Memperingati Hari Antimadat Sedunia
Lennon Tak lagi Nyanyikan LSD
JAKARTA - ”Lucy in the Sky with Diamond…Lucy in the Sky with Diamond…” suara parau almarhum John Lennon seolah tak kenal lelah mengumandakan lagu yang jika ditilik merupakan ekspresi kegilaannya pada narkoba.
Judul lagu itu sendiri, Lucy in the Sky with Diamond, jika disingkat menjadi LSD, sebuah obat pemicu halusinasi. LSD yang kependekan dari Lysergic Acid Diethylamide ini sempat populer di kalangan pemusik seangkatan The Beatles.
Dekade 1960-an dikenal sebagai kebangkitan para hippies, kelompok anak muda penentang perang yang ingin menikmati hidup di bawah kendali mariyuana, LSD, minuman keras dan sejenisnya. Era itu disusul kemudian dengan dekade berikut, zaman keemasan musik rock yang melahirkan idiom, ”drugs, sex and rock ‘n’ roll”. Tidak elite rasanya kalau pemusik di era itu tidak bersinggungan dengan yang namanya obat terlarang dan minuman keras.
Dalam sebuah buku biografi mengenai pemusik-pemusik yang mati usia muda, diceritakan bagaimana Jimmy Hendrix, gitaris blues kulit hitam, selalu asyik bercengkerama membicarakan tempat-tempat mendapatkan bubuk heroin nomor satu bersama Janis Joplin, vokalis blues kondang. Keduanya kini hanya tinggal nama. Sama-sama dijemput malaikat maut pada usia muda akibat overdosis, bahasa anak mudanya sekarang adalah OD.
Sampai dekade 1980-an demam ‘mabuk-mabukan’ tak pernah padam. Era ini ditandai dengan musik-musik new wave psichedelic dengan nama-nama kondang macam David Bowie, Iggy Pop, REM, Patti Smith dan sebangsanya yang mempopulerkan, lagi-lagi, narkotika dan minuman keras.
Memang kesemua musisi tersebut tidak secara langsung mempromosikan narkoba. Namun melalui penampilan panggung dan gaya hidup mereka sehari-hari jelas narkoba sangat berperan dalam karir bermusiknya.
Jengah dengan itu semua, pada 1987 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan 26 Juni sebagai hari Anti Madat Sedunia atau International Day againts Drug Abuse and Illicit Trafficking sebagai ekspresi dukungan terhadap segala bentuk aksi pembebasan dunia dari pengaruh obat bius.
Indonesia sendiri telah menempatkan istilah narkoba, kependekan dari narkotika dan obat berbahaya. Ada pula yang menamainya NAPZA atau narkotika, psikotropika dan zat adiktif. Sedangkan psikiater ahli obat terlarang, Profesor Dr. Dadang Hawari punya istilah lain lagi, yaitu NAZA alias narkotika, alkohol dan zat adiktif.
Apapun namanya, semua benda-benda tersebut telah diproklamirkan sebagai musuk bebuyutan setiap negara di dunia.
Betapa tidak, dari sumber Bakolak Inpres tahun 1995 saja diketahui jumlah penyalah guna narkoba ini sekitar 0.065 persen dari 200 juta penduduk Indonesia, yaitu 130.000.
Sementara penelitian Dadang Hawari menyebut bahwa angka sesungguhnya adalah sepuluh kali lipat dari angka resmi tadi. Fenomena narkoba tak ubahnya dengan AIDS, yakni fenomena gunung es, dimana yang tampak di permukaan jauh lebih kecil dibanding dengan yang tidak terlihat.
Dengan kata lain, bila ditemukan satu penyalahguna NAZA sesudai dengan penelitian di atas adalah 130.000 kali 10, berarti 1,3 juta orang.
Patungan
Dadang pernah membuat riset tentang jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi NAZA. Diketahui bahwa setiap orang menghabiskan 100.000 hingga 300.000 rupiah seharinya.
Ditotal dengan jumlah pengguna NAZA seluruh Indonesia, maka dana yang dibelanjakan untuk kebutuhan fly adalah sekitar 130 miliar sampai 390 miliar rupiah per hari. Tidak heran apabila ada isu yang berhembus keras bahwa pemakai narkoba alias NAZA alias NAPZA di sini mayoritas adalah golongan menengah ke atas.
Sedikit membingungkan memang. Di satu sisi rakyat sering mengeluh karena harga beras mahal, yakni Rp 3.000 per kilo.
