangat tumpul,” komentar Kepala Divisi Kampanye WALHI itu.

WALHI sendiri sudah sejak lama berkampanye tentang pelestarian hutan. Ginting menambahkan bahwa pemerintah harus melakukan langkah total. Hutan kerakyatan, yaitu hutan yang dispesifikasikan bagi usaha kerakyatan merupakan kegiatan yang bisa menepis adanya campur tangan para pengusaha. Tapi tentu saja dibutuhkan pengawasan. Selain itu juga perlu dibangun komunikasi yang baik antara masyarakat setempat, pemerintah daerah dan DPRD.

Sebagaimana yang terjadi di banyak negara, para penebang di Indonesia secara terpisah harus mendapatkan masing-masing ijin untuk menebang kayu, mengangkut kayu, dan mengoperasikan pabrik penggergajian. Untuk memperoleh ijin tersebut mereka harus menjalin hubungan yang baik dan menyuap pejabat pemerintah. Pada umumnya mereka mendapatkan ijin hanya untuk beberapa aktifitas saja namun pada akhirnya mereka melakukan kegiatan diluar dari ketentuan yang ditetapkan dalam perijinan.

Disamping menerima suap, pejabat daerah seringkali memperoleh pendapatan dari pajak atau pungutan yang dikenakan untuk kegiatan penebangan liar ketimbang menghentikannya. Pengusaha kayu mengontrak kontraktor tebangan, menjalin hubungan dengan militer, polisi, dan pemerintah daerah, serta berkompromi dengan kepala desa. Hubungan yang demikian menghasilkan suatu jaringan perlindungan yang sulit dibongkar oleh orang luar.

Keadaan seperti ini tak ubahnya seperti lingkaran setan yang tak pernah ada habisnya. Kalau sudah demikian, sampai kapan hutan kita bisa bertahan?(mer)

Friday, November 29, 2002

Memperingati Hari Antimadat Sedunia
Lennon Tak lagi Nyanyikan LSD


JAKARTA - ”Lucy in the Sky with Diamond…Lucy in the Sky with Diamond…” suara parau almarhum John Lennon seolah tak kenal lelah mengumandakan lagu yang jika ditilik merupakan ekspresi kegilaannya pada narkoba.
Judul lagu itu sendiri, Lucy in the Sky with Diamond, jika disingkat menjadi LSD, sebuah obat pemicu halusinasi. LSD yang kependekan dari Lysergic Acid Diethylamide ini sempat populer di kalangan pemusik seangkatan The Beatles.
Dekade 1960-an dikenal sebagai kebangkitan para hippies, kelompok anak muda penentang perang yang ingin menikmati hidup di bawah kendali mariyuana, LSD, minuman keras dan sejenisnya. Era itu disusul kemudian dengan dekade berikut, zaman keemasan musik rock yang melahirkan idiom, ”drugs, sex and rock ‘n’ roll”. Tidak elite rasanya kalau pemusik di era itu tidak bersinggungan dengan yang namanya obat terlarang dan minuman keras.
Dalam sebuah buku biografi mengenai pemusik-pemusik yang mati usia muda, diceritakan bagaimana Jimmy Hendrix, gitaris blues kulit hitam, selalu asyik bercengkerama membicarakan tempat-tempat mendapatkan bubuk heroin nomor satu bersama Janis Joplin, vokalis blues kondang. Keduanya kini hanya tinggal nama. Sama-sama dijemput malaikat maut pada usia muda akibat overdosis, bahasa anak mudanya sekarang adalah OD.
Sampai dekade 1980-an demam ‘mabuk-mabukan’ tak pernah padam. Era ini ditandai dengan musik-musik new wave psichedelic dengan nama-nama kondang macam David Bowie, Iggy Pop, REM, Patti Smith dan sebangsanya yang mempopulerkan, lagi-lagi, narkotika dan minuman keras.
Memang kesemua musisi tersebut tidak secara langsung mempromosikan narkoba. Namun melalui penampilan panggung dan gaya hidup mereka sehari-hari jelas narkoba sangat berperan dalam karir bermusiknya.
Jengah dengan itu semua, pada 1987 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan 26 Juni sebagai hari Anti Madat Sedunia atau International Day againts Drug Abuse and Illicit Trafficking sebagai ekspresi dukungan terhadap segala bentuk aksi pembebasan dunia dari pengaruh obat bius.
Indonesia sendiri telah menempatkan istilah narkoba, kependekan dari narkotika dan obat berbahaya. Ada pula yang menamainya NAPZA atau narkotika, psikotropika dan zat adiktif. Sedangkan psikiater ahli obat terlarang, Profesor Dr. Dadang Hawari punya istilah lain lagi, yaitu NAZA alias narkotika, alkohol dan zat adiktif.
Apapun namanya, semua benda-benda tersebut telah diproklamirkan sebagai musuk bebuyutan setiap negara di dunia.
Betapa tidak, dari sumber Bakolak Inpres tahun 1995 saja diketahui jumlah penyalah guna narkoba ini sekitar 0.065 persen dari 200 juta penduduk Indonesia, yaitu 130.000.
Sementara penelitian Dadang Hawari menyebut bahwa angka sesungguhnya adalah sepuluh kali lipat dari angka resmi tadi. Fenomena narkoba tak ubahnya dengan AIDS, yakni fenomena gunung es, dimana yang tampak di permukaan jauh lebih kecil dibanding dengan yang tidak terlihat.
Dengan kata lain, bila ditemukan satu penyalahguna NAZA sesudai dengan penelitian di atas adalah 130.000 kali 10, berarti 1,3 juta orang.

