Friday, September 23, 2005

Hati-hati, SMS Palsu Rawan Tindak Kriminal

Jakarta – Siapa saja bisa mengirim Short Message Services (SMS) atas nama nomor ponsel siapa saja. SMS palsu alias fake SMS sudah menjadi hal biasa di kalangan komunitas teknologi informasi (TI). Bagaimana aspek hukumnya?

Seorang pemilik telepon seluler (ponsel) terkejut menerima pesan SMS yang sungguh tak biasa. Pesan tersebut berasal dari praktisi TI Roy Suryo. Padahal ia yakin betul Roy tak akan pernah mengiriminya SMS semacam itu. Namun pesan tertanggal 27 Januari 2005 itu jelas mencantumkan nomor ponsel Roy sebagai pengirimnya. Tak pelak lagi, Anthony Fajri, Administrator Jaringan Departemen Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) si penerima SMS telah mendapat SMS palsu.
”Saya sama sekali tidak yakin bahwa yang mengirim itu adalah pemilik nomer tersebut. Selidik punya selidik, ternyata yang mengirim adalah salah seorang teman yang memang berniat mengerjai,” papar Fajri, demikian panggilan akrab lelaki bersahaja ini. Menurut Fajri, si teman yang tak mau disebut namanya ini menggunakan sebuah provider. Dengan provider tersebut, ia bisa mengirim SMS kepada siapa saja atas nomor ponsel siapa pun yang ia inginkan.

Berlangganan
Si pengirim SMS palsu tersebut kepada SH mengaku cukup mudah mengerjai siapa saja. Cukup dengan berlangganan sebuah provider SMS maka siapa pun bisa membuat SMS palsu. ”Ini provider berlangganan, tidak gratis seperti yang dilansir seorang praktisi TI,” jelas pengirim SMS palsu kepada SH dari Jepang melalui Yahoo Messenger, awal pekan ini. Pengirim yang enggan disebut namanya tersebut menantang SH untuk dikirimi SMS palsu. SH diminta menyebut nomor ponsel siapa saja yang ingin dipakai sebagai nomor pengirim. Betul saja, tak lama SMS palsu itu datang juga.
Tak terlalu sulit mengirim SMS palsu ini. Cukup dengan membuka satu website yang menyediakan sarana pengiriman SMS melalui internet. Dari sini dilakukan registrasi berlangganan, pembayaran dengan kartu kredit, maka siapa saja bisa mengirim SMS semau hati. Tindakan ini cukup riskan disalahgunakan opleh oknum tertentu. Bisa mengatasnamakan seseorang atau perusahaan ke nomor ponsel tertentu untuk mengirimkan uang ke rekening tertentu. Ini sudah masuk aksi kriminal atau cybercrime. Aksi lain yang tak kalah negatif adalah fitnah, pencemaran nama baik dan pembunuhan karakter.
Lantas, bagaimana dengan kepastian hukumnya? Apakah pelaku penyalahgunaan SMS palsu bisa dilacak?