Di lain sisi, fakta perdagangan obat terlarang justru sebaliknya. Shabu saja per gram harganya bisa mencapai Rp 300.000, tapi tetap marak dikonsumsi. Bahkan selidik punya selidik, bukan golongan menengah ke atas saja yang mengkonsumsi. Golongan bawahpun tidak ketinggalan.
”Biasanya kami patungan, kumpulkan uang bersama lalu menghisapnya ramai-ramai,” ujar seorang pemakai shabu yang menyebut serbuk idolanya itu dengan sebutan ubas atau ‘SS’.
Shabu dan ekstasi mulai merebak di awal dekade 1990-an. Harganya di bawah heroin atau kokain, tapi dengan mutu ‘kenikmatan’ yang tidak kalah. Yang terakhir ini justru dipopulerkan oleh pengalaman artis Ria Irawan, nama yang sempat merajai media masa dengan kasus meninggalnya Rifardi Sukarnoputra di rumahnya pada Januari 1993 akibat OD. Menyusul kemudian kasus Zarima alias Zarina yang belakangan dijuluki Ratu Ekstasi.
Menurut seroang ‘pakar’ pemakai narkoba, sebut saja namanya Andi, antara ekstasi dengan shabu sama-sama menimbulkan semacam semangat bergelora dalam tubuh. Hanya saja ekstasi lebih cepat dan pemakaiannya pun praktis, langsung tenggak.
”Kalau ubas, prosesnya lama, pakai dibakar segala. Lamanya ini yang menimbulkan keasyikan tersendiri. Dan lebih enak kalau dipakai berdua atau lebih, jadi bisa saling menolong satu sama lain,” tutur Andi.
Dalam pesta shabu, ada dua pihak yang saling bergantian jadi ‘dokter’. Istilah dokter di sini dipakai untuk menyebut orang yang melakukan proses pembakaran. Sedangkan ‘pasien’ adalah si penikmat shabu.
Selain shabu dan ekstasi, di kalangan anak muda kita beredar pula putauw. Sebenarnya zat ini merupakan heroin kelas tiga, yaitu yang paling murah. Para pemakai menyebutnya ‘PT’ alias ampas heroin. Zat ini banyak digunakan para pecandu di kalangan menengah ke bawah yang tidak bisa menikmati heroin. Bernama medis diamorphin, heroin sesungguhnya merupakan obat bius di kalangan kedokteran. Asal muasalnya adalah tumbuhan opium poppy. Serbuk heroin ada yang berwarna putih ada pula yang coklat. Yang coklat ini sempat menginsiprasi group rock asal Inggris, Rolling Stones dalam pembuatan lagu berjudul Brown Sugar. Group pimpinan Mick Jagger ini memang identik dengan narkoba. Bahkan dalam lagu Sister Morphine mereka jelas-jelas mengagungkan obat bius.
Dari tumbuhan opium ini bisa diproses menjadi narkotik sintetis yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak didapat dari opium seperti heroin, kodein dan hydromorphone yang populer dengan nama morphine. Dari sebuah tumbuhan poppy (papaver somniferum) bisa didapat berbagai bahan adiktif. Getahnya yang diambil dengan cara menyadap buah jika dikeringkan bisa menjadi candu mentah. Umumnya bahan ini diperjualbelikan dalam kemasan kotak kaleng dengan berbagai macam cap, antara lain ular, tengkorak, anjing dan sebagainya. Maka dulu sempat tenar apa yang namanya ‘cap anjing’ di kalangan pecandu kelas menengah ke bawah.
Lalu ada lagi morphine atau morfin, yakni olahan candu mentah yang merupakan alkaoida utama opium. Berasa pahit jika dijilat, morfin berbentuk tepung putih halus atau bisa juga cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikan.
Kurang puas dengan morfin, ada heroin. . Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi mengantuk dan alami perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang baik.
Nekad
Dan yang terpopuler dari semua itu, ganja. Akrab di telinga anak muda kita dengan sebutan ‘gele’, ‘cimeng’ atau ‘rasta’, daun tanaman canabis sativa ini kabarnya banyak ditanam di Aceh. Di sana ganja memang sudah tumbuh subur sedari dulu. Malahan di sana daun ganja menjadi semacam bumbu penyedap makanan. Ganja ini biasa dikonsumsi seperti halnya rokok biasa, kadang dicampur dengan tembakau atau adonan dari rokok kretek.
