Hanya “Carder” Bodoh yang Bisa Tertangkap Polisi
JAKARTA-
Pesan di atas bukanlah iklan baris di koran atau situs, melainkan pada sebuah channel chatting mIRC. Seseorang yang memakai nickname “cam3lon” menjual laptop Sony Vaio dengan harga hanya US$ 300 alias Rp 3 juta saja. Padahal di pasaran harga laptop paling murah mencapai Rp 8 juta. Usut punya usut, “cam3lon” bisa banting harga sedemikian drastis, sebab laptop dagangannya juga didapat dengan gratis.
Lelaki yang mengaku menjadi carder, yakni pembobol kartu kredit di Internet, sejak dua tahun silam ini tidak tanggung-tanggung mencari “tambahan penghasilan”. Dari telepon seluler (ponsel), komputer, hingga televisi dan stereo set diobral murah melalui saluran chat di server dalnet mIRC. Bahkan ia yang mengaku tinggal di Rumania ini berdagang secara overseas alias antar benua demi keamanan bisnisnya.
Lalu ada lagi Nano, mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya. Dengan nickname ‘”Piye”, ia menjadi “Sinterklas” bagi para carder di sebuah channel mIRC dengan membagikan informasi kartu kredit.
Begitu cara Nano membagikan pesan berharga bagi rekan-rekannya di sebuah saluran chat. Lelaki 20 tahun ini mengaku rajin melakukan “rooting”, yakni pelacakan informasi “cc” (credit card), demikian para carder menyebut kartu kredit dengan cara saling tukar dengan carder lain. Nano tidak sendiri. Ada ratusan, ribuan bahkan bisa dibilang jutaan carder lain di seantero dunia yang perlahan tapi pasti membobol ‘cc’ para nasabah bank.
Embargo
David, seorang carder yang menggunakan nickname “LOVELY_GUY”. Misalnya, mengaku sudah dua tahun mendapat tambahan penghasilan.“Sejak dua tahun itu gue sudah dapat Rp150 juta lebih. Supaya tidak tertangkap, gue pakai alamat kost teman untuk alamat pengiriman barang,” ujar David kepada SH dalam chat di mIRC, Selasa (8/10).
Tidak semua carder sukarela membagikan informasi ‘cc’ kepada sesama temannya. Ada pula yang meminta bayaran atau barter dengan ‘cc’ lain yang bisa dibobol. Tingkah polah para carder Indonesia ini ternyata sudah menjadi sorotan merchant online alias situs belanja di Amerika Serikat (AS). Akibatnya, sejumlah nomor Internet Protocol (IP) serta kartu kredit Indonesia diembargo oleh situs-situs belanja ini.
“Kecanggihan para carder Indonesia ini membuat Indonesia menduduki peringkat nomor dua di dunia dalam hal cybercrime setelah Ukraina,” ujar Heru Nugroho, Sekretaris Jendral Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam sebuah forum diskusi mengenai kejahatan di Internet awal pekan ini di Jakarta.
Kepopuleran carder Indonesia terjadi karena banyak membobol ‘cc’ milik nasabah asing. Ada semacam kode etik di antara carder Indonesia, yakni pantang mebobol ‘cc’ milik nasabah Indonesia juga.
Sesungguhnya bukan nasionalisme yang bicara di sini, tapi karena nasabah asing memang jauh lebih banyak simpanannya di bank. Di samping itu, dengan memakai ‘cc’ orang luar maka si carder lolos dari kecurigaan merchant yang bersangkutan. Bukan apa-apa, justru karena sepak terjang carder inilah para pembelanja online asal Indonesia mengalami kesulitan untuk melakukan transaksi.
Cap buruk yang melekat pada Indonesia di dunia maya inilah yang menjadi persoalan. Repotnya, sampai hari ini belum ada rambu-rambu yang menjadi aturan main di dunia maya. Secara teknis, Heru mengaku APJII bisa saja bertindak tegas terhadap para carder dengan melakukan pelacakan Internet Service Provider (ISP) sampai ke warung Internet (warnet) tempat dimana para carder beraksi. Tapi ia tak bisa bertindak gegabah seorang diri, perlu sebuah aturan nasional yang menjadi kesepakatan antara kepolisian, perangkat hukum serta pebisnis warnet. Namun ia tak memandang bahwa aturan ini harus menunggu realisasi cyberlaw yang tengah digodok dan tak kunjung jadi.
“Task Force”
Tekanan agar para penyelenggara ISP ikut bekerjasama memberantas tindak pidana teknologi informasi (TI) datang dari Hinca Pandjaitan. Ahli hukum pengamat dunia maya ini berpendapat bahwa baik itu penyelenggara ISP maupun pemilik warnet sama-sama punya saham terhadap kejahatan TI sebab kejahatan ini tak mungkin ada tanpa adanya alat dan fasilitas pendukung.
Maka semua stakeholder, yakni pebisnis TI, pemerhati TI serta aparat hukum dan kepolisian berencana membentuk semacam “task force” untuk memerangi carding. Menurut Heru, “task force” ini akan selesai pada November 2002. Target mereka, dalam setahun ke depan Indonesia keluar dari daftar 10 besar negara pelaku cybercrime.
Namun Heru tampaknya harus mempertimbangkan kepintaran para carder. Pihak Mabes Polri memang sudah berhasil menangkap 15 carder. Namun jumlah carder yang beroperasi terus bertambah. Mereka serupa amuba yang berkembang biak dengan cara membelah diri. Coba saja masuk ke sejumlah channel chat di mIRC. Para carder, mulai kelas pemula hingga profesional saling berlaga memamerkan kepintaran membobol ‘cc’ orang.
“Polisi pintar? Kami jelas lebih pintar, sebab kami sudah beraksi jauh sebelum polisi itu menangkap teman-teman kami. Cuma carder bodoh yang bisa tertangkap,” demikian tulis David dalam private message ke SH dalam suatu chat. Bahkan dalam komunitas carder sudah menjadi rahasia umum jika banyak petugas pabean yang bekerjas ama dengan carder. Saat barang-barang “pesanan” datang, petugas pabean dan polisi setuju membagi keuntungan “fifty-fifty”. Bahkan tak jarang barang-barang yang tertahan di pabean hilang begitu saja tanpa jejak.
“Barang itu memang kami sita untuk menjadi barang bukti. Sebab kalau dibiarkan saja akan hilang dicuri atau dijual orang,” elak Kasubdit Pidana TI Korserse Mabes Polri, AKBP Brata Mandala menjawab pertanyaan pers dalam kesempatan berbeda.
Yang jelas, para carder sama sekali tak menunjukkan rasa takutnya. Ini bisa terlihat dari sepak terjang mereka di channel-channel mIRC, tempat dimana para carder saling berkomunikasi. Memang mereka tak pernah mau mengungkap jati diri yang sebenarnya, tapi memang itulah kehebatan dunia maya. Tak terjamah, tapu bisa memporakporandakan dunia nyata.(SH/merry magdalena)