Patungan
Dadang pernah membuat riset tentang jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi NAZA. Diketahui bahwa setiap orang menghabiskan 100.000 hingga 300.000 rupiah seharinya.
Ditotal dengan jumlah pengguna NAZA seluruh Indonesia, maka dana yang dibelanjakan untuk kebutuhan fly adalah sekitar 130 miliar sampai 390 miliar rupiah per hari. Tidak heran apabila ada isu yang berhembus keras bahwa pemakai narkoba alias NAZA alias NAPZA di sini mayoritas adalah golongan menengah ke atas.
Sedikit membingungkan memang. Di satu sisi rakyat sering mengeluh karena harga beras mahal, yakni Rp 3.000 per kilo.

Di lain sisi, fakta perdagangan obat terlarang justru sebaliknya. Shabu saja per gram harganya bisa mencapai Rp 300.000, tapi tetap marak dikonsumsi. Bahkan selidik punya selidik, bukan golongan menengah ke atas saja yang mengkonsumsi. Golongan bawahpun tidak ketinggalan.
”Biasanya kami patungan, kumpulkan uang bersama lalu menghisapnya ramai-ramai,” ujar seorang pemakai shabu yang menyebut serbuk idolanya itu dengan sebutan ubas atau ‘SS’.
Shabu dan ekstasi mulai merebak di awal dekade 1990-an. Harganya di bawah heroin atau kokain, tapi dengan mutu ‘kenikmatan’ yang tidak kalah. Yang terakhir ini justru dipopulerkan oleh pengalaman artis Ria Irawan, nama yang sempat merajai media masa dengan kasus meninggalnya Rifardi Sukarnoputra di rumahnya pada Januari 1993 akibat OD. Menyusul kemudian kasus Zarima alias Zarina yang belakangan dijuluki Ratu Ekstasi.
Menurut seroang ‘pakar’ pemakai narkoba, sebut saja namanya Andi, antara ekstasi dengan shabu sama-sama menimbulkan semacam semangat bergelora dalam tubuh. Hanya saja ekstasi lebih cepat dan pemakaiannya pun praktis, langsung tenggak.
”Kalau ubas, prosesnya lama, pakai dibakar segala. Lamanya ini yang menimbulkan keasyikan tersendiri. Dan lebih enak kalau dipakai berdua atau lebih, jadi bisa saling menolong satu sama lain,” tutur Andi.
Dalam pesta shabu, ada dua pihak yang saling bergantian jadi ‘dokter’. Istilah dokter di sini dipakai untuk menyebut orang yang melakukan proses pembakaran. Sedangkan ‘pasien’ adalah si penikmat shabu.
Selain shabu dan ekstasi, di kalangan anak muda kita beredar pula putauw. Sebenarnya zat ini merupakan heroin kelas tiga, yaitu yang paling murah. Para pemakai menyebutnya ‘PT’ alias ampas heroin. Zat ini banyak digunakan para pecandu di kalangan menengah ke bawah yang tidak bisa menikmati heroin. Bernama medis diamorphin, heroin sesungguhnya merupakan obat bius di kalangan kedokteran. Asal muasalnya adalah tumbuhan opium poppy. Serbuk heroin ada yang berwarna putih ada pula yang coklat. Yang coklat ini sempat menginsiprasi group rock asal Inggris, Rolling Stones dalam pembuatan lagu berjudul Brown Sugar. Group pimpinan Mick Jagger ini memang identik dengan narkoba. Bahkan dalam lagu Sister Morphine mereka jelas-jelas mengagungkan obat bius.
Dari tumbuhan opium ini bisa diproses menjadi narkotik sintetis yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak didapat dari opium seperti heroin, kodein dan hydromorphone yang populer dengan nama morphine. Dari sebuah tumbuhan poppy (papaver somniferum) bisa didapat berbagai bahan adiktif. Getahnya yang diambil dengan cara menyadap buah jika dikeringkan bisa menjadi candu mentah. Umumnya bahan ini diperjualbelikan dalam kemasan kotak kaleng dengan berbagai macam cap, antara lain ular, tengkorak, anjing dan sebagainya. Maka dulu sempat tenar apa yang namanya ‘cap anjing’ di kalangan pecandu kelas menengah ke bawah.
Lalu ada lagi morphine atau morfin, yakni olahan candu mentah yang merupakan alkaoida utama opium. Berasa pahit jika dijilat, morfin berbentuk tepung putih halus atau bisa juga cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikan.
Kurang puas dengan morfin, ada heroin. . Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi mengantuk dan alami perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang baik.

