Windows XP Bahasa Indonesia
Kali ini, Bill Gates Kalah Start dengan Linux
Jakarta, Sinar Harapan
Setelah sekian lama digodok, akhirnya sistem operasi Windows XP Bahasa Indonesia rampung dikerjakan. Ternyata penerjemahannya belum sepenuhnya dilakukan. Ini bukan pertamakalinya ada sistem operasi berbahasa Indonesia. Linux sudah lebih dulu mencuri start.
Kalau tak ada aral melintang, 10 Juni mendatang Windows XP Bahasa Indonesia resmi dirilis di Indonesia. Jangan kecewa, penerjemahan menu-menunya belum mencakup keseluruhan alias full localized. “Ini masih tahap enablement, hanya proofing tools saja. Masih sampai pada level sistem operasi saja. Sedangkan program seperti Microsoft (MS) Words, Excel atau Power Point belum,” jelas Wesly Sumenap, Desktop Product manager Microsoft Indonesia kepada pers di Jakarta belum lama ini.
Belum Keseluruhan
Itu berarti, pengindonesaan belum mencakup user assistance (help menu), Visual basic Administrator, Online Service, tambahan add-ins seperti Smart Tag, Macros dan sebagainya. Menu Windows update, Security Faxes juga masih dihadirkan dalam bahasa Inggris. Wesly menandaskan bahwa tahap ini merupakan permulaan dari penerjemahan. Tahap selanjutnya adalah partial localization, dimana pelokalan bahasa dilakukan lebih banyak persentasinya. Saat ini versi tersebut baru ada di negara Bulgaria.
Versi full localized Windows sendiri, dimana Windows diterjemahkan 100 persen ke bahasa setempat baru terdapat di 24 bahasa di seantero dunia. Menurut Wesly, dengan diterjemahkan ke bahasa Indonesia diharap penggunaan dan penerapan software Windows XP lebih menarik minat penduduk Indonesia. Bahkan pihak Microsoft yang biasanya mengharamkan download gratis berani menawarkan download sistem operasi ini secara cuma-cuma di situsnya.
Seperti apa itu Windows XP Bahasa Indonesia? Dari penilaian SH, cukup banyak penggunaan istilah baru dalam bahasa kita yang agak membingungkan pengguna. Contoh saja kata “drive” yang diterjemahkan menjadi “kandar.” Orang awam akan terkesima membacanya. Tapi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “kandar” adalah kata dasar dari kendara. Lalu ada lagi kata “tetikus” yang memancing tawa. Jangan terkejut, ini merupakan padanan kata “mouse”. Kemudian ada lagi “wisaya” yang dipadankan dengan “wizard”. Belum lagi “daring” sebagai persamaan atas kata “online”. Penerjemahan setiap kata memang tidak sama persis dengan arti sesungguhnya, melainkan sedikit “miring.” Misal saja kata “introduction” tidak diterjemahkan sebagai “pengenalan”, melainkan “pendahuluan.” Isinya bukan dalam format latar belakang, tujuan, metoda, melainkan sekadar pengenalan isi.
Berdasar paparan Wesly, terjemahan tersebut diverifikasi oleh badan linguistik dari instansi pemerintah yang tak ia sebutkan namanya. Pendekatan linguistik dalam pengembangan kosa katanya dilakukan sejak Agustus 2003 silam. Ini berarti mereka memakan waktu sekitar tujuh bulan demi menggodok sistem operasi berbahasa lokal tersebut.
Bicara soal sistem operasi berbahasa Indonesia, sebenarnya Microsoft bukan pihak yang pertamakali melakukan. Tahun 2002, sistem operasi Linux yang open source sudah memulai lebih dulu. Lokalisasi bahasa itu dikenal dengan program WinBI, dikerjakan 100 persen oleh putra-putri Indonesia. Beda dengan Windows, sistem ini 100 persen pula dibahasa Indonesia-kan.
Bukan yang Pertama“Dalam kurun waktu tiga bulan kami komunitas Linux bekerjasama dengan Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berhasil merampungkannya. Hasilnya sebuah sistem operasi berbahasa Indonesia yang gratis dibagikan bagi rakyat,” ujar I Made Wiryana, pengajar Universitas Gunadarma yang waktu itu tergabung dalam tim pembuat WinBI kepada SH dalam kesempatan berbeda.
Sayang beribu sayang proyek ini bisa dikatakan gagal akibat kurang komersil. Menurut Made, WinBI identik dengan proyek pemerintah, dengan dana pemerintah pula. Bahkan semua database penerjemahan disediakan secara gratis dan bisa diakses oleh orang yang berkepentingan. Namun kembali karena kurang bernilai komersil, maka kurang pula mendapat sambutan. Bahkan WinBI teramat identik dengan milik pemerintah sehingga orang berpikiran program tersebut hanya boleh dipakai oleh pemerintah saja.
Padahal spesifikasi komputer yang dibutuhkan untuk memakai WinBI sangatlah simple. Cukup komputer dengan prosesor 486 ke atas atau yang kompatibel dengan RAM 32 MB ke atas. Harddisk minimal 1.5 GB bila termasuk semua aplikasi perkantoran, internet, multimedia dan sebagainya.
Penerjemahannya sudah full localized, dalam artian mencakup keseluruhan menu. Mulai dari komponen user interface. Hal ini meliputi, menu, tombol, pilihan pada menu, judul Window dan beberapa komponen user interface lainnya. Juga pada warning message (peringatan, dan pesan kesalahan). Kalimat terjemahan yang berupa peringatan atau pesan ini jelas harus diterjemahkan dengan konteks yang tepat. Tidak ketinggalan hingga ke menu Online Help, dimana piranti lunak lunak biasanya memiliki keterangan bantu yang bersifat on-line. Penerjemahan keterangan bantu ini harus mempermudah pengguna, dan jangan hanya memperhatikan faktor benar atau tidaknya dari sisi tata bahasa saja. Di samping itu, faktor format berkas yang digunakan harus juga diperhatikan.
Full Localized
Yang lebih membanggakan, WinBI ini dirilis lengkap dengan buku petunjuk penggunaan. Satu hal yang tidak terdapat pada Windows XP bahasa Indonesia. Buku ini memudahkan pengguna memakai sistem. Pada pekerjaan penerjemahan dokumentasi ini, istilah yang digunakan di buku petunjuk penggunaan harus sama dengan istilah yang ditampilkan oleh program. Bahkan Made dan kawan-kawan juga menyediakan situs web yang berisikan artikel online seluk beluk WinBI.
“Penerjemahan yang baik bukan saja menjaga kaidah bahasa tapi juga perlu dijaga agar istilah tersebut tidak menjadi terlalu ajaib atau jauh dari istilah yang biasa digunakan di awam,” tutur Made yang kini bermukim di Jerman.
Banyak penerjemah yang memahami bahasa Indonesia tapi kurang memahami komputer sehingga bila melakukan penerjemahan maka hasilnya mejadi sulit dipahami. Begitu juga sebaliknya banyak yang pengetahuan komputernya baik, tetapi kemampuan menulis bahasa Indonesianya kurang memadai. Mencari orang yang memiliki pengetahuan komputer, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang baik adalah tergolong langka.
Selain itu perlu juga menjaga konsistensi penerjemahan pada satu program. Pada satu program beberapa "terminologi" terjemahan digunakan beberapa kali. Dalam satu program ada beberapa frase yang mengacu ke kata “ file” atau “find”. Misal pada kata “temukan” yang merupakan terjemahan dari “find” muncul pada berbagai komponen menu, yaitu pada nama window, check-box, dan pada label. Kata “temukan” tersebut adalah terjemahan dari “find” yang digunakan haruslah sama, jangan berbeda-beda, agar tidak membingungkan. Hal lain yang perlu dijaga konsistensinya adalah penerjemahan antara program dan online help, serta penerjemahan antara program, online help dan buku manual.(SH/merry magdalena)
Tuesday, May 25, 2004
Tuesday, April 27, 2004
Buntut Aksi Deface Web KPU
Cracker Potensial itu Kini di Balik Jeruji Besi
JAKARTA- Dua cracker yang mengacak website www.tnp.go.id pekan lalu berhasil diringkus dalam waktu relatif singkat. Faktanya mereka hanya dua dari begitu banyak yang mencoba menerobos ke sistem keamanan jaringan KPU. Bagaimana sepak terjang keduanya?
Sepuluh jam setelah aksi deface dilakukan, pihak kepoliasian dibantu Telkom dan sejumlah ahli teknis Asosiasi Pengusaha Jaringan Internet Indonesia (APJII) berhasil mengidentifikasi cracker web KPU. Saat itu ada belasa nama yang masih harus terus diseleksi. Tidak sampai sepekan kemudian ada isu di kalangan komunitas underground bahwa di antara mereka sudah ada yang “dijemput” pihak berwajib. Dan esoknya benar saja, dua nama diumumkan sebagai orang yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan mengganti nama-nama partai di website resmi KPU.
Dani Firmansyah, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang tengah magang di PT. Danareksa tertuding sebagai cracker itu. Satu lagi adalah Fuad Nahdi, seorang Admin di Warna Warnet., Yogyakarta. Rencana awal kepolisian untuk menjerat mereka dengan UU Subfersif atau Perpu Terorisme ternyata urung dilakukan. Dani dan Fuad cukup dikenai UU Telekomunikasi No.36 Tahun 1999 Pasal 38.
Siapa sesungguhnya Dani dan Fuad? Di komunitas underground ternyata nama Dani memang sudah tak asing lagi. Dari sumber yang tak ingin disebut namanya, Dani di dunia maya popular dengan nick name “Xnuxer”. Ia tak lain adalah salah satu moderator milis Jasakom, sebuah milis komunitas underground dimana sejumlah hacker dan cracker tergabung. Pemuda usia 26 tahun ini terkenal tak terlalu banyak bicara di milis namun sekali mengirim posting selalu “berbobot”. Ini terbukti dengan kerapnya Dani memposting hal-hal bersifat teknis dan terlibat diskusi dengan sejumlah praktisi teknologi informasi (TI) ternama di Indonesia.
SQL Injection
“Saya cukup terkejut ketika tahu Dani ditangkap dengan tuduhan pelaku deface situs KPU. Mengapa terkejut, karena Dani yang saya tahu bukan orang semacam itu,” ujar seorang teman dekat Dani kepada SH di Jakarta, Senin (20/4). Sepengetahuan saya Dani tidak tertarik pada situs-situs pemerintah. Kalaupun ya biasanya ia mencoba membobol situs asing atau server luar.”
Lebih jauh teman Dani yang bagusnya kita sebut saja sebagai Bebek ini menduga teknik yang dipakai Dani dalam men-deface web KPU adalah SQL injection. Pada web yang bersifat dinamis atau selalu berubah tampilannya, selalu terkait dengan database yang terhubung dengan interface. Situs KPU tergolong yang seperti ini. Dalam database terdapat semua data log in. Kalau kita membuat script pemrograman yang salah maka bisa dimanfatkan oleh hacker atau cracker. Inilah prinsip dasar dari SQL Injection. Orang yang sudah terbiasa membuat program akan dengan mudah bisa menebak cara atau celahnya. Web KPU yang memakai sistem operasi Windows 2003 bisa diterobos dengan cara browser.
Teknik SQL injection ini bukan barang baru. Sudah beredar di dunia maya sejak tahun 1999-2000 lalu. Maka kalau memang web KPU bisa ditembus dengan teknik ini maka sangat disangsikan kesiapan sistem keamanannya. Dana 200 miliar rupiah yang dikucurkan pemerintah bagi TI KPU nampak sia-siap akibat suksesnya aksi deface tersebut.
Para hacker dan cracker sering mencari-cari bugs dalam suatu program baru. Celah atau bugs sistem keamanan bisa terdapat pada sistem operasi, aplikasi atau pemrograman. Dari aplikasi bisa dibobol melalui Outlook Express-nya. Sedangkan dari pemrograman seperti PHP akan dengan mudah dimanfaatkan hacker atau cracker kalau ada program yang salah.