Aspek Hukum
Donny Budi Utoyo, Koordinator Information, Comunication and Technology Watch (ICT Watch) menyatakan bahwa untuk mengangkat masalah ini menjadi kasus hukum agak sulit, kecuali jika kasus itu tergolong besar. Yang bisa digolongkan kasus besar adalah apabila SMS palsu itu meresahkan publik, pencemaran nama baik seorang tokoh penting, atau penipuan besar-besaran yang merugikan banyak orang.
Secara teknis, pelaku bisa dilacak melalui operator SMS yang bersangkutan, yakni dengan mengetahui login user. Namun itu pun akan sulit bila providernya di luar negeri seperti Clickatel atau FreeSMS.
”Karena log adalah sebuah bukti digital, dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengadopsi adanya bukti digital tersebut. Trik yang biasa dilakukan adalah dengan mendatangkan saksi ahli untuk membuktikan bahwa bukti digital tersebut adalah memang sah dan valid. Soal akhirnya dipakai atau tidaknya bukti tersebut oleh pengadilan, itu
soal lain lagi,” papar Donny dalam diskusi mengenai fake SMS.
Sementara pihak penyedia priovider tidak bisa dikenakan sanksi apa pun. Provider tersebut hanya memberikan sarana dan fasilitas. Tapi biasanya porvider yang bersangkutan bisa ikut terseret seperti misalnya menjadi saksi atau perangkatnya disita sementara sebagai barang bukti.
Tapi jika diteliti, sebuah SMS palsu memiliki beberapa kelemahan sehingga bisa dibedakan dengan SMS asli. Contoh SMS palsu yang diterima SH memiliki perbdedaan waktu yang mencurigakan. SMS palsu disertai keterangan waktu berbeda dengan waktu aktual saat kita menerimanya. Misalnya kita menerima SMS tersebut pukul 15.00, tapi pada SMS tersebut tertera pukul 7.00. Ini disebabkan perbedaan waktu antara lokasi provider dengan lokasi pemilik ponsel.
Perbedaan lain adalah terkadang nomor telepon pengirim di SMS palsu tak sesuai dengan nomor yang tersimpan pada ponsel penerima. Ambil contoh SMS palsu yang diterima SH mencantumkan nomor ponsel 62818467xxx, padahal yang tersimpan pada ponsel SH hanya 818467xxx. Ini disebabkan si pelaku pengirim SMS palsu tidak tahu format nomor ponsel yang kita simpan di handset ponsel si penerima.
Disarankan agar siapa pun yang menerima SMS mencurigakan jangan langsung percaya dengan isi pesan SMS tersebut. Teliti dengan benar jam serta nomor ponsel pengirim yang tertera, apakah cukup valid dan sesuai dengan data yang tersimpan dalam phone book kita.
Munculnya teknologi yang memungkinkan siapa saja bisa mengirim SMS palsu memang cukup mengkhawatirkan. Ini sama saja dengan begitu banyak fasilitas internet yang bisa dipakai untuk aksi carding, cracking dan banyak lagi. Dari sini bisa dibuktikan bahwa teknologi menyerupai pisau, akan berfungsi dengan baik jika memang digunakan sesuai kebutuhan. Sebaliknya, bisa merugikan kalau disalahgunakan dan ada di oknum yang jahat.
(SH/merry magdalena)









Copyright © Sinar Harapan 2003
Lindungi Privasi Anda di Dunia Maya


Jakarta - Sejauh mana privasi seseorang bisa terlindungi di dunia maya? Situs pencari sejenis Google bisa saja menyibak rahasia hidup Anda.

“Dari mana Saudara tahu nomor telepon saya? Saya tidak pernah memublikasikannya,” seorang narasumber terhenyak ketika dihubungi wartawan. Dengan santai, wartawan tadi menjawab,”Dari Google, Pak.”
Peristiwa seperti ini kerap terjadi dalam kinerja dunia jurnalistik. Mencari tahu data pribadi seorang tokoh ternama bukan hal sulit di era Teknologi Informasi (TI) seperti saat ini. Klik saja situs pencari seperti Google, Alta Vista, atau Yahoo. Ketik nama tokoh yang bersangkutan, akan keluarlah semua data yang berhubungan dengan tokoh tadi. Mencari foto juga bukan perkara sukar. Kian popular nama seseorang, kian banyak data dan informasi yang bisa kita dapat di dunia maya.
Bagi wartawan atau profesi lain yang mengandalkan pencarian data, situs pencari alias search engine merupakan temuan paling membantu abad ini. Google, misalnya, bisa menelusuri seantero jagat maya hingga 8.058.044.651 halaman website. Weblog, jurnal harian pribadi, atau milis sekalipun tidak luput dari pencarian ini.
Singkatnya, situs pencari serupa Google tak ubahnya sebuah bank data yang bisa diakses siapa saja. Chris Hoofnagle, penasihat senior dari Electronic Privacy Information Center menyebut Google sebagai salah satu pembocor privasi terbesar di Internet.

