Friday, January 09, 2004

Imbas UU HaKI
Demam Linux Mulai Serbu Indonesia

Jakarta, Sinar Harapan

Undang-undang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) No.19/2002 ternyata punya imbas besar dalam manajemen teknologi informasi (TI) sejumlah perusahaan di Indonesia. Belum ada satu bulan, sudah lumayan banyak perusahaan yang berencana mengalihkan sistem operasi komputernya dari Windows ke Linux. Bahkan banyak pula yang sudah mulai mensosialisasikan program-program Linux seperti Open Office, Ximian, Mandrake dan banyak lagi.

“Grafisnya justru lebih bagus Open Office daripada MS Office, sebab lebih warna-warni dan bervariasi. Selain itu, buat yang suka ngoprek komputer akan lebih suka pakai Linux karena programnya bisa dikembangkan sendiri sesuai keperluan,” ujar Ni Ketut Sustrini, seorang karyawan Detik Com kepada SH di Jakarta, Selasa(12/8). Bersama karyawan Detik lain, Ketut, demikian panggilan akrabnya, sudah hampir satu bulan ini melakukan learning by doing yang diterapkan kantornya. Personal Computer (PC) Ketut bersama dengan sekitar 50 PC lain di kantor Detik satu demi satu sudah di-instal sstem operasi Linux mulai dari yang sederhana dan bisa dipakai sehari-hari, Open Office atau Opera sebagai pengganti Internet Explorer (IE).
Tapi ada juga yang mengeluhkan kelambatan kinerja Linux. Laksmi Nurwandini, karyawan PT.Tempo Inti Media, berkomentar bahwa untuk membuka suatu file akan memakan waktu lama bila menggunakan Open Office, tidak seperti Windows. Perempuan yang juga sudah satu bulan lebih membiasakan diri mengetik dengan Open Office ini menyatakan sudah mulai familiar dengan beberapa program Linux. PT. Tempo Inti Media yang notabene adalah penerbit Koran Tempo serta Majalah Tempo memang tengah menjajaki kemungkinan bermigrasi dari Windows ke Linux. Untuk itu mereka sudah menginstal sejumlah PC-nya dengan program Linux.
“Tapi belum semua PC kami pakai Linux. Ada sejumlah aplikasi yang belum bisa digantikan oleh Linux, seperti misalnya pengolahan data grafis, scanner, photoshop dan sebagainya. Untuk sementara kami baru pakai Open Office,” ujar Yan Akmar, Programmer TI Koran Tempo kepada SH di Jakarta, Rabu (13/8).
Menurut Yan, salah satu alasan kuat mengapa mereka beralih Linux ada kaitannya dengan pemberlakuan UU HaKI yang baru dicanangkan. Tentu akan jauh lebih efisien dengan bermograsi ke Linux daripada harus membeli semua program Microsoft dengan lisensi asli.