Pada dasarnya hacker dan cracker merupakan orang yang serba ingin tahu. Definisi antara hacker dengan cracker sendiri sesungguhnya sangat berbeda. “Konsep hacker adalah selalu ingin tahu terhadap sistem dan mekanisme sistem operasi komputer yang baru keluar. Biasanya ini dilakukan karena ngin mengetahui kekurangan dan kelebihan sistem tersebut. Hacker sangat berbeda dengan cracker,”ujar Sony Arianto Kurniawan, Senior Database Administrator Ciputra Cyber Institute.
Hacker dan Cracker
Seorang hacker lebih banyak mencoba sistem yang dibuatnya sendiri, sistem lokal. Sedangkan cracker banyak mencoba sistem yang not authorized alias bukan wewenangnya. Antar komunitas hacker dengan cracker ada juga yang bermusuhan, demikian antar cracker sendiri. Di Indonesia ada sekitar 30 orang white hacker, sebuah sebutan bagi para pakar keamanan jaringan yang hanya menerobos ke wilayah yang diizinkan. Ada lagi istilah black hacker, yakni ketika hacker tersebut sudah menerobos wilayah yang bukan wewenangnya. Dan terakhir yang terburuk dari itu semua adalah cracker.
Onno W. Purbo, praktisi TI membeberkan sesungguhnya ilmu hacker dan cracker tidak terlalu beda jauh. “Yang beda hanya cara mereka menggunakan ilmunya. Yang satu baik dan yang lainnya jelek. Istilah hacker hitam dan hacker putih buat saya sama saja, semua akan mempertanggungjawabkan perbuatannya pada Allah,” ujar Onno kepada SH dalam kesempatan berbeda.
Lalu apa sesungguhnya motivasi seorang Dani Firmansyah melakukan deface terhadap deface web KPU? Barangkali petikan pstingannya di sebuah milis komunitas underground yang terakhir, tertanggal 22 April 2003 ini bisa dijadikan sebagai penjelas.
“Melihat perkembangan pasca kejadian jebolnya sistem sekuriti IT KPU, menurut saya seharusnya KPU secepatnya segera membenahi dan memperbaiki sistem sekuritinya, bila perlu dengan membuat tim audit yang terdiri dari pakar-pakar security independen yang sudah biasa menangani masalah sekuriti jaringan.”
Terlihat juga bagaimana caranya membela diri dalam satu alinea postingannya tersebut. “Terus terang saya tidak menyalahkan si pelaku pembobol sistem KPU karena saya yakin dia hanya mencoba menunjukan dan hanya melakukan penetrasi sekuriti di sistem KPU. Sebetulnya ucapan terima kasihlah yang seharusnya KPU berikan kepada si pelaku karena telah menunjukan secara nyata bahwa sistem KPU itu memang bisa dijebol. Saya juga melihat selama persiapan pemilu nampaknya KPU memang terkesan cuek dan sama sekali tidak memperhatikan masalah sekuriti jaringan secara serius.” Terlihat jelas bahwa motivasi Dani memang untuk memperingatkan pihak KPU. Tapi sayang, Xnuxer kini hanya bisa meringkuk di balik jeruji besi. Itu pun akibat kecerobohannya sendiri yang kurang banyak melakukan spoofing. (SH/merry magdalena)
Cracker Potensial itu Kini di Balik Jeruji Besi
JAKARTA- Dua cracker yang mengacak website www.tnp.go.id pekan lalu berhasil diringkus dalam waktu relatif singkat. Faktanya mereka hanya dua dari begitu banyak yang mencoba menerobos ke sistem keamanan jaringan KPU. Bagaimana sepak terjang keduanya?
Sepuluh jam setelah aksi deface dilakukan, pihak kepoliasian dibantu Telkom dan sejumlah ahli teknis Asosiasi Pengusaha Jaringan Internet Indonesia (APJII) berhasil mengidentifikasi cracker web KPU. Saat itu ada belasa nama yang masih harus terus diseleksi. Tidak sampai sepekan kemudian ada isu di kalangan komunitas underground bahwa di antara mereka sudah ada yang “dijemput” pihak berwajib. Dan esoknya benar saja, dua nama diumumkan sebagai orang yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan mengganti nama-nama partai di website resmi KPU.
Dani Firmansyah, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang tengah magang di PT. Danareksa tertuding sebagai cracker itu. Satu lagi adalah Fuad Nahdi, seorang Admin di Warna Warnet., Yogyakarta. Rencana awal kepolisian untuk menjerat mereka dengan UU Subfersif atau Perpu Terorisme ternyata urung dilakukan. Dani dan Fuad cukup dikenai UU Telekomunikasi No.36 Tahun 1999 Pasal 38.
Siapa sesungguhnya Dani dan Fuad? Di komunitas underground ternyata nama Dani memang sudah tak asing lagi. Dari sumber yang tak ingin disebut namanya, Dani di dunia maya popular dengan nick name “Xnuxer”. Ia tak lain adalah salah satu moderator milis Jasakom, sebuah milis komunitas underground dimana sejumlah hacker dan cracker tergabung. Pemuda usia 26 tahun ini terkenal tak terlalu banyak bicara di milis namun sekali mengirim posting selalu “berbobot”. Ini terbukti dengan kerapnya Dani memposting hal-hal bersifat teknis dan terlibat diskusi dengan sejumlah praktisi teknologi informasi (TI) ternama di Indonesia.
SQL Injection
“Saya cukup terkejut ketika tahu Dani ditangkap dengan tuduhan pelaku deface situs KPU. Mengapa terkejut, karena Dani yang saya tahu bukan orang semacam itu,” ujar seorang teman dekat Dani kepada SH di Jakarta, Senin (20/4). Sepengetahuan saya Dani tidak tertarik pada situs-situs pemerintah. Kalaupun ya biasanya ia mencoba membobol situs asing atau server luar.”
Lebih jauh teman Dani yang bagusnya kita sebut saja sebagai Bebek ini menduga teknik yang dipakai Dani dalam men-deface web KPU adalah SQL injection. Pada web yang bersifat dinamis atau selalu berubah tampilannya, selalu terkait dengan database yang terhubung dengan interface. Situs KPU tergolong yang seperti ini. Dalam database terdapat semua data log in. Kalau kita membuat script pemrograman yang salah maka bisa dimanfatkan oleh hacker atau cracker. Inilah prinsip dasar dari SQL Injection. Orang yang sudah terbiasa membuat program akan dengan mudah bisa menebak cara atau celahnya. Web KPU yang memakai sistem operasi Windows 2003 bisa diterobos dengan cara browser.
Teknik SQL injection ini bukan barang baru. Sudah beredar di dunia maya sejak tahun 1999-2000 lalu. Maka kalau memang web KPU bisa ditembus dengan teknik ini maka sangat disangsikan kesiapan sistem keamanannya. Dana 200 miliar rupiah yang dikucurkan pemerintah bagi TI KPU nampak sia-siap akibat suksesnya aksi deface tersebut.
Para hacker dan cracker sering mencari-cari bugs dalam suatu program baru. Celah atau bugs sistem keamanan bisa terdapat pada sistem operasi, aplikasi atau pemrograman. Dari aplikasi bisa dibobol melalui Outlook Express-nya. Sedangkan dari pemrograman seperti PHP akan dengan mudah dimanfaatkan hacker atau cracker kalau ada program yang salah.
Pada dasarnya hacker dan cracker merupakan orang yang serba ingin tahu. Definisi antara hacker dengan cracker sendiri sesungguhnya sangat berbeda. “Konsep hacker adalah selalu ingin tahu terhadap sistem dan mekanisme sistem operasi komputer yang baru keluar. Biasanya ini dilakukan karena ngin mengetahui kekurangan dan kelebihan sistem tersebut. Hacker sangat berbeda dengan cracker,”ujar Sony Arianto Kurniawan, Senior Database Administrator Ciputra Cyber Institute.
Hacker dan Cracker
Seorang hacker lebih banyak mencoba sistem yang dibuatnya sendiri, sistem lokal. Sedangkan cracker banyak mencoba sistem yang not authorized alias bukan wewenangnya. Antar komunitas hacker dengan cracker ada juga yang bermusuhan, demikian antar cracker sendiri. Di Indonesia ada sekitar 30 orang white hacker, sebuah sebutan bagi para pakar keamanan jaringan yang hanya menerobos ke wilayah yang diizinkan. Ada lagi istilah black hacker, yakni ketika hacker tersebut sudah menerobos wilayah yang bukan wewenangnya. Dan terakhir yang terburuk dari itu semua adalah cracker.
Onno W. Purbo, praktisi TI membeberkan sesungguhnya ilmu hacker dan cracker tidak terlalu beda jauh. “Yang beda hanya cara mereka menggunakan ilmunya. Yang satu baik dan yang lainnya jelek. Istilah hacker hitam dan hacker putih buat saya sama saja, semua akan mempertanggungjawabkan perbuatannya pada Allah,” ujar Onno kepada SH dalam kesempatan berbeda.
Lalu apa sesungguhnya motivasi seorang Dani Firmansyah melakukan deface terhadap deface web KPU? Barangkali petikan pstingannya di sebuah milis komunitas underground yang terakhir, tertanggal 22 April 2003 ini bisa dijadikan sebagai penjelas.
“Melihat perkembangan pasca kejadian jebolnya sistem sekuriti IT KPU, menurut saya seharusnya KPU secepatnya segera membenahi dan memperbaiki sistem sekuritinya, bila perlu dengan membuat tim audit yang terdiri dari pakar-pakar security independen yang sudah biasa menangani masalah sekuriti jaringan.”
Terlihat juga bagaimana caranya membela diri dalam satu alinea postingannya tersebut. “Terus terang saya tidak menyalahkan si pelaku pembobol sistem KPU karena saya yakin dia hanya mencoba menunjukan dan hanya melakukan penetrasi sekuriti di sistem KPU. Sebetulnya ucapan terima kasihlah yang seharusnya KPU berikan kepada si pelaku karena telah menunjukan secara nyata bahwa sistem KPU itu memang bisa dijebol. Saya juga melihat selama persiapan pemilu nampaknya KPU memang terkesan cuek dan sama sekali tidak memperhatikan masalah sekuriti jaringan secara serius.” Terlihat jelas bahwa motivasi Dani memang untuk memperingatkan pihak KPU. Tapi sayang, Xnuxer kini hanya bisa meringkuk di balik jeruji besi. Itu pun akibat kecerobohannya sendiri yang kurang banyak melakukan spoofing. (SH/merry magdalena)
Di Balik Aksi Hacker dan Cracker
Dunia Maya Butuh Dipahami, Bukan Diperangi
JAKARTA – Pihak berwajib mengklaim sudah mengidentifikasi cracker pelaku deface situs KPU akhir pekan lalu. Mampukah mereka mengejarnya? Jangan salah, komunitas dunia maya sungguh suatu komunitas berbeda dari dunia nyata.
”Saya adalah hacker dan ini adalah manifesto saya. Kamu bisa menghentikan ini secara individual tapi tak bisa menghentikan kami semua. Pada akhirnya, kami semua sama.”
Itu tadi kutipan Manifesto Hacker yang disebarluaskan oleh seseorang bernama online The Mentor pada 8 Januari 1986.
Beberapa bulan silam, sejumlah warung Internet (warnet) di Depok, Jawa Barat, sempat menampilkan cookies manifesto ini yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Padahal melihat waktunya, jelas sudah hacker telah sangat lama eksis, jauh sebelum Indonesia mengenal dunia maya.
Hari ini, Indonesia dengan jumlah pengguna Internet sekitar delapan juta jiwa (sumber AC Nielsen Net ratings), kemungkinan besar dunia maya telah membentuk suatu komunitas tersendiri pula. Sebuah komunitas yang tak mengenal jabatan, suku, agama, status sosial dan ekonomi. Suatu komunitas civil society impian siapa saja yang sudah muak dengan dunia nyata.
Cyberlaw
Komunitas dalam Internet bisa dikatakan cukup kuat. Ini terlihat dari betapa kompaknya mereka. Walau tak saling mengenal langsung dan bertatap muka, komunitas dalam dunia maya punya semacam kode etik, demikian pula hacker. Kode etik inilah yang mereka pegang teguh, bukan aturan bahkan hukum di dunia nyata sekalipun. Maka untuk menindak kasus-kasus kriminal di dunia nyata, dibutuhkan pula pendekatan antar komunitas, bukan gebrakan dan ancaman dari dunia nyata.