Interaksi
Sejauh manakah privasi kita bisa terjaga di dunia maya? “Semua tergantung pada bagaimana seseorang berinteraksi dengan Internet. Seperti misalnya database dalam halaman milis yang mencantumkan tanggal lahir, alamat, dan sebagainya. Itu semua informasi yang sifatnya pribadi,”ujar Ahmad Husni Thamrin, pemerhati TI yang tengah mengambil program doktoral di Keio University, Jepang kepada SH, Rabu (27/7) saat dihubungi melalui Yahoo Messenger.
Makin sering seseorang berinteraksi dengan Internet, makin banyak pula data dirinya yang tersimpan di dunia maya tersebut. Sebagai contoh, orang yang memiliki weblog bisa saja secara sengaja mencantumkan alamat dan nomor telepon seluler (ponsel), bahkan alamat dan foto. Begitu pula peserta milis yang dengan senang hati menaruh semua data pribadinya di database milis yang bersangkutan.
Namun, tak jarang terjadi justru orang lain yang meng-online-kan semua data pribadi kita tanpa kita ketahui atau beri izin. Inilah yang bisa terlacak oleh situs pencari sehingga siapa saja yang memang sengaja mencari data kita bisa dengan mudah mendapatkannya. Lalu, akankah data pribadi ini disalahgunakan oleh orang lain? Jawabannya selalu saja mungkin.
Internet merupakan suatu belantara yang bebas merdeka diakses oleh siapapun. Jika kebetulan orang berpikiran negatif dengan maksud buruk memanfaatkan data tersebut, tak ada yang bisa mencegah. Inilah yang memungkinkan terjadinya segala jenis kejahatan di Internet alias cybercrime.
“Selama Uniform Resouce Locator (URL)-nya bisa di-link oleh URL lain serta tidak disertai password, situs pencari semacan Google akan selalu bisa melacaknya,” jelas Ahmad yang alumni Fakultas Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Jaga Privasi
Namun riskannya situs pencari Google terhadap penyalahgunaan data ditangkis oleh Nicole Wong, penasihat umum Google. “Secara umum sebagai sebuah perusahaan, kami selalu memandang privasi dari sisi manapun kami bekerja,” ungkapnya seperti yang dikutip AP baru-baru ini.
Maksudnya, dari mulai manajer produk, pakar teknis hingga eksekutif selalu mempertimbangkan segala sesuatu yang berpengaruh terhadap privasi pengguna. Wong menyebut pihaknya selalu menanggapi komentar dari sejumlah kalangan pemonitor kinerja mereka seperti Center for Democracy and Technology dan Electronic Frontier Foundation.
Keduanya selalu memonitor sejauh mana hasil pencarian data Google masih dalam batas yang dikehendaki. Google memiliki ketentuan bahwa hanya sebagian saja dari karyawannya yang memiliki akses ke data personal. Tapi, kita punya batasan sendiri-sendiri mengenai apa itu yang layak disebut sebagai privasi.
Menurut Wong, Secara otomatis Google merekam semua informasi ke nomor Internet Protocol (IP) pengguna serta nomor ID yang tersimpan dalam web browser. Makin sering data tersebut diakses orang, makin besar pula kemungkinannya muncul dalam hasil pencarian.
Tidak ingin sembarang orang menghubungi Anda melalui ponsel atau email pribadi? Kalau memang demikian, janganlah sembarang meng-online-kan data itu. Tapi kalau memang ingin popular dan dikenal seantero dunia maya, silakan saja memperintim hubungan Anda dengan Internet. Semua tergantung pada keputusan Anda. Copyright © Sinar Harapan 2003
TI Bisa Bikin Indonesia Jadi Adidaya


JAKARTA - Kesenjangan digital (digital divide) di Indonesia ternyata tidak terlalu parah. Dengan infrastruktur yang baik, Internet bisa membuat Indonesia jadi negara adidaya (superpower).

Dua “pejuang” Teknologi Informasi (TI) Indonesia, Onno W. Purbo dan Basuki Suhardiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB) baru saja menghadiri Asia Pacific Advanced Network (APAN) di Taipei, Taiwan, 22-27 Agustus kemarin. Itu merupakan pertemuan dua tahunan bagi para peneliti Asia Pacific khususnya di bidang teknologi jaringan kecepatan tinggi 1-5Gbps.
Baik Onno maupun Basuki datang atas undangan Michael Lin seorang deputy director dari Department of Information Management dalam pemerintahan Taiwan. Departmen of Information Management bertanggung jawab atas e-government dan digital divide di Taiwan. Kira-kira setara dengan Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) kalau di Indonesia.
Onno melihat bahwa kondisi kesenjangan digital di Indonesia ternyata tidak terlalu buruk dibanding dengan negara Asia Pasifik lain. Sebut saja Taiwan yang telah mengembangkan 141 buah telecenter di area pedesaan tahun 2001. Dan program itu gagal total. “Mereka mengakui terus terang kesalahan paling fatal yang mereka lakukan karena pendekatan yang digunakan sangat top down didrop oleh pemerintah dan tidak melibatkan komunitas daerah. Itu adalah kesalahan fatal mereka.
Di samping tidak adanya orang teknis yang mendukung operasional telecenter mereka,” ungkap Onno dalam emailnya kepada SH belum lama ini.