Ringan Biaya
Jangankan yang melakukan learning by doing seperti karyawan Detik Com dan Koran Tempo, untuk membayar sebuah konsultan saja setelah direka-reka masih lebih murah ketimbang harus membeli lisensi Microsoft. Rata-rata kini untuk migrasi ke Linux menalan biaya sekitar Rp 750.000 per PC sudah mencakup instalasi, training dan maintenance selama tiga bulan. Tentu ini sangat ringan dibanding dengan denda Rp.500 juta yang harus dibayar jika kepergok melanggar UU No.19/2002 karena menggunakan software ilegal Microsoft. Kalau ingin dibandingkan dengan kocek yang harus dirogoh demi membayar lisensi software Microsoft Windows masih lebih ringan. Bayangkan, untuk mendapat satu lisensi Windows XP , kita harus mengeluarkan dana 150 dolar AS atau Rp. 1.260.000 per PC. Silakan bandingkan dengan biaya instalasi Linux yang hanya Rp.750.000.
Biaya ini pun tidak perlu dikeluarkan sama sekali kalau sebuah kantor hanya ingin menggunakan aplikasi office, networking dan Internet saja, sebab bisa langsung diinstal secara gratis melalui software copian atau website-website Linux. Langkah inilah yang diambil Detik Com dan Koran Tempo. “Belajarnya mudah, kalau ada kesulitan kita akan panggil teknisi kantor. Saya sudah cukup familiar hanya dalam beberapa hari,” komentar Ketut saat ditanya ihwal penggunaan Open Office dari Linux. Jasa konsultan Linux baru dibutuhkan apabila suatu perusahaan ingin menggunakan aplikasi spesifik seperti pembukuan, ERP, produksi dan sejenisnya.
Migrasi ke Linux bukan hanya dilakukan untuk aplikasi perkantoran semata. PT. Sinar Sosro lebih memilih menggunakan Oracle 11i yang dijalankan di Linux ketimbang Windows NT. Selain itu mereka juga memakai FTP Service dan Proxy Server berbasis Linux. Apa pasal? “ Dengan Oracle 11i yang running di Linux ternyata lebih efektif dalam pembiayaan dan punya avalability yang bagus,” ujar Hugo Winarto, Manager IT PT. Sinar Sosro kepada SH dalam kesempatan berbeda. Walau penggunaan Linux masih sebatas pada server, Hudo menyatakan bahwa ada kemungkinan dilakukan penjajakan memakai sistem operasi Linux yang kini mulai gencar dilakukan perusahaan lain.
I Made Wiryana, staf pengajar Universitas Gunadarma sekaligus pengguna Linux berkomentar bahwa langkah yang diambil perusahaan tersebut untuk beralih ke Linux sangatlah tepat dengan situasi saat ini. Menurutnya, siapaun tidak boleh terlalu bergantung pada produk piranti lunak tertentu. “Selain menghemat biaya lisensi, juga memungkinkan sistem komputer menjadi kebal virus,” paparnya dalam email kepada SH, Rabu (13/8) dari Universitas Bielefeld, tempatnya mengambil program doktoral saat ini.
Namun untuk bermigrasi ini perlu diperhatikan beberapa hal agar pengguna lebih merasa familiar menggunakan Linux. Seperti misalnya pemakaian Graphical User Interface (GUI) pada Linux ada lebih dari satu. Hal ini terkadang membingungkan bagi pemula, sehingga perlu diperkenalkan terlebih dahulu. Begitu juga seperti fitur Virtual Desktop yang ada pada GUI di Linux, sering membuat pengguna yg terbiasa di lingkungan Windows menjadi sedikti bingung. Padahal setelah terbiasa dengan virtual desktop ini mereka menjadi suka sekali.

Menggeser Windows
Kabarnya bukan hanya Detik Com, Koran Tempo atau Sinar Sosro saja yang berniat migrasi ke Linux. Sejumlah perusahaan lain bahkan juga instansi pendidikan seperti Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta juga iku melirik program-program sistem operasi bermaskot burung pinguin ini. Rata-rata dalih mereka adalah pemberlakuan UU HaKI yang memaksa setiap pengguna program Microsoft membeli lisensi program. Dalam sebuah poling yang dilakukan situs www.elinux.co.id, terbukti bahwa sebagian besar perusahaan ingin melakukan migrasi ke Linux dari Windows karena adanya UU HaKI. Situs tersebut mengajukan pertanyaan yang berbunyi “Sehubungan dengan penerapan HaKI, apakah perusahaan anda akan bermigrasi ke Linux ?” Sampai hari Rabu (13/8), ada 85,71 persen (48 suara) yang menjawab ya dan hanya 14,28 persen(8 suara) yang menjawab tidak.
Migrasi dari Windows ke Linux yang terjadi di Indonesia ini hanyalah salah satu gejala tren dunia TI yang mulai bosan dengan dominasi Microsoft. Di tingkat global, sejumlah perusahaan internasional seperti Sony, Sharp, Toshiba, Matsushita, Hitachi, NEC dan Royal Philips Electronics sudah menyatakan keberalihan mereka ke sistem temuan Linus Torvalds ini. Selain tidak dibebani biaya lisensi yang mencekik leher, Linux juga dikenal dengan konsep Open Source-nya dimana setiap programer bisa beba mengembangkan program sesuai dengan kebutuhan. Bahkan Made Wiryana sangat optimis bahwa Linux kelak bisa menggeser Windows. “Bisa saja, sama halnya dulu orang juga tak pernah menyangkan kalau MS Words dapat mengalahkan dominasi Wordstar. Selama ini pengadopsian Linux di masyarakat berat hanya karena kebiasaan dan mitos di masyarakat,” demikian Made.(mer)


About Me

My photo
Journalist, writer, blogger, dreamer, traveller. Winner of some journalist awards (yuck!), a ghostwriter of some techie books.