”Saya termasuk orang yang tak sepakat dengan perspektif ‘normal’ terhadap aktivis underground. Saya tidak setuju mereka bisa dikenakan tuduhan-tuduhan atau pasal-pasal yang kita yakini. Mereka tidka mengenal itu, karena mereka tidak mempercayai itu,” ujar Salahuddien, praktisi Teknologi Informasi (TI) yang lumayan lekat dengan komunitas dunia maya kepada SH.
Lelaki yang kerap menggunakan nickname Patakaid di Internet ini menadang bahwa ada perbedaan mendasar antara dunia nyata dan dunia maya. Dalam komunitas underground (Internet-red) , semua orang adalah anonim. Semua resource adalah terbuka. Kalau suatu resource itu dimasuki oleh orang lain, maka itu sama sekali bukan kejahatan, sebab pemilik resource membiarkan pintunya terbuka lebar.
Pemilik resource boleh tidak setuju atau merasa dirugikan, namun dia pun mempunyai kesempatan sama luasnya untuk mempertahankan pintunya atau melakukan sesuatu pada pelakunya secara langsung.
Negara manapun boleh saja mematok cyberlaw , hukum yang mengatur dunia maya, namun komunitas tersebut belum tentu bisa ditundukan. Terbukti sampai sekarang Amerika Serikat (AS) sendiri masih ”kedodoran” dalam menghadapi hacker-hacker asal Cina. Para hacker asal Negeri Tirai bambu itu kerap melakukan aksi deface, menyelundupkan virus dan sejenisnya ke sejumlah website milik AS. Kalau sudah begitu, pihak AS hanya bisa menuding pelakunya sebagai teroris.
Indonesia sampai sekarang masih belum mempunyai rambu-rambu jelas untuk aksi kriminal dunia maya. Namun sejumlah praktisi hukum menyatakan bahwa aksi kejahatan di Internet tetap bisa dikenakan sangsi hukum yang sudah ada seperti KUHAP dan sebagainya.
Iseng Belaka
Ihwal kasus deface terhadap situs KPU www.tnp.kpu.go.id pekan lalu, bisa dikatakan itu sebuah aksi iseng yang ditujukan demi meninggikan prestise pelaku. Bukan menghancurkan sistem keamanan sama sekali seperti yang banyak disangka orang. Sesungguhnya, sebelum terjadi deface penggantian nama-nama partai, sebelumnya sudah sempat ada aksi lain, yakni deface situs www.kpu.go.id. Halaman depan situs ini sempat disisipi gambar porno. Namun pihak KPU sama sekali tak menggubrisnya dan tetap membiarkan ‘pintu’ mereka di web lai terbuka lebar.
”Padahal aksi deface gambar porno itu semacam suatu peringatan bahwa KPU harus memperbaiki sistem keamanannya, namun tak diindahkan. Maka tak heran kalau dilanjutkan dengan aksi selanjutnya,” tambah Pataka.
Sebuah sumber yang tak ingin disebutkan namanya, mengaku sudah berhasil mendapatkan informasi lebih jauh mengenai cracker pelaku deface situs KPU. Bahkan ia langsung terlibat dengan obrolan di Internet alias chatting. Konon cracker tersebut sudah melarikan diri ke daerah karena ulahnya telah menjadi berita besar. Sang cracker menceritakan mengenai proses secara teknis yang digunakan untuk menghapus data member KPU dan membuat user ID versi nya untuk bisa mendownload data KPU. Inis emua dilakukan pada malam tanggal 17 April 2004. Cracker ini bukanlah ahli komputer canggih. Hanya seorang amatiran yang iseng.
ìAku coba gunakan fasilitas search atau pencarian data di situs mereka membayangkan logika program php-nya. Teknik ini di sebut sebagai tehnik sql-injection, memanfaatkan kecerobohon code program pada php,” demikian pengakuan Sang Cracker web KPU kepada sumber yang tak mau disebut namanya. Lebih jauh ia meaparkan bahwa teknik yang dilakukan hanya coba-coba, tak berharap akan berhasil. Namun yang terjadi adalah kekacauan sistem php yang langsung dimanfaatkan untuk melakukan download validasi user dan password.
Si Cracker mengaku dirinya tak sadar menjadi berita utama di sejumlah media. Ia kini tengah dalam masa melarikan diri ke kota lain yang cukup jauh dari domisilinya. Yang jelas, motivasi si Cracker melakukan deface hanya sekadar iseng saja, tanpa ada modus operandi ingin mengacak-acak sistem keamanan dan sejenisnya.
Menyikapi perilaku para underground semaca itu sesungguhnya tak terlalu sulit. Pada dasarnya kaum underground adalah kaum yang bosan dengan kondisi di dunia nyata, maka mereka menciptakan dunia sendiri. Maka pendekatan yang dibutuhkan adalah komunikasi, bukan dengan melancarkan ancaman atau arogansi hukum.
(SH/merry magdalena)Copyright © Sinar Harapan 2003
Dunia Maya Butuh Dipahami, Bukan Diperangi
JAKARTA – Pihak berwajib mengklaim sudah mengidentifikasi cracker pelaku deface situs KPU akhir pekan lalu. Mampukah mereka mengejarnya? Jangan salah, komunitas dunia maya sungguh suatu komunitas berbeda dari dunia nyata.
”Saya adalah hacker dan ini adalah manifesto saya. Kamu bisa menghentikan ini secara individual tapi tak bisa menghentikan kami semua. Pada akhirnya, kami semua sama.”
Itu tadi kutipan Manifesto Hacker yang disebarluaskan oleh seseorang bernama online The Mentor pada 8 Januari 1986.
Beberapa bulan silam, sejumlah warung Internet (warnet) di Depok, Jawa Barat, sempat menampilkan cookies manifesto ini yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Padahal melihat waktunya, jelas sudah hacker telah sangat lama eksis, jauh sebelum Indonesia mengenal dunia maya.
Hari ini, Indonesia dengan jumlah pengguna Internet sekitar delapan juta jiwa (sumber AC Nielsen Net ratings), kemungkinan besar dunia maya telah membentuk suatu komunitas tersendiri pula. Sebuah komunitas yang tak mengenal jabatan, suku, agama, status sosial dan ekonomi. Suatu komunitas civil society impian siapa saja yang sudah muak dengan dunia nyata.
Cyberlaw
Komunitas dalam Internet bisa dikatakan cukup kuat. Ini terlihat dari betapa kompaknya mereka. Walau tak saling mengenal langsung dan bertatap muka, komunitas dalam dunia maya punya semacam kode etik, demikian pula hacker. Kode etik inilah yang mereka pegang teguh, bukan aturan bahkan hukum di dunia nyata sekalipun. Maka untuk menindak kasus-kasus kriminal di dunia nyata, dibutuhkan pula pendekatan antar komunitas, bukan gebrakan dan ancaman dari dunia nyata.
”Saya termasuk orang yang tak sepakat dengan perspektif ‘normal’ terhadap aktivis underground. Saya tidak setuju mereka bisa dikenakan tuduhan-tuduhan atau pasal-pasal yang kita yakini. Mereka tidka mengenal itu, karena mereka tidak mempercayai itu,” ujar Salahuddien, praktisi Teknologi Informasi (TI) yang lumayan lekat dengan komunitas dunia maya kepada SH.
Lelaki yang kerap menggunakan nickname Patakaid di Internet ini menadang bahwa ada perbedaan mendasar antara dunia nyata dan dunia maya. Dalam komunitas underground (Internet-red) , semua orang adalah anonim. Semua resource adalah terbuka. Kalau suatu resource itu dimasuki oleh orang lain, maka itu sama sekali bukan kejahatan, sebab pemilik resource membiarkan pintunya terbuka lebar.
Pemilik resource boleh tidak setuju atau merasa dirugikan, namun dia pun mempunyai kesempatan sama luasnya untuk mempertahankan pintunya atau melakukan sesuatu pada pelakunya secara langsung.
Negara manapun boleh saja mematok cyberlaw , hukum yang mengatur dunia maya, namun komunitas tersebut belum tentu bisa ditundukan. Terbukti sampai sekarang Amerika Serikat (AS) sendiri masih ”kedodoran” dalam menghadapi hacker-hacker asal Cina. Para hacker asal Negeri Tirai bambu itu kerap melakukan aksi deface, menyelundupkan virus dan sejenisnya ke sejumlah website milik AS. Kalau sudah begitu, pihak AS hanya bisa menuding pelakunya sebagai teroris.
Indonesia sampai sekarang masih belum mempunyai rambu-rambu jelas untuk aksi kriminal dunia maya. Namun sejumlah praktisi hukum menyatakan bahwa aksi kejahatan di Internet tetap bisa dikenakan sangsi hukum yang sudah ada seperti KUHAP dan sebagainya.
Iseng Belaka
Ihwal kasus deface terhadap situs KPU www.tnp.kpu.go.id pekan lalu, bisa dikatakan itu sebuah aksi iseng yang ditujukan demi meninggikan prestise pelaku. Bukan menghancurkan sistem keamanan sama sekali seperti yang banyak disangka orang. Sesungguhnya, sebelum terjadi deface penggantian nama-nama partai, sebelumnya sudah sempat ada aksi lain, yakni deface situs www.kpu.go.id. Halaman depan situs ini sempat disisipi gambar porno. Namun pihak KPU sama sekali tak menggubrisnya dan tetap membiarkan ‘pintu’ mereka di web lai terbuka lebar.
”Padahal aksi deface gambar porno itu semacam suatu peringatan bahwa KPU harus memperbaiki sistem keamanannya, namun tak diindahkan. Maka tak heran kalau dilanjutkan dengan aksi selanjutnya,” tambah Pataka.
Sebuah sumber yang tak ingin disebutkan namanya, mengaku sudah berhasil mendapatkan informasi lebih jauh mengenai cracker pelaku deface situs KPU. Bahkan ia langsung terlibat dengan obrolan di Internet alias chatting. Konon cracker tersebut sudah melarikan diri ke daerah karena ulahnya telah menjadi berita besar. Sang cracker menceritakan mengenai proses secara teknis yang digunakan untuk menghapus data member KPU dan membuat user ID versi nya untuk bisa mendownload data KPU. Inis emua dilakukan pada malam tanggal 17 April 2004. Cracker ini bukanlah ahli komputer canggih. Hanya seorang amatiran yang iseng.
ìAku coba gunakan fasilitas search atau pencarian data di situs mereka membayangkan logika program php-nya. Teknik ini di sebut sebagai tehnik sql-injection, memanfaatkan kecerobohon code program pada php,” demikian pengakuan Sang Cracker web KPU kepada sumber yang tak mau disebut namanya. Lebih jauh ia meaparkan bahwa teknik yang dilakukan hanya coba-coba, tak berharap akan berhasil. Namun yang terjadi adalah kekacauan sistem php yang langsung dimanfaatkan untuk melakukan download validasi user dan password.
Si Cracker mengaku dirinya tak sadar menjadi berita utama di sejumlah media. Ia kini tengah dalam masa melarikan diri ke kota lain yang cukup jauh dari domisilinya. Yang jelas, motivasi si Cracker melakukan deface hanya sekadar iseng saja, tanpa ada modus operandi ingin mengacak-acak sistem keamanan dan sejenisnya.
Menyikapi perilaku para underground semaca itu sesungguhnya tak terlalu sulit. Pada dasarnya kaum underground adalah kaum yang bosan dengan kondisi di dunia nyata, maka mereka menciptakan dunia sendiri. Maka pendekatan yang dibutuhkan adalah komunikasi, bukan dengan melancarkan ancaman atau arogansi hukum.
(SH/merry magdalena)Copyright © Sinar Harapan 2003
Monday, March 29, 2004
Waspadai Sepak Terjang ”Cracker” Menjelang Pemilu
JAKARTA – Pemilu dikhawatirkan memancing kerusuhan. Bukan hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. Para pemilik situs di Internet diharapkan mewaspadai munculnya cracker alias black hacker yang mengacau.
Belum lama berselang, www.cybersastra.net, sebuah situs komunitas sastra sempat kecolongan. Isi halaman depannya berubah total. Isinya tak lain kalimat-kalimat makian tak sopan. Itulah ulah cracker, para pengacau dunia maya yang salah satu hobinya adalah melakukan deface alias ubah wajah tampilan depan situs di Internet. Konon beberapa situs nasional lain sempat mengalami pengalaman buruk serupa.