Adidaya
Hal senada diungkap Basuki Suhardiman. Ia berpendapat bahwa untuk menilai posisi Indonesia dalam kesenjangan digital, dibutuhkan definisi tepat ihwal kesenjangan digital itu sendiri. “Digital divide sering dibayangkan negara Afrika. Indonesia jelas tidak seperti itu. Tapi kalau dibilang penyebaran, memang kita masih kurang . Bayangkan saja untuk menempuh perjalanan Sabang sampai Merauke , sama dengan perjalanan dari Dublin, Irlandia ke Moskow,” jelas Basuki kepada SH melalui Yahoo Messenger.
Tentu saja Indonesia jauh lebih maju dibanding negara selevel negara di benua Afrika. Ini bisa kita lihat dari keseharian orang Indonesia yang nyaris tak bisa terlepas dari telepon seluler (ponsel), komputer, juga Internet, kendati itu masih didominasi penduduk kota besar. Jadi masalah sebenarnya terletak pada penyebaran akses TI itu sendiri. Hal ini tentu harus didukung dengan infrastruktur memadai. Basuki menekankan, andai infrastruktur TI Indonesia memadai, bukan tak mungkin Indonesia menjadi negara adidaya.
Internet yang terjangkau bagi rakyat pun bisa direalisasi asal didukung oleh edukasi yang baik bagi masyarakat, juga keinginan membangun infrastruktur dari pemerintah.
Warnet
Sedangkan Onno menekankan perjuangan memerangi kesenjangan digital bisa tumbuh dengan sendirinya di kalangan rakyat, dalam hal ini pihak swasta. Onno melihat selama ini pembangunan TI di Indonesia lebih banyak berasal dari dan untuk rakyat. Sebut saja Usaha Kecil Menengah (UKM) berupa Warung Internet (Warnet) di seantero Indonesia. Warnet ini tak bisa dilupakan perannya dalam memberangus kesenjangan digital.
“Dan yang penting kita tahu bahwa perjuangan rakyat ini telah berhasil menciptakan berbagai solusi dan alternatif yang memungkinkan Internet menjadi murah dan gilanya sebagian besar swadaya masyarakat tidak ada utangan Bank Dunia apalagi IMF,” ujar Onno. Ia juga mengaku dalam hati sangat bersyukur bahwa ternyata apa yang dilakukan rakyat Indonesia di bawah sweeping, pemalakan aparat, yang tidak di dukung pemerintah tidak disokong Bank Dunia, tidak dihutangi IMF ternyata membuahkan hasil yang luar biasa , yakni ribuah Warnet, ribuan nodeWireless Internet dan terus berkembang hingga hari ini. Copyright © Sinar Harapan 2003
Gerakan Itu Bernama Free Software

JAKARTA – Demam open source yang mulai mewabah di Indonesia hanya selangkah sebelum menuju ke gerakan free software. Gerakan macam apa pula itu?

Para hacker, aktivis open source, sebaiknya mampir sejenak ke Negeri Pagoda, Kamboja, akhir pekan silam. Sebanyak 20 negara berkumpul selama tiga hari di Siem Reap, Kamboja. Ajang bertajuk Free and Open Source Software (FOSS) ini menelurkan sikap optimis bahwa peranti lunak bebas lisensi memang dibutuhkan oleh negara berkembang dan miskin. Sikap ini merupakan hasil perdebatan panjang para pengkampanye dan aktifis teknologi informasi (TI) setingkat Asia ihwal pro dan kontra FOSS versus peranti lunak berlisensi. Yang disoroti adalah pengembangan paradigma FOSS, konten yang terbuka, e-governance, lokalisasi dab banyak lagi. Pesertanya sendiri hadir dari pelbagai kalangan seperti praktisi TI, perwakilan pemerintah, pengajar, profesional dan pendukung FOSS.