Sedemikian ‘umum’-nya pemakaian ganja ini sampai-sampai sebuah pesta ganja bisa berlangsung di mana saja dan kapan saja. Tempat ini bisa kamar, kamar kos, ruang tamu juga mobil. Sebuah sumber SH menyatakan bahwa di halte-halte bis sepanjang jalan Sudirman pun kerap ditemukan segerombolan anak muda menghisap ganja dengan bebasnya tanpa rasa takut. Fakta ini sangat berbeda dengan penggunaan shabu.
”Untuk shabu sedikit susah sebab peralatannya terlalu menyolok. Kalau gele ‘kan sepintas mirip rokok, jadi sering tidak mengundang kecurigaan. Paling-paling dikenali dari baunya. Tapi tidak semua orang ‘kan tahu seperti apa bau ganja itu?” Begitu keterangan sebuah sumber.
Untuk sedikit mengelabui, biasanya pesta shabu dilakukan dengan peralatan ala kadarnya. Tabung bong yang sewajarnya menggunakan botol kaca diganti dengan botol minuman mineral yang direkayasa sedemikian rupa. Pipet alias alat penghisapnya diganti dengan sedotan biasa. Memang keasyikannya jadi agak terganggu. Namun cara ini dirasa cukup aman oleh pemakai shabu, sebab mereka bisa langsung membuangnya tanpa meninggalkan jejak.
Sungguh ironis. Seribu satu cara dipakai oleh para pengguna narkoba demi terbebas dari ancaman hukum. Padahal jumlah kematian akibat over dosis kian meningkat dari waktu ke waktu. Data di kamar mayat RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan dari Januari 1999 sampai 22 Desember 1999 tercatat 61 orang mati karena overdosis, delapan di antaranya wanita. Sedangkan tahun 1998 data di Bagian Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menunjukkan 33 mati karena overdosis. Di RSCM sendiri pada September 1999 setiap malam rata-rata menerima tiga pengguna narkoba yang overdosis. Angka-angka itu tentu saja tidak menggambarkan yang sebenarnya karena kematian di rumah atau rumah sakit lain jarang dilaporkan ke polisi sebagai kematian akibat penggunaan narkoba.
Lalu, apa yang membuat para pemakai narkoba ini sedemikian nekadnya? Mereka lebih memilih mati overdosis ketimbang hidup sehat wal afiat selayaknya manusia normal. Ancaman dalam Undang-undang (UU) nomor 5 tahun 1997 mengenai kepemilikan obat psikotropika sama sekali tidak membuat jera. Di situ tertulis seseorang yang kedapatan memiliki obat ‘haram’ ini bisa dipidana antara 4 hingga 15 tahun dan denda antara 150 juta sampai 750 juta rupiah. UU nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika juga tak kalah ‘garang’, ancaman pidana mati dan penjara seumur hidup membayangi para produsen, pengolah, perakit atau penyedia narkotika.
Hukum tinggalah hukum. Fakta berbicara pemakai narkoba kian meningkat, demikian pula kasus overdosis yang mengikutinya. Sebagian besar mereka para pecandu itu menyebut stres dan depresi sebagai penyebab utama larinya mereka ke narkoba. Sebab lain adalah mengikuti gaya hidup teman. Dan kesemuanya menjadi suatu kebiasaan, ketergantungan tanpa batas. Kalau mau dibilang ada batas, maka batas itu adalah langit. Alias kematian. Persis seperti lagu John Lennon, Lucy in The Sky with Diamon.(merry magdlena)
Friday, November 29, 2002
Subscribe to:
Posts (Atom)
Blog Archive
-
►
2006
(9)
- ► 11/26 - 12/03 (1)
- ► 07/23 - 07/30 (2)
- ► 06/18 - 06/25 (1)
- ► 06/04 - 06/11 (1)
- ► 02/19 - 02/26 (1)
- ► 02/12 - 02/19 (2)
- ► 01/01 - 01/08 (1)
-
►
2005
(6)
- ► 11/27 - 12/04 (2)
- ► 09/18 - 09/25 (4)
-
►
2004
(7)
- ► 05/23 - 05/30 (1)
- ► 04/25 - 05/02 (2)
- ► 03/28 - 04/04 (2)
- ► 03/07 - 03/14 (1)
- ► 01/04 - 01/11 (1)
About Me
- Merry Magdalena
- Journalist, writer, blogger, dreamer, traveller. Winner of some journalist awards (yuck!), a ghostwriter of some techie books.