Kasus yang menyerang www.cybersastra.net belum apa-apa sebab skalanya masih lokal. Yang mencengangkan adalah ketika hubungan Indonesia-Australia memanas tahun 2002 silam. Sebuah situs Australia mengalami ubah wajah di mana tampilan depannya berubah menjadi gambar bendera merah putih dengan tulisan besar di bawahnya, ___ off Australia, bravo Indonesia.
Kasus yang sama juga marak terjadi ketika peringatan kemerdekaan Indonesia ke-56 pada 17 Agustus 2001 lalu. Hari itu sejumlah situs milik Amerika, Inggris, Swiss, Jerman dan Italia menjadi korban ”kreativitas” cracker Indonesia. Situs-situs tersebut berubah tampilannya menjadi bendera merah putih dengan ucapan Dirgahayu RI ke-56. Ditambah lagi pesan jahil yang antara lain berbunyi ”Hello world, sorry I am interupting this site. My name is Novy, 20 years old. I am looking for handsome, dilligent man.”
Semua ulah iseng itu bukanlah tanpa tujuan, sebab selalu ada identitas yang ditinggalkan oleh pelakunya, seperti alamat email atau nama server biasa mereka chatting. Biasanya seperti di sudut kanan bawah halaman yg dirusak tadi akan ada nama seperti SCHIZOPRENIC & #cracker dalnet yang berarti pelakunya biasa chat di saluran cracker pada server dalnet. Atau identitas jelas berupa alamat email.
”Update” dan Scan
Kasus ubah wajah semacam itu bukan tak mungkin akan kembali marak dalam momen politik seperti Pemilu 2004 kini. Donny BU, Koordinator Information Communication Technology (ICT) Watch mengingatkan agar pemilik situs Internet di Indonesia, khususnya web server atau hosting meningkatkan keamanan sistem operasinya.
”Mereka harus melakukan pemeriksaan alias scanning yang menyeluruh terhadap isi server mereka, jangan sampai ada program-program yang tidak dikenal dan cukup berbahaya yang tanpa mereka sadari telah tertanam di dalam,” ujar Donny menjawab SH melalui pesan email yang dikirim Selasa (16/3).
Selain itu, para pengelola situs juga harus melakukan updating dan patching atas sistem operasi dan segala macam software yang mereka gunakan untuk membangun web server mereka. Berdasarkan pengamatan Donny yang rajin memonitor kegiatan hacker dan cracker di Internet, kini mulai ada indikasi bahwa kelompok cracker Indonesia mulai aktif melakukan deface.
Kelompok cracker tersebut pada dasarnya adalah sebuah ”sel tidur”, yang sewaktu-waktu dapat bangkit dan melakukan aksinya, setelah mereka tertidur cukup lama. Keadaan ”sel tidur” mereka sangat dimungkinkan, mengingat bahwa komunitas mereka pada umumnya bersifat maya, tepatnya berbentuk suatu virtual community di sebuah chatroom.
Dengan sifatnya yang virtual tersebut, maka dengan mudah sebuah komunitas dapat ”ditidurkan” atau ”diaktifkan” kapan saja dengan mudah. Salah satu hal yang dapat mengaktifkan atau membangunkan sel tidur tersebut antara lain adanya 4M, yaitu ”motivasi”, ”mekanisme”, ”momen” dan ”media massa”.
Yang dimaksud dengan M1 alias motivasi, yakni rangsangan yang berupa faktor pengaruh peer group, baik yang internal ataupun eksternal. Yang internal adalah, adanya motivasi-motivasi dari dalam kelompok, seperti ajakan, hasutan, pujian antarsesama rekan kepada rekan lainnya untuk melakukan aktivitas deface. Sedangkan yang eksternal, adalah motivasi-motivasi yang berupa semangat bersaing antarkelompok dalam melakukan aksi deface dan motivasi untuk menjadi terkenal antarkelompok ataupun di masyarakat luas, baik secara personal maupun kelompok.
Ada motivasi model lain yang bisa saja terjadi, yaitu adanya semangat hacktivisme. Yang tergolong jenis ini adalah aksi-aksi semisal deface yang dilatarbelakangi oleh semangat para hacker atau cracker untuk melakukan protes terhadap suatu kondisi politik atau sosial (www.thehacktivist.com/hacktivism.php). Tetapi motivasi ala hacktivisme ini sedikit sekali terjadi di Indonesia. Aktivitas deface yang sekedar memanfaatkan momentum dengan waktu aktif yang pendek, tidak bisa secara otomatis dikatakan sebagai hacktivism.
Kemudian yang dimaksud dengan M2 alias mekanisme adalah adanya server-server yang kebetulan lemah mekanisme pertahanannya atau jarang dilakukan update maupun patch, sehingga para cracker tersebut memiliki kesempatan untuk melakukan aksi deface mereka. Selain itu, tersedianya mekanisme untuk melakukan penerobosan ke server yang tersedia di Internet dan dapat mudah digunakan oleh para cracker.
Momentum
Faktor M yang ke-3 adalah momen, adanya suatu prakondisi atau isu yang tengah menjadi sorotan masyarakat luas, sehingga cracker akan menumpang pada isu tersebut dengan tujuan agar informasi atas aktivitas mereka ikut terangkat ke atas. Aktivitas macam inilah yang kadang dilakukan cracker Indonesia.
Kemudian faktor M lain yaitu media massa, di mana ada kesempatan bagi para cracker untuk menjadi terkenal atau memperkenalkan diri maupun kelompoknya melalui pemberitaan media massa, berkaitan dengan hasil dari aktivitas deface mereka. Hal ini tentu berkaitan dengan M yang pertama, yaitu ”motivasi” untuk menjadi terkenal di kalangan masyarakat luas.
”Melihat kondisi di atas, saya ingin tekankan bahwa sudah selazimnya para pemilik situs Internet di Indonesia, khususnya pengelola (admin) web server atau hosting, lebih meningkatkan kewaspadaan selama masa Pemilu 2004 ini. Ada kemungkinan, aktivitas deface akhir-akhir ini akan mengalami eskalasi cukup signifikan dengan adanya 4M tersebut di atas,” demikian Donny.
Yang perlu dipahami juga adalah, aktivitas deface tersebut walaupun menggunakan momen Pemilu 2004, target-target korbannya tidaklah harus situs-situs yang berkaitan dengan Pemilu seperti situs pemilu, situs partai, dan sebagainya. Korbannya bisa saja situs-situs umum yang bahkan tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan Pemilu ataupun politik.
Selain itu, para cracker tersebut juga belum tentu meninggalkan pesan-pesan yang bersifat politis pada situs yang mereka deface. Ada kalanya pesan yang mereka sampaikan sifatnya personal, tantangan terhadap kelompok lain, pesan yang tidak bermakna atau tanpa pesan sama sekali.
(SH/merry magdalena)
JAKARTA – Pemilu dikhawatirkan memancing kerusuhan. Bukan hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. Para pemilik situs di Internet diharapkan mewaspadai munculnya cracker alias black hacker yang mengacau.
Belum lama berselang, www.cybersastra.net, sebuah situs komunitas sastra sempat kecolongan. Isi halaman depannya berubah total. Isinya tak lain kalimat-kalimat makian tak sopan. Itulah ulah cracker, para pengacau dunia maya yang salah satu hobinya adalah melakukan deface alias ubah wajah tampilan depan situs di Internet. Konon beberapa situs nasional lain sempat mengalami pengalaman buruk serupa.
Kasus yang menyerang www.cybersastra.net belum apa-apa sebab skalanya masih lokal. Yang mencengangkan adalah ketika hubungan Indonesia-Australia memanas tahun 2002 silam. Sebuah situs Australia mengalami ubah wajah di mana tampilan depannya berubah menjadi gambar bendera merah putih dengan tulisan besar di bawahnya, ___ off Australia, bravo Indonesia.
Kasus yang sama juga marak terjadi ketika peringatan kemerdekaan Indonesia ke-56 pada 17 Agustus 2001 lalu. Hari itu sejumlah situs milik Amerika, Inggris, Swiss, Jerman dan Italia menjadi korban ”kreativitas” cracker Indonesia. Situs-situs tersebut berubah tampilannya menjadi bendera merah putih dengan ucapan Dirgahayu RI ke-56. Ditambah lagi pesan jahil yang antara lain berbunyi ”Hello world, sorry I am interupting this site. My name is Novy, 20 years old. I am looking for handsome, dilligent man.”
Semua ulah iseng itu bukanlah tanpa tujuan, sebab selalu ada identitas yang ditinggalkan oleh pelakunya, seperti alamat email atau nama server biasa mereka chatting. Biasanya seperti di sudut kanan bawah halaman yg dirusak tadi akan ada nama seperti SCHIZOPRENIC & #cracker dalnet yang berarti pelakunya biasa chat di saluran cracker pada server dalnet. Atau identitas jelas berupa alamat email.
”Update” dan Scan
Kasus ubah wajah semacam itu bukan tak mungkin akan kembali marak dalam momen politik seperti Pemilu 2004 kini. Donny BU, Koordinator Information Communication Technology (ICT) Watch mengingatkan agar pemilik situs Internet di Indonesia, khususnya web server atau hosting meningkatkan keamanan sistem operasinya.
”Mereka harus melakukan pemeriksaan alias scanning yang menyeluruh terhadap isi server mereka, jangan sampai ada program-program yang tidak dikenal dan cukup berbahaya yang tanpa mereka sadari telah tertanam di dalam,” ujar Donny menjawab SH melalui pesan email yang dikirim Selasa (16/3).
Selain itu, para pengelola situs juga harus melakukan updating dan patching atas sistem operasi dan segala macam software yang mereka gunakan untuk membangun web server mereka. Berdasarkan pengamatan Donny yang rajin memonitor kegiatan hacker dan cracker di Internet, kini mulai ada indikasi bahwa kelompok cracker Indonesia mulai aktif melakukan deface.
Kelompok cracker tersebut pada dasarnya adalah sebuah ”sel tidur”, yang sewaktu-waktu dapat bangkit dan melakukan aksinya, setelah mereka tertidur cukup lama. Keadaan ”sel tidur” mereka sangat dimungkinkan, mengingat bahwa komunitas mereka pada umumnya bersifat maya, tepatnya berbentuk suatu virtual community di sebuah chatroom.
Dengan sifatnya yang virtual tersebut, maka dengan mudah sebuah komunitas dapat ”ditidurkan” atau ”diaktifkan” kapan saja dengan mudah. Salah satu hal yang dapat mengaktifkan atau membangunkan sel tidur tersebut antara lain adanya 4M, yaitu ”motivasi”, ”mekanisme”, ”momen” dan ”media massa”.
Yang dimaksud dengan M1 alias motivasi, yakni rangsangan yang berupa faktor pengaruh peer group, baik yang internal ataupun eksternal. Yang internal adalah, adanya motivasi-motivasi dari dalam kelompok, seperti ajakan, hasutan, pujian antarsesama rekan kepada rekan lainnya untuk melakukan aktivitas deface. Sedangkan yang eksternal, adalah motivasi-motivasi yang berupa semangat bersaing antarkelompok dalam melakukan aksi deface dan motivasi untuk menjadi terkenal antarkelompok ataupun di masyarakat luas, baik secara personal maupun kelompok.
Ada motivasi model lain yang bisa saja terjadi, yaitu adanya semangat hacktivisme. Yang tergolong jenis ini adalah aksi-aksi semisal deface yang dilatarbelakangi oleh semangat para hacker atau cracker untuk melakukan protes terhadap suatu kondisi politik atau sosial (www.thehacktivist.com/hacktivism.php). Tetapi motivasi ala hacktivisme ini sedikit sekali terjadi di Indonesia. Aktivitas deface yang sekedar memanfaatkan momentum dengan waktu aktif yang pendek, tidak bisa secara otomatis dikatakan sebagai hacktivism.
Kemudian yang dimaksud dengan M2 alias mekanisme adalah adanya server-server yang kebetulan lemah mekanisme pertahanannya atau jarang dilakukan update maupun patch, sehingga para cracker tersebut memiliki kesempatan untuk melakukan aksi deface mereka. Selain itu, tersedianya mekanisme untuk melakukan penerobosan ke server yang tersedia di Internet dan dapat mudah digunakan oleh para cracker.