Nekad
Dan yang terpopuler dari semua itu, ganja. Akrab di telinga anak muda kita dengan sebutan ‘gele’, ‘cimeng’ atau ‘rasta’, daun tanaman canabis sativa ini kabarnya banyak ditanam di Aceh. Di sana ganja memang sudah tumbuh subur sedari dulu. Malahan di sana daun ganja menjadi semacam bumbu penyedap makanan. Ganja ini biasa dikonsumsi seperti halnya rokok biasa, kadang dicampur dengan tembakau atau adonan dari rokok kretek.
Sedemikian ‘umum’-nya pemakaian ganja ini sampai-sampai sebuah pesta ganja bisa berlangsung di mana saja dan kapan saja. Tempat ini bisa kamar, kamar kos, ruang tamu juga mobil. Sebuah sumber SH menyatakan bahwa di halte-halte bis sepanjang jalan Sudirman pun kerap ditemukan segerombolan anak muda menghisap ganja dengan bebasnya tanpa rasa takut. Fakta ini sangat berbeda dengan penggunaan shabu.
”Untuk shabu sedikit susah sebab peralatannya terlalu menyolok. Kalau gele ‘kan sepintas mirip rokok, jadi sering tidak mengundang kecurigaan. Paling-paling dikenali dari baunya. Tapi tidak semua orang ‘kan tahu seperti apa bau ganja itu?” Begitu keterangan sebuah sumber.
Untuk sedikit mengelabui, biasanya pesta shabu dilakukan dengan peralatan ala kadarnya. Tabung bong yang sewajarnya menggunakan botol kaca diganti dengan botol minuman mineral yang direkayasa sedemikian rupa. Pipet alias alat penghisapnya diganti dengan sedotan biasa. Memang keasyikannya jadi agak terganggu. Namun cara ini dirasa cukup aman oleh pemakai shabu, sebab mereka bisa langsung membuangnya tanpa meninggalkan jejak.
Sungguh ironis. Seribu satu cara dipakai oleh para pengguna narkoba demi terbebas dari ancaman hukum. Padahal jumlah kematian akibat over dosis kian meningkat dari waktu ke waktu. Data di kamar mayat RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan dari Januari 1999 sampai 22 Desember 1999 tercatat 61 orang mati karena overdosis, delapan di antaranya wanita. Sedangkan tahun 1998 data di Bagian Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menunjukkan 33 mati karena overdosis. Di RSCM sendiri pada September 1999 setiap malam rata-rata menerima tiga pengguna narkoba yang overdosis. Angka-angka itu tentu saja tidak menggambarkan yang sebenarnya karena kematian di rumah atau rumah sakit lain jarang dilaporkan ke polisi sebagai kematian akibat penggunaan narkoba.

Lalu, apa yang membuat para pemakai narkoba ini sedemikian nekadnya? Mereka lebih memilih mati overdosis ketimbang hidup sehat wal afiat selayaknya manusia normal. Ancaman dalam Undang-undang (UU) nomor 5 tahun 1997 mengenai kepemilikan obat psikotropika sama sekali tidak membuat jera. Di situ tertulis seseorang yang kedapatan memiliki obat ‘haram’ ini bisa dipidana antara 4 hingga 15 tahun dan denda antara 150 juta sampai 750 juta rupiah. UU nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika juga tak kalah ‘garang’, ancaman pidana mati dan penjara seumur hidup membayangi para produsen, pengolah, perakit atau penyedia narkotika.
Hukum tinggalah hukum. Fakta berbicara pemakai narkoba kian meningkat, demikian pula kasus overdosis yang mengikutinya. Sebagian besar mereka para pecandu itu menyebut stres dan depresi sebagai penyebab utama larinya mereka ke narkoba. Sebab lain adalah mengikuti gaya hidup teman. Dan kesemuanya menjadi suatu kebiasaan, ketergantungan tanpa batas. Kalau mau dibilang ada batas, maka batas itu adalah langit. Alias kematian. Persis seperti lagu John Lennon, Lucy in The Sky with Diamon.(merry magdlena)




About Me

My photo
Journalist, writer, blogger, dreamer, traveller. Winner of some journalist awards (yuck!), a ghostwriter of some techie books.