Bebas Digandakan
Free software adalah perangkat lunak yang bebas dipakai, digandakan, dipelajari, dimodifikasi dan disebarluaskan secara bebas. Program ini dikembangkan oleh para hakcer yang berkolaborasi satu sama lain melalui dunia maya. Ini sudah dimulai sejak tahun 1980-an dan hari ini mulai dirasakan manfaatnya oleh negara-negara Asia Pasifik mengingat harga software dunia terus membengkak.
Di Indonesia, tidak kurang MenteriRiset dan Teknolgi (Menristek) Kusmayanto Kadiman mendukung penuh implementasi open source dengan program IGOS-nya. Langkah pertama, tidak terlalu muluk, adalah memsosialisasikan Desktop IGOS, sebuah program open source buatan dalam negeri, ke seantero perkantoran pemerintah. Selain mengurangi anggaran dalam membeli peranti lunak berlisensi yang mahal, langka ini juga dianggap sebagai “Satu langkah menekan angka penggunaan peranti lunak ilegal,” demikian ungkap Kusmayanto beberapa waktu silam.
Di Kamboja, deputi perdana menteri Sok An juga berargumen bahwa FOSS mampu membantu negaranya menghemat sekian banyak biaya lisensi, juga mengurangi angka pembajakan. Lebih dari itu free software dianggap mampu membuat para pelajar lebih dekat dengan studi ihwal sandi-sandi peranti lunak serta memahaminya lebih baik.
“Banyak negaraberkembang yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan pembajakan. Mereka terlalu miskin untuk membeli peranti lunak berlisensi, akhirnya terjadilah pembajakan hingga level 90 persen bahkan lebih di beberapa negara kawasan Asia Pasifik,” ujar Shahid Akthar, koordinator Asia-Pacific Development Information Programme (APDIP ). Tapi bukan berarti pembajakan dibenarkan dengan dalih kemiskinan. Maka itu hadirnya FOSS mampu memutuskan lingkaran setan tersebut.
Bahkan seorang Richard Stallmen, pencetus ide copyleft dan pendiri Free Software Foundation sekaligus juga hadir dalam even tersebut. Lelaki berambut panjang ini memberi kata penutup pada hari terakhirkonferensi. “Orang-orang di sini mewakili keyakinan dan tjuan mereka. Mereka datang dari gerakan free software sekaligus juga open source. Kita bisa bekerjasama dan membuat sejumlah program yang memastikan user bisa mengontrol peranti lunak yang dipakainya,” papar Stallman.

WinBI
Untuk menuju implementasi free software dan open source tentu dibutuhkan pembangunan kapasitas peranti lunak yang memadai. Tentu saja peranti lunak tersebut harus bisa digandakan, dipelajari, dimodifikasi secara bebas tanpa harus merogoh kocek untuk lisensi. Untuk negara berkembang dimana bahasa Inggris masih belum banyak dikuasai publiknya, tentu saja diperlukan lokalisasi bahasa. Masalah ini juga dibahas dalam forum FOSS ini. Awal dari implementasinya adalah bagaimana melokalisasi peranti lunak ke dalam bahasa Khmer.
Indonesia sendiri sesungguhnya sudah lama memulai program sejenis ini. Tahun 2002 peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolgi (BPPT) bekerjasama dengan Universitas Gajah mada (UGM) mengembangkan WinBi, kependekan dari Window Bahasa Indonesia. Peranti lunak ini bersifat open source namun tetap memakai lisensi yang tentu saja bebas biaya.
”Winbi mencoba mengadopsi model pengembangan program open source yaitu rilis sesegera mungkin, dan sediakan source code, dokumentasi, sehingga orang lain dapat mencoba, memanfaatkannya, melakukan perbaikan, mengembangkan dan sama-sama menerima manfaatnya. Dengan cara disediakan secara terbuka, pihak lain dapat dengan cepat melihat kekurangan. Ataupuin pihak lain dapat menggunakannya untuk beragam aplikasi,” papar I Made Wiryana, salah seorang pengembang WinBI yang mewakili komunitas open source Indonesia dalam website-nya.
Bagaimana “nasib” WinBI di masa kini? Memang masih belum terasa meluas implementasinya. Namun setidaknya program ini sudah meninggalkan source code yang kelak bisa dikembangkan apabila memang dibutuhkan. Setidaknya, membuktikan bahwa sejak dulu kala gema open source memang sudah terdengar, walau lirih.Copyright © Sinar Harapan 2003

About Me

My photo
Journalist, writer, blogger, dreamer, traveller. Winner of some journalist awards (yuck!), a ghostwriter of some techie books.