Momentum
Faktor M yang ke-3 adalah momen, adanya suatu prakondisi atau isu yang tengah menjadi sorotan masyarakat luas, sehingga cracker akan menumpang pada isu tersebut dengan tujuan agar informasi atas aktivitas mereka ikut terangkat ke atas. Aktivitas macam inilah yang kadang dilakukan cracker Indonesia.
Kemudian faktor M lain yaitu media massa, di mana ada kesempatan bagi para cracker untuk menjadi terkenal atau memperkenalkan diri maupun kelompoknya melalui pemberitaan media massa, berkaitan dengan hasil dari aktivitas deface mereka. Hal ini tentu berkaitan dengan M yang pertama, yaitu ”motivasi” untuk menjadi terkenal di kalangan masyarakat luas.
”Melihat kondisi di atas, saya ingin tekankan bahwa sudah selazimnya para pemilik situs Internet di Indonesia, khususnya pengelola (admin) web server atau hosting, lebih meningkatkan kewaspadaan selama masa Pemilu 2004 ini. Ada kemungkinan, aktivitas deface akhir-akhir ini akan mengalami eskalasi cukup signifikan dengan adanya 4M tersebut di atas,” demikian Donny.
Yang perlu dipahami juga adalah, aktivitas deface tersebut walaupun menggunakan momen Pemilu 2004, target-target korbannya tidaklah harus situs-situs yang berkaitan dengan Pemilu seperti situs pemilu, situs partai, dan sebagainya. Korbannya bisa saja situs-situs umum yang bahkan tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan Pemilu ataupun politik.
Selain itu, para cracker tersebut juga belum tentu meninggalkan pesan-pesan yang bersifat politis pada situs yang mereka deface. Ada kalanya pesan yang mereka sampaikan sifatnya personal, tantangan terhadap kelompok lain, pesan yang tidak bermakna atau tanpa pesan sama sekali.
(SH/merry magdalena)
Dipertanyakan, Kesiapan TI dalam Pemilu
JAKARTA- Sekitar 8.000 unit komputer sudah disebar ke seantero kecamatan di Indonesia demi membantu penghitungan suara di Pemilu mendatang. Sedangkan Pemilu tinggal satu bulan lagi. Mampukah semua komputer itu berfungsi sebagaimana mestinya?
Jangan dulu bermimpi soal Pemilu online seperti di Amerika Serikat (AS).Untuk mengadakan penghitungan suara dengan memanfaatkan Teknologi Informasi (TI) saja, kesiapan Indonesia masih diragukan. Nyaris satu bulan lagi pesta demokrasi itu akan digelar. Kurang lebih 8.000 unit komputer telah disebar ke seantero kecamatan Indonesia. Tapi pelatihan penggunaan komputer belum jua diadakan.
Donny BU, Koordinator Information Communication Technology (ICT) Watch dalam emailnya kepada SH menyatakan, “Kami dari ICT Watch khawatir bahwa sistem TI yang dibangun oleh Komite Pemilihan Umum tersebut, akhirnya kurang dapat difungsikan secara optimal untuk kepentingan penghitungan suara pada Pemilu 2004 nanti.”
Kekuatiran Donny dan kawan-kawan tersebut bersumber pada tiga hal pokok, yakni belum adanya informasi yang detail dari KPU tentang kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) data entry alias operator yang akan ditempatkan di sekitar 7.000 kecamatan dan 500 kabupaten atau kota se-Indonesia. Angka tersebut bisa berarti minimal ada sekitar 7.500 titik (node) yang harus dilayani oleh KPU.
Terburu-buru
Kalau diasumsikan bahwa setiap titik membutuhkan operator secara bergiliran minimal dua orang, maka diperlukan setidaknya 15.000 operator. Waktu pelaksanaan pemilu anggaplah tinggal 30 hari lagi, maka KPU harus ngebut menyelesaikan persiapan pengadaan operator sebanyak 500 operator per hari. sehingga. “Dengan waktu yang mepet tersebut, maka nyaris tidak mungkin para operator di daerah-daerah dapat memiliki kesempatan untuk melakukan familiarisasi terhadap software yang digunakan,” lanjut Donny yang mantan reporter sebuah media online tersebut. Pengadaan 500 operator per hari tersebut dianggap terlalu terburu-buru sehingga dapat berpengaruh pada
kualitas operator yang akan diterjunkan nanti.
ICT Watch juga mempertanyakan kepada KPU tentang reliabilitas dan validitas aplikasi (software) penghitungan suara yang telah terpasang di setiap komputer di kecamatan dan kabupaten. KPU dianggap perlu menjelaskan secara transparan kepada publik, siapa pihak yang membuat software (perangkat lunak) tersebut dan bagaimana isi program tersebut. Alasannya adalah, secara umum nyaris tidak mungkin ada sebuah perangkat lunak yang bisa murni 100 persen bebas gangguan bug maupun virus.
Selain itu, dengan transparansi maka masyarakat juga memiliki kontrol yang penuh atas ketepatan validitas dan reliabilitas perangkat lunak penghitungan suara tersebut, untuk menghindari adanya kesalahan program yang tidak disengaja ataupun yang disengaja. Akibat dari kurangnya kesiapan SDM dan minimnya waktu, KPU dianggap tidak akan sanggup mengadakan simulasi atau uji coba secara komprehensif, dari titik kecamatan dan kabupaten atau kota hingga ke pusat.
Suara sumbang lain datang dari seorang pengamat TI yang tak mau disebutkan namanya. Ia menyangsikan KPU bisa menjamin sistem keamanan database penghitungan suara. “Siapa yang bisa menjamin kalau database itu tidak akan ditembus oleh hacker atau cracker. Siapa pula yang bisa menjamin operatornya tidak melakukan rekayasa data,” ujarnya.
Sudah Siap
Menanggapi semua komentar miring tersebut, Basuki Suhardiman, Ketua Tim Teknis TI KPU tidak mau kalah. Saat dihubungi SH, Selasa (2/3), Basuki menegaskan bahwa dari sisi angka saja Donny dari ICT Watch sudah salah kaprah. Disebutkan Basuki bahwa komputer-komputer untuk penghitungan suara pemilu didistrubusikan ke sekitar 5.000 kecamatan, bukan 7.000 seperti yang dikatakan Donny.
Pelatihan para operator sendiri sudah mulai dilaksanakan minggu-minggu ini. “Sampai sekarang sudah terdaftar 10.000 operator di seluruh Indonesia. Yang mentraining mereka adalah para petugas training for trainer (TOT) yang terus berkembang jumlahnya di tiap tingkat daerah,” jelas Basuki. TOT ini akan melatih para anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), selanjutnya para pelatih yang baru mengikuti TOT ini minggu depan segera mulai menjalankan tugasnya memberikan pelatihan kepada para anggota PPK.
Berdasar informasi dari website www.kpu.go.id, disebut para peserta TOT ini berjumlah 47 orang. Mereka berasal dari Badan Diklat Provinsi, dari Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), dan dari Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Pelatihan ini diselenggarakan oleh Komisi Pemlihan Umum (KPU) bekerja sama dengan Australian Election Commission (AEC) dan International Foundation for Election Systems (IFES).
Mereka ini langsung melaksanakan tugasnya ke sejumlah daerah untuk memberikan pelatihan kepada PPK. Kegiatan ini dijadwalkan selesai dalam minggu pertama bulan Maret. Selanjutnya, pada minggu kedua dilanjutkan dengan pelatihan untuk PPS. Pada pertengahan Maret diharapkan pelatihan untuk PPS juga sudah selesai. Ihwal SDM sendiri, Basuki menegaskan bahwa jangan sesekali menyangsikan SDM Indonesia.
Sementara itu dari sisi keamanan jaringan, Tim Teknis TI KPU sudah meningkatkan sistem keamanan dari lima lapis hingga ke tujuh lapis. Apabila ada oknum operator atau pihak tertentu yang melakukan rekayasa data maka tetap bisa dilacak melalui historic record yang ada pada tiap komputer.
“Jadi semuanya kembali kepada kejujuran setiap orang. Yang jelas pemanfaatan sistem TI dalam penghitungan suara ini bisa membantu supaya orang bisa jujur,” tambah Basuki. (SH/merry magdalena)
JAKARTA- Sekitar 8.000 unit komputer sudah disebar ke seantero kecamatan di Indonesia demi membantu penghitungan suara di Pemilu mendatang. Sedangkan Pemilu tinggal satu bulan lagi. Mampukah semua komputer itu berfungsi sebagaimana mestinya?
Jangan dulu bermimpi soal Pemilu online seperti di Amerika Serikat (AS).Untuk mengadakan penghitungan suara dengan memanfaatkan Teknologi Informasi (TI) saja, kesiapan Indonesia masih diragukan. Nyaris satu bulan lagi pesta demokrasi itu akan digelar. Kurang lebih 8.000 unit komputer telah disebar ke seantero kecamatan Indonesia. Tapi pelatihan penggunaan komputer belum jua diadakan.
Donny BU, Koordinator Information Communication Technology (ICT) Watch dalam emailnya kepada SH menyatakan, “Kami dari ICT Watch khawatir bahwa sistem TI yang dibangun oleh Komite Pemilihan Umum tersebut, akhirnya kurang dapat difungsikan secara optimal untuk kepentingan penghitungan suara pada Pemilu 2004 nanti.”
Kekuatiran Donny dan kawan-kawan tersebut bersumber pada tiga hal pokok, yakni belum adanya informasi yang detail dari KPU tentang kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) data entry alias operator yang akan ditempatkan di sekitar 7.000 kecamatan dan 500 kabupaten atau kota se-Indonesia. Angka tersebut bisa berarti minimal ada sekitar 7.500 titik (node) yang harus dilayani oleh KPU.
Terburu-buru
Kalau diasumsikan bahwa setiap titik membutuhkan operator secara bergiliran minimal dua orang, maka diperlukan setidaknya 15.000 operator. Waktu pelaksanaan pemilu anggaplah tinggal 30 hari lagi, maka KPU harus ngebut menyelesaikan persiapan pengadaan operator sebanyak 500 operator per hari. sehingga. “Dengan waktu yang mepet tersebut, maka nyaris tidak mungkin para operator di daerah-daerah dapat memiliki kesempatan untuk melakukan familiarisasi terhadap software yang digunakan,” lanjut Donny yang mantan reporter sebuah media online tersebut. Pengadaan 500 operator per hari tersebut dianggap terlalu terburu-buru sehingga dapat berpengaruh pada
kualitas operator yang akan diterjunkan nanti.
ICT Watch juga mempertanyakan kepada KPU tentang reliabilitas dan validitas aplikasi (software) penghitungan suara yang telah terpasang di setiap komputer di kecamatan dan kabupaten. KPU dianggap perlu menjelaskan secara transparan kepada publik, siapa pihak yang membuat software (perangkat lunak) tersebut dan bagaimana isi program tersebut. Alasannya adalah, secara umum nyaris tidak mungkin ada sebuah perangkat lunak yang bisa murni 100 persen bebas gangguan bug maupun virus.
Selain itu, dengan transparansi maka masyarakat juga memiliki kontrol yang penuh atas ketepatan validitas dan reliabilitas perangkat lunak penghitungan suara tersebut, untuk menghindari adanya kesalahan program yang tidak disengaja ataupun yang disengaja. Akibat dari kurangnya kesiapan SDM dan minimnya waktu, KPU dianggap tidak akan sanggup mengadakan simulasi atau uji coba secara komprehensif, dari titik kecamatan dan kabupaten atau kota hingga ke pusat.
Suara sumbang lain datang dari seorang pengamat TI yang tak mau disebutkan namanya. Ia menyangsikan KPU bisa menjamin sistem keamanan database penghitungan suara. “Siapa yang bisa menjamin kalau database itu tidak akan ditembus oleh hacker atau cracker. Siapa pula yang bisa menjamin operatornya tidak melakukan rekayasa data,” ujarnya.
Sudah Siap
Menanggapi semua komentar miring tersebut, Basuki Suhardiman, Ketua Tim Teknis TI KPU tidak mau kalah. Saat dihubungi SH, Selasa (2/3), Basuki menegaskan bahwa dari sisi angka saja Donny dari ICT Watch sudah salah kaprah. Disebutkan Basuki bahwa komputer-komputer untuk penghitungan suara pemilu didistrubusikan ke sekitar 5.000 kecamatan, bukan 7.000 seperti yang dikatakan Donny.
Pelatihan para operator sendiri sudah mulai dilaksanakan minggu-minggu ini. “Sampai sekarang sudah terdaftar 10.000 operator di seluruh Indonesia. Yang mentraining mereka adalah para petugas training for trainer (TOT) yang terus berkembang jumlahnya di tiap tingkat daerah,” jelas Basuki. TOT ini akan melatih para anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), selanjutnya para pelatih yang baru mengikuti TOT ini minggu depan segera mulai menjalankan tugasnya memberikan pelatihan kepada para anggota PPK.
Berdasar informasi dari website www.kpu.go.id, disebut para peserta TOT ini berjumlah 47 orang. Mereka berasal dari Badan Diklat Provinsi, dari Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), dan dari Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Pelatihan ini diselenggarakan oleh Komisi Pemlihan Umum (KPU) bekerja sama dengan Australian Election Commission (AEC) dan International Foundation for Election Systems (IFES).
Mereka ini langsung melaksanakan tugasnya ke sejumlah daerah untuk memberikan pelatihan kepada PPK. Kegiatan ini dijadwalkan selesai dalam minggu pertama bulan Maret. Selanjutnya, pada minggu kedua dilanjutkan dengan pelatihan untuk PPS. Pada pertengahan Maret diharapkan pelatihan untuk PPS juga sudah selesai. Ihwal SDM sendiri, Basuki menegaskan bahwa jangan sesekali menyangsikan SDM Indonesia.
Sementara itu dari sisi keamanan jaringan, Tim Teknis TI KPU sudah meningkatkan sistem keamanan dari lima lapis hingga ke tujuh lapis. Apabila ada oknum operator atau pihak tertentu yang melakukan rekayasa data maka tetap bisa dilacak melalui historic record yang ada pada tiap komputer.
“Jadi semuanya kembali kepada kejujuran setiap orang. Yang jelas pemanfaatan sistem TI dalam penghitungan suara ini bisa membantu supaya orang bisa jujur,” tambah Basuki. (SH/merry magdalena)
Friday, March 12, 2004
Kebangkitan Linux, Si Pinguin yang Murah hati
Jakarta, Sinar Harapan
Pengembang program sistem operasi piranti lunak Microsoft agaknya harus mulai waspada. Linux, sistem operasi komputer yang dulu dipandang sebelah mata, kini mulai bangkit menjadi pesaing. Sejumlah perusahaan elektronik raksasa rama-ramai bermigrasi ke program yang berlogo pinguin tersebut.
Tidak kurang nama besar seperti Sony, Sharp, Toshiba, Matsushita, Hitachi, NEC, Royal Philips Electronics dan Samsung mengumumkan bahwa mereka bisa menghemat biaya lisensi verkat memakai program-program Linux. Bahkan kedelapan perusahaan tadi membentuk suatu aliansi yang diberinama CE Linux Forum. Dalam forum ini para vendor tersebut akan melebarkan pemakaian program Linux dalam perusahaannya, Saat ini Sony mengunakan program Linux untuk mendukung Cocoon, produk video rekamannya di Jepang. Sementara Sharp memakai basis Linux untuk penggunaan komputer sehari-harinya.
Tindakan ini merupakan respon dari kebijakan Microsoft yang mengharuskan user membayar lisensi atas setiap program yang dipakainya. Di sisi lain, Linux selama ini dikenal dengan keandalan sistem open source-nya. Dengan sistem pakai open source ini maka setiap pemakai program Linux bisa bebas men-download-nya dari mana saja. Di Internet ada segudang situs dimana kita bisa bebas melakukan download program Linux dan meng-upgrade-nya. Semua tanpa biaya dan izin-izin khusus. Begitu pula jika terjadi problem, maka seluruh programer Linux yang ada di seantero dunia bisa saling membantu memperbaiki.
Di Indonesia, menurut data pada www.linux.web.id, saat ini ada lebih dari 2000 pengguna Linux. Masih kecil memang. Namun kalau diperhatikan, cukup banyak situs yang menawarkan program Linux secara sukarela. Sebut saja www.indolinux.com, www.linux.or.id, www.gerbanglinux.com, www.rab.co.id www.infolinux.co.id dan banyak lagi. Bagi user yang penasaran dan ingin mencoba-coba program temuan Linus Torvalds ini, silakan mengeklik situs-situs tadi.
Perangkat keras yang diperlukan tak lebih dari Personal Computer (PC) dengan kapasitas 150MB, RAM 2MB dan sedikit ruang untuk develompemnt tools, data dan sebagainya. Jadi diperlukan hard disk berkapasitas spasi 250MB dan 12-16 MB RAM. Keperluan ini akan meningkat kalau ingin ditambahi Xwindow.
Sama seperti sistem operasi lain, Linux sesungguhnya bisa mendukung pelbagai piranti keras yang ada. Tapi sayangnya sangat sedikit pengembang hardware yang mendesain driver yang bisa dioperasikan dengan Linux.
Lisensi
“Tidak juga. Kalau pada masa sekitar 1997-1998 memang betul masih banyak PC yang hardwarenya tidak compatible dengan Linux. Tapi PC buatan sekarang sudah banyak yang bisa dioperasikan dengan Linux,” ujar Batara Surya, Ketua Kelompok Pengguna Linux Indonesia (KPLI) kepada SH saat dijumpai di kantornya di Jakarta, Rabu(9/7). Ia tidak bisa menjawab dengan pasti berapa jumlah pengguna Linux di Indonesia, namun KPLI Jakarta saja sudah mencatat sekitar 600 anggota yang terdiri atas perorangan, perkantoran maupun mahasiswa yang gemar “mengoprek” komputer. Batara yang juga professional Services Officer pada Trabas, perusahaan pengembang olusi berbasis Linux ini juga menyebut angka 200 untuk jumlah klien Trabas. Semuanya rata-rata perkkantoran yang memanfaatkan aplikasi Linux untuk server. Sedangkan untuk desktop, perkantoran biasanya memakai aplikasi word, networking, presentasi atau tools lain yang sudah terkemas berikut dengan sistem operasi. Inilah yang membedakan Linux dengan Windows milik Microsoft. Untuk bisa menikmati produk Windows, sebuah kantor harus menginstal sistem operasi Windows yang dijual terpisah dengan aplikasinya. Kalau kantor tersebut ingin menambahkan aplikasi seperti MS Office 2000 misalnya, maka ia harus membeli lagi lisensinya yang berharga ratusan dolar AS. Setiap program baru yang akan ditambahkan ke dalam PC, user harus merogoh kocvek lagi.
Sementara Linux mengenal open source, dimana program-program baru bisa diinstal dari mana. Apa ini berarti Linux tidak punya hak cipta dan lisensi? “Siapa bilang. Kami punya hak cipta yang dilindungi hukum juga. Sedangkan lisensi juga ada, namun sifatnya GNU General Public License (GPL), dimana setiap pemakai diizinkan memperbanyak, memodifikasi dan menyebarkan atau menjualnya kembali,” jelas Batara.
Bahkan sistem operasi Linux sendiri bisa dibeli dalam bentuk Compact Disc (CD) software yang dijual bebas di pasaran. Entah CD itu bajakan di Glodok atau men-copy dari teman, pihak Linux sama sekali tak ambil pusing. Dengan sistem lisensi bebas merdeka macam itu, bukan berarti teknologi Linux tidak bisa dibisniskan sama sekali. Para programer Linux di seantero dunia memang bisa saling berkomunikasi menciptakan program aplikasi baru. Namun masih banyak awam yang butuh teknisi Linux. Maka bertebaran lah perusahaan pengembang solusi Linux seperti Trabas, Trustix, Nurul Fikri dan banyak lagi. Mereka menjual jasa maintenance, training, konsultasi dan sejenisnya bagi para pengguna Linux.
Bebas Virus
Kian banyaknya peminat Linux yang mulai menggejala saat ini tidak terlepas pula dengan tampilan program Linux yang kian menawan. Menurut Batara, di awal kemunculannya Linux tampil dengan program yang menggunakan Command Line Interface (CLI). Program yang agak sulit dimengerti ini awam ini mengharuskan user mengetik perintah atau command dalam bentuk tulisan tertentu. Bagi mereka yang sudah mengenal PC sejak awal pasti ingat dengan sistem operasi DOS. Kira-kira seperti itulah penampilan Linux dulu. Kelamaan Linux mulai dikembangkan dengan Graphical User Interface (GUI) yang menarik. Pengguna cukup mengeklik gambar-gambar tertentu saja untuk melakukan command, tak kalah simpel dengan Windows milik Microsoft. Jadi kalau ada yang bilang penggunaan Linux itu sulit, mereka salah besar. Hanya orang selama ini memang sudah terbiasa dengan Windows yang sudah mendominasi berbagai PC, baik di perkantoran, rumah maupun rental komputer.
Pengembangan Linux tidak dilakukan oleh satu orang saja. Kendati Linus Torvalds diakui sebagai pencipta pertamanya, sebenarnya Linux yang kita kenal kini merupakan hasil pemrogaman seluruh programer di dunia. Torvalds adalah orang yang mengumumkan mengenai Linux di newsgoup dan sejak tahun itu jugalah orang-orang yang tertarik untuk mengembangkan Linux di seluruh dunia mulai memulai proyek pengembangan Linux.
Batara menuturkan, di masa mendatang prospek penggunaan Linux di Indonesia cukup baik. Terlebih sejak diumumkannya UU Haki yang mengharuskan orang memakai piranti lunak resmi. Seperti kita tahu, software asli dari Microsoft yang selama ini banyak dipakai memasang harga terlalu tinggi untuk kebanyakan orang Indonesia. Otomatis perusahaan yang ingin melakukan penghematan akan beralih ke teknologi alternatif yang menawarkan harga lebih ringan. Dan Linux adalah jawabannya. Tengok saja, paket RedHat 5.2 bisa didapat dengan harga hanya Rp.30.000-50.000. Kalau men-copy dari teman akan gratis tentu saja. Aplikasinya bisa utilitas untuk bahasa program populer seperti C, C++, Pascal dan lainnya, tampilan grafis (GUI) dengan X windows dan beberapa window manager, perangkat server seperti Apache web server, wu-ftp ftp server, sendmail mail server dan lainnya, Netscape Communicator, perangkat image processing dan lain-lain.
Di samping murah, ada satu hal lagi kelebihan Linux yang tak dipunyai Microsoft. “Kami tidak mengenal virus, karena memang selama ini tidak ditemukan virus dalam program Linux,” demikian Batara.(mer)
Jakarta, Sinar Harapan
Pengembang program sistem operasi piranti lunak Microsoft agaknya harus mulai waspada. Linux, sistem operasi komputer yang dulu dipandang sebelah mata, kini mulai bangkit menjadi pesaing. Sejumlah perusahaan elektronik raksasa rama-ramai bermigrasi ke program yang berlogo pinguin tersebut.
Tidak kurang nama besar seperti Sony, Sharp, Toshiba, Matsushita, Hitachi, NEC, Royal Philips Electronics dan Samsung mengumumkan bahwa mereka bisa menghemat biaya lisensi verkat memakai program-program Linux. Bahkan kedelapan perusahaan tadi membentuk suatu aliansi yang diberinama CE Linux Forum. Dalam forum ini para vendor tersebut akan melebarkan pemakaian program Linux dalam perusahaannya, Saat ini Sony mengunakan program Linux untuk mendukung Cocoon, produk video rekamannya di Jepang. Sementara Sharp memakai basis Linux untuk penggunaan komputer sehari-harinya.
Tindakan ini merupakan respon dari kebijakan Microsoft yang mengharuskan user membayar lisensi atas setiap program yang dipakainya. Di sisi lain, Linux selama ini dikenal dengan keandalan sistem open source-nya. Dengan sistem pakai open source ini maka setiap pemakai program Linux bisa bebas men-download-nya dari mana saja. Di Internet ada segudang situs dimana kita bisa bebas melakukan download program Linux dan meng-upgrade-nya. Semua tanpa biaya dan izin-izin khusus. Begitu pula jika terjadi problem, maka seluruh programer Linux yang ada di seantero dunia bisa saling membantu memperbaiki.
Di Indonesia, menurut data pada www.linux.web.id, saat ini ada lebih dari 2000 pengguna Linux. Masih kecil memang. Namun kalau diperhatikan, cukup banyak situs yang menawarkan program Linux secara sukarela. Sebut saja www.indolinux.com, www.linux.or.id, www.gerbanglinux.com, www.rab.co.id www.infolinux.co.id dan banyak lagi. Bagi user yang penasaran dan ingin mencoba-coba program temuan Linus Torvalds ini, silakan mengeklik situs-situs tadi.
Perangkat keras yang diperlukan tak lebih dari Personal Computer (PC) dengan kapasitas 150MB, RAM 2MB dan sedikit ruang untuk develompemnt tools, data dan sebagainya. Jadi diperlukan hard disk berkapasitas spasi 250MB dan 12-16 MB RAM. Keperluan ini akan meningkat kalau ingin ditambahi Xwindow.
Sama seperti sistem operasi lain, Linux sesungguhnya bisa mendukung pelbagai piranti keras yang ada. Tapi sayangnya sangat sedikit pengembang hardware yang mendesain driver yang bisa dioperasikan dengan Linux.
Lisensi
“Tidak juga. Kalau pada masa sekitar 1997-1998 memang betul masih banyak PC yang hardwarenya tidak compatible dengan Linux. Tapi PC buatan sekarang sudah banyak yang bisa dioperasikan dengan Linux,” ujar Batara Surya, Ketua Kelompok Pengguna Linux Indonesia (KPLI) kepada SH saat dijumpai di kantornya di Jakarta, Rabu(9/7). Ia tidak bisa menjawab dengan pasti berapa jumlah pengguna Linux di Indonesia, namun KPLI Jakarta saja sudah mencatat sekitar 600 anggota yang terdiri atas perorangan, perkantoran maupun mahasiswa yang gemar “mengoprek” komputer. Batara yang juga professional Services Officer pada Trabas, perusahaan pengembang olusi berbasis Linux ini juga menyebut angka 200 untuk jumlah klien Trabas. Semuanya rata-rata perkkantoran yang memanfaatkan aplikasi Linux untuk server. Sedangkan untuk desktop, perkantoran biasanya memakai aplikasi word, networking, presentasi atau tools lain yang sudah terkemas berikut dengan sistem operasi. Inilah yang membedakan Linux dengan Windows milik Microsoft. Untuk bisa menikmati produk Windows, sebuah kantor harus menginstal sistem operasi Windows yang dijual terpisah dengan aplikasinya. Kalau kantor tersebut ingin menambahkan aplikasi seperti MS Office 2000 misalnya, maka ia harus membeli lagi lisensinya yang berharga ratusan dolar AS. Setiap program baru yang akan ditambahkan ke dalam PC, user harus merogoh kocvek lagi.
Sementara Linux mengenal open source, dimana program-program baru bisa diinstal dari mana. Apa ini berarti Linux tidak punya hak cipta dan lisensi? “Siapa bilang. Kami punya hak cipta yang dilindungi hukum juga. Sedangkan lisensi juga ada, namun sifatnya GNU General Public License (GPL), dimana setiap pemakai diizinkan memperbanyak, memodifikasi dan menyebarkan atau menjualnya kembali,” jelas Batara.
Bahkan sistem operasi Linux sendiri bisa dibeli dalam bentuk Compact Disc (CD) software yang dijual bebas di pasaran. Entah CD itu bajakan di Glodok atau men-copy dari teman, pihak Linux sama sekali tak ambil pusing. Dengan sistem lisensi bebas merdeka macam itu, bukan berarti teknologi Linux tidak bisa dibisniskan sama sekali. Para programer Linux di seantero dunia memang bisa saling berkomunikasi menciptakan program aplikasi baru. Namun masih banyak awam yang butuh teknisi Linux. Maka bertebaran lah perusahaan pengembang solusi Linux seperti Trabas, Trustix, Nurul Fikri dan banyak lagi. Mereka menjual jasa maintenance, training, konsultasi dan sejenisnya bagi para pengguna Linux.
Bebas Virus
Kian banyaknya peminat Linux yang mulai menggejala saat ini tidak terlepas pula dengan tampilan program Linux yang kian menawan. Menurut Batara, di awal kemunculannya Linux tampil dengan program yang menggunakan Command Line Interface (CLI). Program yang agak sulit dimengerti ini awam ini mengharuskan user mengetik perintah atau command dalam bentuk tulisan tertentu. Bagi mereka yang sudah mengenal PC sejak awal pasti ingat dengan sistem operasi DOS. Kira-kira seperti itulah penampilan Linux dulu. Kelamaan Linux mulai dikembangkan dengan Graphical User Interface (GUI) yang menarik. Pengguna cukup mengeklik gambar-gambar tertentu saja untuk melakukan command, tak kalah simpel dengan Windows milik Microsoft. Jadi kalau ada yang bilang penggunaan Linux itu sulit, mereka salah besar. Hanya orang selama ini memang sudah terbiasa dengan Windows yang sudah mendominasi berbagai PC, baik di perkantoran, rumah maupun rental komputer.
Pengembangan Linux tidak dilakukan oleh satu orang saja. Kendati Linus Torvalds diakui sebagai pencipta pertamanya, sebenarnya Linux yang kita kenal kini merupakan hasil pemrogaman seluruh programer di dunia. Torvalds adalah orang yang mengumumkan mengenai Linux di newsgoup dan sejak tahun itu jugalah orang-orang yang tertarik untuk mengembangkan Linux di seluruh dunia mulai memulai proyek pengembangan Linux.
Batara menuturkan, di masa mendatang prospek penggunaan Linux di Indonesia cukup baik. Terlebih sejak diumumkannya UU Haki yang mengharuskan orang memakai piranti lunak resmi. Seperti kita tahu, software asli dari Microsoft yang selama ini banyak dipakai memasang harga terlalu tinggi untuk kebanyakan orang Indonesia. Otomatis perusahaan yang ingin melakukan penghematan akan beralih ke teknologi alternatif yang menawarkan harga lebih ringan. Dan Linux adalah jawabannya. Tengok saja, paket RedHat 5.2 bisa didapat dengan harga hanya Rp.30.000-50.000. Kalau men-copy dari teman akan gratis tentu saja. Aplikasinya bisa utilitas untuk bahasa program populer seperti C, C++, Pascal dan lainnya, tampilan grafis (GUI) dengan X windows dan beberapa window manager, perangkat server seperti Apache web server, wu-ftp ftp server, sendmail mail server dan lainnya, Netscape Communicator, perangkat image processing dan lain-lain.
Di samping murah, ada satu hal lagi kelebihan Linux yang tak dipunyai Microsoft. “Kami tidak mengenal virus, karena memang selama ini tidak ditemukan virus dalam program Linux,” demikian Batara.(mer)
Friday, January 09, 2004
Imbas UU HaKI
Demam Linux Mulai Serbu Indonesia
Jakarta, Sinar Harapan
Undang-undang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) No.19/2002 ternyata punya imbas besar dalam manajemen teknologi informasi (TI) sejumlah perusahaan di Indonesia. Belum ada satu bulan, sudah lumayan banyak perusahaan yang berencana mengalihkan sistem operasi komputernya dari Windows ke Linux. Bahkan banyak pula yang sudah mulai mensosialisasikan program-program Linux seperti Open Office, Ximian, Mandrake dan banyak lagi.
“Grafisnya justru lebih bagus Open Office daripada MS Office, sebab lebih warna-warni dan bervariasi. Selain itu, buat yang suka ngoprek komputer akan lebih suka pakai Linux karena programnya bisa dikembangkan sendiri sesuai keperluan,” ujar Ni Ketut Sustrini, seorang karyawan Detik Com kepada SH di Jakarta, Selasa(12/8). Bersama karyawan Detik lain, Ketut, demikian panggilan akrabnya, sudah hampir satu bulan ini melakukan learning by doing yang diterapkan kantornya. Personal Computer (PC) Ketut bersama dengan sekitar 50 PC lain di kantor Detik satu demi satu sudah di-instal sstem operasi Linux mulai dari yang sederhana dan bisa dipakai sehari-hari, Open Office atau Opera sebagai pengganti Internet Explorer (IE).
Tapi ada juga yang mengeluhkan kelambatan kinerja Linux. Laksmi Nurwandini, karyawan PT.Tempo Inti Media, berkomentar bahwa untuk membuka suatu file akan memakan waktu lama bila menggunakan Open Office, tidak seperti Windows. Perempuan yang juga sudah satu bulan lebih membiasakan diri mengetik dengan Open Office ini menyatakan sudah mulai familiar dengan beberapa program Linux. PT. Tempo Inti Media yang notabene adalah penerbit Koran Tempo serta Majalah Tempo memang tengah menjajaki kemungkinan bermigrasi dari Windows ke Linux. Untuk itu mereka sudah menginstal sejumlah PC-nya dengan program Linux.
“Tapi belum semua PC kami pakai Linux. Ada sejumlah aplikasi yang belum bisa digantikan oleh Linux, seperti misalnya pengolahan data grafis, scanner, photoshop dan sebagainya. Untuk sementara kami baru pakai Open Office,” ujar Yan Akmar, Programmer TI Koran Tempo kepada SH di Jakarta, Rabu (13/8).
Menurut Yan, salah satu alasan kuat mengapa mereka beralih Linux ada kaitannya dengan pemberlakuan UU HaKI yang baru dicanangkan. Tentu akan jauh lebih efisien dengan bermograsi ke Linux daripada harus membeli semua program Microsoft dengan lisensi asli.
Ringan Biaya
Jangankan yang melakukan learning by doing seperti karyawan Detik Com dan Koran Tempo, untuk membayar sebuah konsultan saja setelah direka-reka masih lebih murah ketimbang harus membeli lisensi Microsoft. Rata-rata kini untuk migrasi ke Linux menalan biaya sekitar Rp 750.000 per PC sudah mencakup instalasi, training dan maintenance selama tiga bulan. Tentu ini sangat ringan dibanding dengan denda Rp.500 juta yang harus dibayar jika kepergok melanggar UU No.19/2002 karena menggunakan software ilegal Microsoft. Kalau ingin dibandingkan dengan kocek yang harus dirogoh demi membayar lisensi software Microsoft Windows masih lebih ringan. Bayangkan, untuk mendapat satu lisensi Windows XP , kita harus mengeluarkan dana 150 dolar AS atau Rp. 1.260.000 per PC. Silakan bandingkan dengan biaya instalasi Linux yang hanya Rp.750.000.
Biaya ini pun tidak perlu dikeluarkan sama sekali kalau sebuah kantor hanya ingin menggunakan aplikasi office, networking dan Internet saja, sebab bisa langsung diinstal secara gratis melalui software copian atau website-website Linux. Langkah inilah yang diambil Detik Com dan Koran Tempo. “Belajarnya mudah, kalau ada kesulitan kita akan panggil teknisi kantor. Saya sudah cukup familiar hanya dalam beberapa hari,” komentar Ketut saat ditanya ihwal penggunaan Open Office dari Linux. Jasa konsultan Linux baru dibutuhkan apabila suatu perusahaan ingin menggunakan aplikasi spesifik seperti pembukuan, ERP, produksi dan sejenisnya.
Migrasi ke Linux bukan hanya dilakukan untuk aplikasi perkantoran semata. PT. Sinar Sosro lebih memilih menggunakan Oracle 11i yang dijalankan di Linux ketimbang Windows NT. Selain itu mereka juga memakai FTP Service dan Proxy Server berbasis Linux. Apa pasal? “ Dengan Oracle 11i yang running di Linux ternyata lebih efektif dalam pembiayaan dan punya avalability yang bagus,” ujar Hugo Winarto, Manager IT PT. Sinar Sosro kepada SH dalam kesempatan berbeda. Walau penggunaan Linux masih sebatas pada server, Hudo menyatakan bahwa ada kemungkinan dilakukan penjajakan memakai sistem operasi Linux yang kini mulai gencar dilakukan perusahaan lain.
I Made Wiryana, staf pengajar Universitas Gunadarma sekaligus pengguna Linux berkomentar bahwa langkah yang diambil perusahaan tersebut untuk beralih ke Linux sangatlah tepat dengan situasi saat ini. Menurutnya, siapaun tidak boleh terlalu bergantung pada produk piranti lunak tertentu. “Selain menghemat biaya lisensi, juga memungkinkan sistem komputer menjadi kebal virus,” paparnya dalam email kepada SH, Rabu (13/8) dari Universitas Bielefeld, tempatnya mengambil program doktoral saat ini.
Namun untuk bermigrasi ini perlu diperhatikan beberapa hal agar pengguna lebih merasa familiar menggunakan Linux. Seperti misalnya pemakaian Graphical User Interface (GUI) pada Linux ada lebih dari satu. Hal ini terkadang membingungkan bagi pemula, sehingga perlu diperkenalkan terlebih dahulu. Begitu juga seperti fitur Virtual Desktop yang ada pada GUI di Linux, sering membuat pengguna yg terbiasa di lingkungan Windows menjadi sedikti bingung. Padahal setelah terbiasa dengan virtual desktop ini mereka menjadi suka sekali.
Menggeser Windows
Kabarnya bukan hanya Detik Com, Koran Tempo atau Sinar Sosro saja yang berniat migrasi ke Linux. Sejumlah perusahaan lain bahkan juga instansi pendidikan seperti Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta juga iku melirik program-program sistem operasi bermaskot burung pinguin ini. Rata-rata dalih mereka adalah pemberlakuan UU HaKI yang memaksa setiap pengguna program Microsoft membeli lisensi program. Dalam sebuah poling yang dilakukan situs www.elinux.co.id, terbukti bahwa sebagian besar perusahaan ingin melakukan migrasi ke Linux dari Windows karena adanya UU HaKI. Situs tersebut mengajukan pertanyaan yang berbunyi “Sehubungan dengan penerapan HaKI, apakah perusahaan anda akan bermigrasi ke Linux ?” Sampai hari Rabu (13/8), ada 85,71 persen (48 suara) yang menjawab ya dan hanya 14,28 persen(8 suara) yang menjawab tidak.
Migrasi dari Windows ke Linux yang terjadi di Indonesia ini hanyalah salah satu gejala tren dunia TI yang mulai bosan dengan dominasi Microsoft. Di tingkat global, sejumlah perusahaan internasional seperti Sony, Sharp, Toshiba, Matsushita, Hitachi, NEC dan Royal Philips Electronics sudah menyatakan keberalihan mereka ke sistem temuan Linus Torvalds ini. Selain tidak dibebani biaya lisensi yang mencekik leher, Linux juga dikenal dengan konsep Open Source-nya dimana setiap programer bisa beba mengembangkan program sesuai dengan kebutuhan. Bahkan Made Wiryana sangat optimis bahwa Linux kelak bisa menggeser Windows. “Bisa saja, sama halnya dulu orang juga tak pernah menyangkan kalau MS Words dapat mengalahkan dominasi Wordstar. Selama ini pengadopsian Linux di masyarakat berat hanya karena kebiasaan dan mitos di masyarakat,” demikian Made.(mer)
Demam Linux Mulai Serbu Indonesia
Jakarta, Sinar Harapan
Undang-undang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) No.19/2002 ternyata punya imbas besar dalam manajemen teknologi informasi (TI) sejumlah perusahaan di Indonesia. Belum ada satu bulan, sudah lumayan banyak perusahaan yang berencana mengalihkan sistem operasi komputernya dari Windows ke Linux. Bahkan banyak pula yang sudah mulai mensosialisasikan program-program Linux seperti Open Office, Ximian, Mandrake dan banyak lagi.
“Grafisnya justru lebih bagus Open Office daripada MS Office, sebab lebih warna-warni dan bervariasi. Selain itu, buat yang suka ngoprek komputer akan lebih suka pakai Linux karena programnya bisa dikembangkan sendiri sesuai keperluan,” ujar Ni Ketut Sustrini, seorang karyawan Detik Com kepada SH di Jakarta, Selasa(12/8). Bersama karyawan Detik lain, Ketut, demikian panggilan akrabnya, sudah hampir satu bulan ini melakukan learning by doing yang diterapkan kantornya. Personal Computer (PC) Ketut bersama dengan sekitar 50 PC lain di kantor Detik satu demi satu sudah di-instal sstem operasi Linux mulai dari yang sederhana dan bisa dipakai sehari-hari, Open Office atau Opera sebagai pengganti Internet Explorer (IE).
Tapi ada juga yang mengeluhkan kelambatan kinerja Linux. Laksmi Nurwandini, karyawan PT.Tempo Inti Media, berkomentar bahwa untuk membuka suatu file akan memakan waktu lama bila menggunakan Open Office, tidak seperti Windows. Perempuan yang juga sudah satu bulan lebih membiasakan diri mengetik dengan Open Office ini menyatakan sudah mulai familiar dengan beberapa program Linux. PT. Tempo Inti Media yang notabene adalah penerbit Koran Tempo serta Majalah Tempo memang tengah menjajaki kemungkinan bermigrasi dari Windows ke Linux. Untuk itu mereka sudah menginstal sejumlah PC-nya dengan program Linux.
“Tapi belum semua PC kami pakai Linux. Ada sejumlah aplikasi yang belum bisa digantikan oleh Linux, seperti misalnya pengolahan data grafis, scanner, photoshop dan sebagainya. Untuk sementara kami baru pakai Open Office,” ujar Yan Akmar, Programmer TI Koran Tempo kepada SH di Jakarta, Rabu (13/8).
Menurut Yan, salah satu alasan kuat mengapa mereka beralih Linux ada kaitannya dengan pemberlakuan UU HaKI yang baru dicanangkan. Tentu akan jauh lebih efisien dengan bermograsi ke Linux daripada harus membeli semua program Microsoft dengan lisensi asli.
Ringan Biaya
Jangankan yang melakukan learning by doing seperti karyawan Detik Com dan Koran Tempo, untuk membayar sebuah konsultan saja setelah direka-reka masih lebih murah ketimbang harus membeli lisensi Microsoft. Rata-rata kini untuk migrasi ke Linux menalan biaya sekitar Rp 750.000 per PC sudah mencakup instalasi, training dan maintenance selama tiga bulan. Tentu ini sangat ringan dibanding dengan denda Rp.500 juta yang harus dibayar jika kepergok melanggar UU No.19/2002 karena menggunakan software ilegal Microsoft. Kalau ingin dibandingkan dengan kocek yang harus dirogoh demi membayar lisensi software Microsoft Windows masih lebih ringan. Bayangkan, untuk mendapat satu lisensi Windows XP , kita harus mengeluarkan dana 150 dolar AS atau Rp. 1.260.000 per PC. Silakan bandingkan dengan biaya instalasi Linux yang hanya Rp.750.000.
Biaya ini pun tidak perlu dikeluarkan sama sekali kalau sebuah kantor hanya ingin menggunakan aplikasi office, networking dan Internet saja, sebab bisa langsung diinstal secara gratis melalui software copian atau website-website Linux. Langkah inilah yang diambil Detik Com dan Koran Tempo. “Belajarnya mudah, kalau ada kesulitan kita akan panggil teknisi kantor. Saya sudah cukup familiar hanya dalam beberapa hari,” komentar Ketut saat ditanya ihwal penggunaan Open Office dari Linux. Jasa konsultan Linux baru dibutuhkan apabila suatu perusahaan ingin menggunakan aplikasi spesifik seperti pembukuan, ERP, produksi dan sejenisnya.
Migrasi ke Linux bukan hanya dilakukan untuk aplikasi perkantoran semata. PT. Sinar Sosro lebih memilih menggunakan Oracle 11i yang dijalankan di Linux ketimbang Windows NT. Selain itu mereka juga memakai FTP Service dan Proxy Server berbasis Linux. Apa pasal? “ Dengan Oracle 11i yang running di Linux ternyata lebih efektif dalam pembiayaan dan punya avalability yang bagus,” ujar Hugo Winarto, Manager IT PT. Sinar Sosro kepada SH dalam kesempatan berbeda. Walau penggunaan Linux masih sebatas pada server, Hudo menyatakan bahwa ada kemungkinan dilakukan penjajakan memakai sistem operasi Linux yang kini mulai gencar dilakukan perusahaan lain.
I Made Wiryana, staf pengajar Universitas Gunadarma sekaligus pengguna Linux berkomentar bahwa langkah yang diambil perusahaan tersebut untuk beralih ke Linux sangatlah tepat dengan situasi saat ini. Menurutnya, siapaun tidak boleh terlalu bergantung pada produk piranti lunak tertentu. “Selain menghemat biaya lisensi, juga memungkinkan sistem komputer menjadi kebal virus,” paparnya dalam email kepada SH, Rabu (13/8) dari Universitas Bielefeld, tempatnya mengambil program doktoral saat ini.
Namun untuk bermigrasi ini perlu diperhatikan beberapa hal agar pengguna lebih merasa familiar menggunakan Linux. Seperti misalnya pemakaian Graphical User Interface (GUI) pada Linux ada lebih dari satu. Hal ini terkadang membingungkan bagi pemula, sehingga perlu diperkenalkan terlebih dahulu. Begitu juga seperti fitur Virtual Desktop yang ada pada GUI di Linux, sering membuat pengguna yg terbiasa di lingkungan Windows menjadi sedikti bingung. Padahal setelah terbiasa dengan virtual desktop ini mereka menjadi suka sekali.
Menggeser Windows
Kabarnya bukan hanya Detik Com, Koran Tempo atau Sinar Sosro saja yang berniat migrasi ke Linux. Sejumlah perusahaan lain bahkan juga instansi pendidikan seperti Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta juga iku melirik program-program sistem operasi bermaskot burung pinguin ini. Rata-rata dalih mereka adalah pemberlakuan UU HaKI yang memaksa setiap pengguna program Microsoft membeli lisensi program. Dalam sebuah poling yang dilakukan situs www.elinux.co.id, terbukti bahwa sebagian besar perusahaan ingin melakukan migrasi ke Linux dari Windows karena adanya UU HaKI. Situs tersebut mengajukan pertanyaan yang berbunyi “Sehubungan dengan penerapan HaKI, apakah perusahaan anda akan bermigrasi ke Linux ?” Sampai hari Rabu (13/8), ada 85,71 persen (48 suara) yang menjawab ya dan hanya 14,28 persen(8 suara) yang menjawab tidak.
Migrasi dari Windows ke Linux yang terjadi di Indonesia ini hanyalah salah satu gejala tren dunia TI yang mulai bosan dengan dominasi Microsoft. Di tingkat global, sejumlah perusahaan internasional seperti Sony, Sharp, Toshiba, Matsushita, Hitachi, NEC dan Royal Philips Electronics sudah menyatakan keberalihan mereka ke sistem temuan Linus Torvalds ini. Selain tidak dibebani biaya lisensi yang mencekik leher, Linux juga dikenal dengan konsep Open Source-nya dimana setiap programer bisa beba mengembangkan program sesuai dengan kebutuhan. Bahkan Made Wiryana sangat optimis bahwa Linux kelak bisa menggeser Windows. “Bisa saja, sama halnya dulu orang juga tak pernah menyangkan kalau MS Words dapat mengalahkan dominasi Wordstar. Selama ini pengadopsian Linux di masyarakat berat hanya karena kebiasaan dan mitos di masyarakat,” demikian Made.(mer)
Subscribe to:
Posts (Atom)
Blog Archive
-
►
2006
(9)
- ► 11/26 - 12/03 (1)
- ► 07/23 - 07/30 (2)
- ► 06/18 - 06/25 (1)
- ► 06/04 - 06/11 (1)
- ► 02/19 - 02/26 (1)
- ► 02/12 - 02/19 (2)
- ► 01/01 - 01/08 (1)
-
►
2005
(6)
- ► 11/27 - 12/04 (2)
- ► 09/18 - 09/25 (4)
-
▼
2004
(7)
- ► 04/25 - 05/02 (2)
- ► 03/28 - 04/04 (2)
-
►
2002
(3)
- ► 12/01 - 12/08 (2)
- ► 11/24 - 12/01 (1)
About Me
- Merry Magdalena
- Journalist, writer, blogger, dreamer, traveller. Winner of some journalist awards (yuck!), a ghostwriter of some techie books.